Hari ini sesuai dengan kesepakatannya bersama sang Pelatih, Anjani sudah tiba di kantor guru pagi-pagi buta. Anjani tidak mengenakan seragamnya, hanya mengenakan jaket klubnya yang lama dan celana training. Sepi. Jelas karena ini masih sangat pagi, pasti yang lainnya juga masih berada dalam mimpi.
“Aku punya peraturan untuk menentukan apakah kau bisa menjadikanmu muridku atau tidak. Jika kau tidak bisa melakukannya, kau gagal. Itu semua kembali pada usahamu sendiri, Anjani.”
Ucapan Nara berhasil membuat adrenalin Anjani mendidih. “Aku pasti bisa melakukannya.” Kata Anjani dengan semangat.
Nara tersenyum miring. “Dengar ini bukan hal yang mudah. Kau hanya memiliki lima kesempatan.”
“Peraturan pertama, Kau harus selalu datang di jam seperti ini dan lari mengelilingi sekolah namun harus kau selesaikan sebelum aku tiba. Kedua, kau harus melatih bermain panahmu dengan cepat dan tepat sasaran. Kau hanya punya waktu lima hari untuk membuktikan kau bisa melakukannya.” Terang Nara.
“Apakah aku bisa melakukannya sekarang Pelatih?” tanya Anjani dengan tenang.
Nara terkesan. Padahal ia sudah menetapkan peraturan sulit pada Anjani, tapi Anjani masih mampu terlihat tenang, seperti hal itu bukan masalah baginya. Sebenarnya Nara sudah melihat Anjani memang sedikit berbeda dengan yang lain saat mereka pertama kali bertemu, itulah kenapa Nara memberikan kesempatan pada Anjani karena ia yakin Anjani memiliki sesuatu didalam dirinya, ia penasaran dengan itu.
“Tentu, tapi karena aku sudah disini aku beri kau waktu 20 menit untuk menyelesaikan larimu.” Nara kemudian mengeluarkan stopwatchnya, mengarahkan pada Anjani dan Anjani sudah bersiap ditempatnya.
“Bersedia… Siap…, Hei jika kau kalah kau harus mentraktir—" ucapan Nara terhenti karena Anjani sudah memulai larinya. Anak pintar. Kata Nara dalam hati.
Ia tidak mengira jika Anjani akan menyadari stopwatchnya sudah berjalan sejak ia memberikan aba-aba tadi. Disisi lain Anjani berlari keluar dari kantor gurunya sambil menggerutu karena pelatihnya sudah berbuat curang padanya.
“Aghh—untung saja aku fokus melihat tangannya tadi.” Ucap Anjani kesal.
Anjani kini sudah setengah jalan, hanya butuh setengah lagi untuk menyelesaikan larinya. Namun sayangnya Anjani harus berhenti sejenak, napasnya sudah tidak teratur sejak tadi. Ia hirup oksigen yang ia butuhkan dalam-dalam, dan melanjutkan larinya kembali. Ketika ia berhasil sampai di halaman sekolah, ia melihat Nara sudah menunggunya di bawah pohon mangga halaman sekolah.
Tuk
Jarum jam stopwatch dimatikan. “30 menit 12 detik.” Ujar sang pelatih.
Anjani yang tadinya masih menahan badannya dengan tangan yang bertumpu pada lutut kini tubuhnya sudah tergeletak di halaman sekolah saat mendengar waktu yang ia dapatkan tidak sesuai dengan rekor yang harus ia dapat untuk menang dari pelatihnya. Ia mengatur napasnya dan memejamkan matanya agar lelahnya sedikit berkurang.
“Anjani kau gagal, nyawamu tinggal empat.” Ujar Nara kembali.
“Pelatih kau curang! Ini tidak sah.” Protes Anjani.
“Tentu saja sah. Berpanah bukan hanya membutuhkan kekuatan tapi juga kepekaanmu terhadap sekitar. Fokus adalah hal terpenting, kau paham Anjani?”
