“Aku akan membayarnya sedikit demi sedikit.”
“Tidak mungkin murid biasa sepertimu, membayar utang Ayahmu.” Suara itu terdengar oleh Anjani saat mereka sudah berada di depan kelas mereka.
“Abi, kau masuklah dulu, aku ingin ketoilet sebentar.” Ujar Anjani dan segera bergegas kesana, ia takut jika ada keributan. Namun langkah kakinya berhenti ketika ia melihat seorang pria dewasa tengah bersimpuh dan menangis didepan pria seusianya. Anjani tak berani mendekat, Ia melihat dulu situasi seperti apa ini sebenarnya.
“Anakku juga kelas tiga SMU sama sepertimu, jadi dia berusaha keras untuk masuk Universitas. Namun aku tidak punya uang untuk biaya kuliahnya. Setiap melihatnya belajar aku merasa sangat gelisah, aku bahkan berharap dia gagal taun ini dan mencoba lagi taun depan agar aku bisa mengumpulkan uang. Aku adalah ayah yang mengharapkan anaknya untuk gagal!” ujar pria dewasa itu.
“Apa yang bisa aku lakukan agar Paman memaafkanku dan Ayahku? Tidak ada yang bisa aku lakukan seperti yang kau bilang aku hanya murid biasa. Aku bahkan membayar tagihan sekolahku dan kembaranku sendiri. Jika Paman bisa bersabar aku berjanji akan melunasinya dan tolong jangan datang ke sekolahan lagi, aku tidak mau kembaranku melihatnya, itu akan membuatnya sedih.”
“Aku ingin kau tidak pernah bahagia apakah bisa? Kau harus ingat apa yang Ayahmu lakukan pada keluargaku. Ayahmu merusaknya. Kau tak pantas bahagia Akio.”
“Baiklah Paman, aku berjanji tidak akan pernah bahagia, aku akan mengingat kejadian hari ini seumur hidupku. Bahkan sebelum berjanji seperti ini, aku memang sudah tidak memilikinya.”
Air mata Anjani luruh tanpa ia sadari. “Pulanglah Paman, jangan membuat keributan disini. Jika kau ingin mendatangiku lagi kau bisa menemuiku di rumahku. Aku tinggal di kontrakan Cendana.” Ujar akio lagi, dan setelah itu pria dewasa itu pergi meninggalkan Akio sendirian disana.
Anjani bisa melihat bagaimana Akio merasa kalut sekarang. Pria itu memukul dinding dengan kepalan tinjunya. Anjani tak tau harus merespon bagaimana, ia tidak berani mendekati Akio sekarang.
Satu detik kemudian mata Akio dan Anjani bertemu, Akio bisa melihat sorot mata iba itu ditunjukan padanya, Akio benci dengan itu. “Apa kau melihat semuanya?” tanya Akio dengan nada rendahnya.
Anjani mengangguk ragu-ragu. “Maaf.” Hanya itu yang terucap dari Anjani. Ia tak tahu lagi apa yang harus ia katakan selain minta maaf. Tapi Akio tidak meresponnya, Akio masih saja menatapnya dengan penuh kebencian.
Anjani mengambil napas dalam-dalam sebelum mengatakan kalimat selanjutnya. “Aku salah.” Ujar Anjani pada akhirnya.
“Aku salah dan tidak ada pembelaan.” Ujar Anjani lagi menegaskan.