Jakarta. 12 januari 1998
Anjani Putrisama menyukai cabang olahraga Panah. Jika semua orang setuju panahan adalah olahraga yang membosankan, itu tidak berlaku bagi gadis berusia 18 tahun ini. Baginya ini malah sangat keren. Ketertarikannya pada dunia memanah adalah saat dirinya menonton pertandingan Abisena melawan atlet Jepang kala itu. Ia tahu bahwa menjadi atlet tidaklah mudah, apalagi untuk orang sepertinya yang tidak dianugerahi bakat yang sempurna. Namun dirinya percaya semakin gelap ia berjalan di sebuah terowongan maka sebentar lagi ia akan melihat ujung dunia dengan sinar matahari yang menyambutnya. Anjani percaya ia akan melewati itu semua.
“Anjani!! wali kelasmu menelpon Ibu katanya nilaimu akhir-akhir ini sangat turun. Apa yang kamu lakukan?” suara Ibu memekakan telinga.
“Aku harus fokus untuk latihan panahku Bu, sebentar lagi akan ada lomba.” Terang Anjani dengan muka malasnya.
“Bukankah sudah Ibu bilang untuk tidak masuk klub panah? Itu tidak akan menolongmu dimasa depan.”
Anjani menghela napas kasar, Ibunya memang tidak pernah mengizinkan untuk ikut klub ini. “Baiklah aku minta maaf, aku akan segera memperbaiki sikapku.” Ucap Anjani agar tidak berakhir pertengkaran dengan ibunya. Setelah Anjani berkata seperti itu Ibunya pergi keluar kamar bermaksud memberikan ruang agar putrinya belajar. Tapi disisi lain, sebuah senyum nakal terukhir di wajah Anjani.
“Aku harus cepat, sebentar lagi Abi akan latihan.” Kata Anjani sembari mengenakan hoodienya lalu melarikan diri melewati jendela rumahnya.
Sudah menjadi kebiasaan Anjani jika malam minggu ia akan pergi menyelinap ke SMU Wirabrata untuk melihat latihan panah Abisena yang ia kagumi. Masa bodoh dirinya seperti penguntit ia hanya ingin melihat teknik Abisena agar ia bisa menggunakan kala ia berlomba.
Anjani memang menyukai seni panahan namun dirinya tidak dianugerahi dengan skill yang hebat. Butuh waktu lama hingga Anjani ssedikit berkembang dalam panahan dan disinilah Anjani berada, ia mengintip di balik jendela melihat lelaki bernama Abisena itu tengah berfokus menembakan anak panahnya.
Anjani melihat dengan mata kepalanya sendiri ketika anak panah itu melesat cepat dan menembus bidikan tepat berada di titik tengah lingkaran. Mulutnya terbuka penuh takjub, “Woah suara tembakannya sangat nyaring.” Puji Anjani dengan berbisik.
Merasa seperti ada yang memperhatikannya, Abisena menoleh. Dengan cepat Anjani menundukkan kepalanya, “ Bisa gawat jika Abi melihatku. Aku harus pergi dari sini.” Gerutu Anjani sembari berjalan merunduk berharap Abisena tidak menangkapnya.