Our Happiness

Nafidza Ainun Salsabila
Chapter #18

Hostess

Sesuatu terasa sangat berat pada kepalaku dan mataku terasa silau karena cahaya sehingga, mau tidak mau aku membuka mataku. Setelah memahami begitu cukup lama, aku sudah ada dikasur. Rantai besi itu juga tidak ada dileher atau pergelangan tangan dan kakiku. Apakah hari ini sudah minggu pagi?

"Good morning, babe. Sleep well, huh?"

Mendengar suara itu, aku segera melihat kearah sofa diseberang kasur. Alex dengan pakaian santainya sedang duduk manis sambil menatapku. Kenapa dari sekian banyak orang harus makhluk satu ini yang datang?

"Bukankah ini terlalu pagi untuk seorang tamu datang berkunjung?" Kataku sambil berusaha duduk. Alex disana masih memperhatikanku. Tidak berpengaruh emang jika aku harus menyindirnya halus begini.

"Tubuhmu sudah lebih baik? Mau kuambilkan sesuatu?"

Benar'kan? Dia bahkan tidak peduli sindiranku.

"Tidak perlu, aku bisa minta pelayan."

Aku kira dia akan mengiyakan ucapanku tapi, dia justru menatapku bingung.

"Pelayan? Tidak ada orang disini kecuali kamu."

Aku menatapnya tidak percaya. Tidak ada orang? Tidak mungkin sekarang masih hari sabtu, bukan?

"Sekedar informasi kalo kamu bertanya sekarang hari apa. Sekarang hari sabtu."

"Apa?"

Bukannya mengerti rasa terkejutku, Alex memberikan cengirannya.

"Happy birthday, babe."

Astaga! Bagaimana bisa? Padahal seharusnya aku sedang menggila seperti hewan buas hari ini. Alex berdiri dari kursi dan merenggangkan kedua tangannya keatas. Baru dia melihatku dengan senyuman yang tidak bisa kumengerti. Kakinya berjalan mendekat kearahku tapi, sekarang aku mengerti kenapa aku tidak menjadi liar hari ini. Tiba tiba aku merasa marah.

Begitu dia sangat dekat denganku, dengan cepat aku berdiri dengan tangan menarik kerah bajunya dan menonjok pipinya kuat. Alex terhuyung mundur beberapa langkah kebelakang. Tapi, bukannya marah justru dia tersenyum.

"Apa itu membuatmu lebih baik?"

"Aku bukannya merasa lebih baik, tapi karena mata merah-" aku diam sejenak karena menyadari sesuatu.

Alex menatapku lekat. Seakan akan dia menunggu kelanjutan ucapanku. Aku menarik nafas dalam dalam dan membuangnya perlahan. "Ayahku benci melihat mata merah milik vampir karena itu aku takut memiliki mata merah."

Aku kembali duduk sambil menutup kedua mata dengan telapak tanganku. Entah aku harus bersyukur atau tidak memiliki kecacatan seperti ini. Aku tidak suka dengan perubahan warna mataku tapi, aku juga tidak suka dengan warna mata yang terlihat seperti permata itu.

"Pelayan belum datang, tapi aku bisa melakukan segalanya untukmu." Tiba tiba Alex merubah topik pembicaraan dengan cepat. Kuturunkan tangan yang menutupi wajahku.

"Maksudmu?"

"Mengganti perban? Aku yang memberimu perban itu setelah kamu tenang."

Aku melihat pergelangan tangan dan kakiku, ternyata memang ada perban disana dan rapi. Aku dengan pelan menyentuh leherku sendiri, disana juga ada perban. Aku kira dia hanya meletakkanku diatas kasur setelah aku tenang.

"Oke, terima kasih. Tapi, aku cuma mau minta tolong panggil kepala pengurus rumah. Pakai ponselku di-"

Sebentar, ponselku dimana??

Tanpa basa basi, Alex melempar ponselnya kepadaku. Aku spontan menangkapnya agar tidak jatuh.

"Hubungi aja dulu."

Seperti katanya, aku mencoba misscall ponselku. Tidak ada suara sama sekali, padahal ponselku berdering disebrang sana. Apa mungkin dibawa Dylan? Jika sudah seperti ini, susah juga.

"Aku minta tolong panggilkan saja. Kepala pengurus rumah tinggal nggak jauh dari sini kalo ada masalah kayak gini."

"Apa nggak apa kutinggal gini aja?"

Aku memberinya senyuman singkat. "Aku nggak akan jadi penguasa tanpa kemampuan."

Lihat selengkapnya