Anjani membuka matanya dengan perlahan, menyadari maksud pelatihnya. “Pulanglah, masih ada waktu untuk membersihkan diri dan bersiap sekolah.” Setelah mengucapkan seperti itu Nara berjalan meninggalkan Anjani bermaksud untuk pergi ke ruang kantornya.
Spontan Anjani terduduk sambil menatap punggung pelatihnya.“Pelatih bagaimana dengan yang kedua. Aku belum melakukannya kau tidak mau melihatku?” ucap Anjani sedikit berteriak. “Besok saja, aku sibuk. Dahh.” Sahut Nara tanpa menoleh sambil melambaikan tangannya.
Rahang Anjani nyaris terjatuh kala mendengar jawaban dari Nara. Ia menundukkan kepalanya sedikit kecewa dengan hasilnya. “Tidak apa-apa Anjani, kau pasti bisa melakukannya suatu hari nanti.” Gerutunya mencoba menyemangati dirinya sendiri.
Sesuatu yang dingin menjalar di pipinya, ia mendongak mendapati Abisena berdiri di depannya sembari menempelkan sebotol mineral dingin di pipi kanannya. Anjani segera menerima botol itu lalu meneguknya hingga tak tersisa.
“Wahh Abi aku hampir saja pingsan jika kau tidak memberiku air. Terima kasih.”
“Sama-sama. Kau kenapa ada di sini sepagi ini?” Anjani lantas menyuruh Abi untuk duduk lesehan di dekatnya. Ia menceritakan semuanya dari awal mulai dari ia memohon kepada Nara untuk menerimanya lalu peraturan yang dibuat Nara dan berakhir kalah seperti ini. Abisena menyimak dengan seksama, ia menatap mata Anjani lalu merasa gemas entah apa alasannya.
“Nah jadi begitu Abi…” Anjani menekuk bibirnya kesal dan Abisena menanggapi ocehan Anjani hanya dengan tertawa.
“Kau menertawakanku? Jahat sekali.” Omel Anjani tidak terima.
“Habisnya kau lucu.”
“Lucu dimananya sih Bi? Aku lagi kesel gini.”
“Iya lucu aja Mi.” Anjani mengerutkan dahinya tanda ia bingung.“Mi?” ulangnya.
“Umi Abi.” Jawab Abi sembari menaik turunkan alisnya, dan hal itu disambut dengan pukulan Anjani di lengan Abi. “Sakitt wey..” ringis Abi sembari mengelus lengannya.
Anjani memutar bola matanya malas, “sukurin.” Ketus Anjani.
“Mau ku ajari teknik panah cepat?” Mata Anjani kembali bersinar seperti bulan purnama, ia mengangguk berulang kali saat mendengar tawaran dari Abi.
Abi bangun dari duduknya, ia menepuk-nepuk bagian celanya bermaksud menghilangkan debu yang menempel. Ialu ia mengulurkan kedua tangannya untuk membantu Anjani berdiri.
“Pulanglah dulu, mandi dan ganti bajumu. Saat jam makan siang kau bisa menemuiku di ruang latihan.”
“Lalu kau?”
“Bajuku ada di loker. Aku juga mau berlatih jadi kemungkinan aku akan masuk kelas di jam ke dua setelah istirahat.”
“Atlet memang beda.” Sindir Anjani yang tak sadar jika dirinya juga atlet.
Abi terkekeh ringan, “Kau tau apa yang membahagiakan menjadi seorang atlet?”
“Tentu saja jam kelas yang akan sedikit dan bisa menghindari mata pelajaran menyebalkan seperti matematika.” Ucap Anjani dengan entengnya.
“Benar sekali, dan yang paling penting bagi atlet adalah…” Abi menggantungkan kalimatnya.
“Atlet tidak boleh terluka.” Ucap mereka secara bersamaan.