Aku kira selama ini hanya dengan memperhatikannya dari jauh dan memahaminya dari apa yang kulihat dari data datanya, aku sudah paham dengan kehidupannya. Ternyata aku salah. Ketika aku memperhatikannya lebih sering akhir akhir ini, aku baru sadar jika Samantha punya banyak kelemahan. Aku cukup lega karena penyihir yang kusuruh untuk menjaga Samantha melakukan pekerjaannya dengan baik, meski dia tidak melakukannya seperti yang kuharapkan. Sebenarnya aku berharap agar aku sendiri yang melindungi apapun yang terjadi padanya, tapi pekerjaanku yang harus berkeliling kesana kemari membuatku harus sedikit bersabar. Namun, ketika aku akan menemuinya hari ini, penyihir yang selalu menemaniku justru menahanku. Apa gunanya keberadaan Samantha di Duchy of East jika aku tidak bisa menemuinya hingga dua hari kedepan? Itu membuatku kesal.
"Tidak perlu dipikirkan seberat itu." Katanya santai. Aku berdecih tidak terima.
"Aku cuma mau melihatnya dari dekat. Dari luar mansion duchess? Kamu gila?! Penglihatanku tidak bisa menembus tembok!" Kataku tidak sabaran. "Sungguhan aku nggak bisa nolongin cewek itu?"
Dia diam sejenak, daripada terlihat seperti tidak tahu, dia seperti menimang nimang sesuatu. Ragu untuk mengatakannya padaku.
"Ada kan? Apa lagi yang harus diragukan??" Kataku lagi lebih tidak sabar. Penyihir disebelahku ini menghela nafas kasar.
"Aku lebih banyak tau mengenai 'kutukan'nya ini sejak dia pertama kali ke wilayah kekaisaran. Tepat ketika hari ulang tahunnya, dia berubah liar seperti ini sejak dia berumur lima tahun, pas sekali diumur segitu dia kehilangan ibunya. Padahal semenjak dia lahir, dia tidak pernah seperti ini. Ketika yang mulia kaisar membawanya kepadaku, aku melihat matanya yang berwarna abu abu muda nyaris putih, jadi, kuberi dia darah dan berharap dia membaik." Dia berhenti bercerita sejenak, tentu aku sudah tahu cerita itu. Dan kondisinya persis seperti saat ini. "Paginya dia memang membaik tapi, dia menangis keras. Terlihat seperti marah karena dia menolak untuk ditenangkan. Setelah itu, tidak ada pilihan lain selain aku memberinya obat penenang. Dan ketika aku bertanya pada salahsatu pelayan yang bertugas dikamarnya pagi hari, ternyata gadis itu melihat dirinya dipantulan cermin. Setelahnya, yah, dia nangis histeris."
Dia membenarkan letak topi hitamnya dan kembali meletakkan tangannya dia saku jaket. Aku memperhatikan minumanku yang sudah sejak tadi disajikan barista tapi, aku enggan meminumnya.
"Warna matanya berubah?"
Dia mengangguk tipis, tangannya bergerak mengambil minumannya dan meminumnya perlahan. Meski begitu, aku bisa lihat jika dia sedang tersenyum tipis.
"Merah terang, seperti vampir kebanyakan."
Jangan bilang jika dia sangat marah dengan warna matanya? Apa yang membuatnya begitu marah dengan warna mata yang berubah? Bukankah itu sudah takdirnya?
"Oh, bagaimana warna matanya bisa berubah? Biru ke abu abu? Seharusnya dia sudah punya warna merah permanen dimatanya sejak dia meminum darah untuk pertama kalinya."
Dia mendesah pelan setelah meminum minumannya hampir setengah gelas. Tatapan matanya seperti keberatan dengan pertanyaanku yang banyak.
"Kamu jadi cerewet hanya karena cewek itu." Aku mengangkat bahu singkat. "Setiap makhluk hidup punya hubungan timbal balik dengan makanannya. Makhluk hidup yang mendapat energi dari makanannya dan yang menjadi makanan jadi punya keseimbangan dalam pertumbuhan perkembangbiakan spesiesnya. Seperti bangsa kita, contoh, vampir sepertimu butuh darah untuk memenuhi energi jika tidak kamu akan lemas. Karena energi yang kamu dapatkan ketika kamu baru saja minum darah dan belum minum darah dalam waktu cukup lama itu berbeda. Makanya kalo kamu nggak minum darah dalam jangka cukup panjang kamu akan lemas. Dan semua itu hampir nggak terjadi ditubuh Samantha. Dia bisa tahan nggak minum darah cukup lama dan kekuatannya selalu keluar sama seperti ketika dia baru saja minum darah. Tapi, dia juga tidak merasa lemas. Itu menciptakan reaksi 'penolakan' didalam tubuhnya. Salahsatunya matanya yang hanya berwarna merah diawal."
Aku mengangguk takzim. Tidak ada yang salah dari penjelasannya
"Jadi, sekarang dia benar benar butuh darah?" Tanyaku. Dia melirikku sejenak.