Jakarta, 13 Mei 1998
Tidak terasa sudah beberapa bulan Anjani bersekolah di SMU Wirabrata. Ia semakin mengenal teman-temannya, latihan panahannya pun berjalan dengan lancar. Bahkan Sarah juga pindah kemari sebulan setelah Anjani pindah. Anjani tak pernah menyangka Sarah juga akan kemari, saat ditanya mengapa ia pindah pun Sarah tak banyak bercerita.
Bosan saja di sana. Begitu katanya.
Hari ini adalah hari dimana ia akan menerima hasil nilai ujian Matematikanya. Sebenarnya ini adalah nilai ujian biasa yang diujikan permapel namun Anjani sudah gelisah setengah mati saat Pak Heru berada di depan kelas. Jika ia mengulang, maka Ibunya akan memarahinya habis-habisan. Itulah mengapa Anjani terus menerus meramalkan doa didalam hatinya.
“Bapak akan bagikan hasil ujian kalian minggu kemarin, jangan terlalu senang untuk yang sudah mendapat nilai bagus dan yang masih mengulang kalian hanya perlu mengoreksi kembali kesalahan kalian. Kalian mengerti?”
“Mengerti pak!” seru semuanya dengan kompak.
Ini sedikit janggal. Anjani dan yang lainnya mungkin akan berpikir hal yang sama, pasalnya Pak Heru bukanlah guru yang mudah ditangani. Beliau akan sangat tegas jika ada yang mengulang mata pelajarannya, tapi kenapa hari ini beliau begitu murah hati?
Senar mengangkat tangannya tiba-tiba, membuat semua orang menaruh atensi kepada Sang ketua. “Pak! Apa kita tidak perlu remidi?” tanya Senar dengan tenang. Pertanyaan itu sepertinya sudah mewakili rasa penasaran semua orang di kelas ini. Mereka kemudian kembali menaruh atensinya kepada Pak Heru untuk meminta jawaban.
“Bapak tidak mengadakan sesi remidi seperti biasanya karena kalian akan pulang lebih awal hari ini.” Kata Pak Heru membuat seisi kelas menjadi gaduh. Pulang pagi? tentu saja hal ini adalah surga bagi para murid seperti kami. Kami tak perlu mengikuti pelajaran membosankan berikutnya dan hanya akan bersenang-senang bersama teman-teman setelah pulang.
“Bapak serius?!” sahut Kinar dengan mata berbinar-binarnya.
“Woilah cuy, mainlah kita habis ini.” Itu suara Sagara yang dibalas rangkulan oleh Akio sebagai tanda ia setuju dengan ide pria itu.
“Boleh tuh! Warung Pok Siti dulu tapi ye..” kata Senar yang mengusulkan untuk mampir ke warung soto langgananya.
“Kalo kamu gimana Jun?” tanya Abi kepada Arjuna yang sepertinya terlihat tidak berminat ikut.
“Engga dulu deh, Pak Heru juga bilang buat ngoreksi hasil ujian-kan?”
“Ikut aja Jun, lagian bisa dicek malam nanti.” Sahut Laut dengan muka malasnya.
“Bener apa yang dibilang laut, lagian kita juga jarang kumpul. Jangan terlalu musingin nilai terus Jun. Kita masih muda dan perlu foya-foya.” Abi menepuk kencang pundak Jihan sambil terkekeh. “Kek punya duit aja.” Ujar Abi.
“Selama ada Abi kita semua kenyang, betul?”
“BETULL!” Sahut Senar, Akio, dan Saga dengan bersemangat. Saat itu juga senyum Abi hilang begitu saja.
“Ayo anak-anaku mau ikut Baba engga?” tanya Jihan yang ditujukan pada Anjani, Kinar dan Dewi. Mereka memang mendeklarasikan panggilan baru untuk Jihan, yaitu Baba yang berarti ayah. Panggilan tersebut telah dirumuskan oleh mereka saat Jihan selalu menolong mereka bertiga dengan sigap kapan dan dimana pun. Misalnya saja saat mereka berada di kantin untuk membeli makanan. Saat itu suasana kantin lebih ramai dari biasanya, Dewi yang memiliki badan lebih berisi dan tinggi sudah berusaha mendesak maju agar bisa mengambil makanan untuk mereka bertiga namun sayangnya Dewi terpental begitu saja. Seolah seorang pahlawan, Jihan datang diwaktu yang tepat ia menawarkan untuk mengambilkan makanan ketiganya, Bahkan Jihan rela untuk mengantri lama hanya untuk membeli air mineral.
Jihan juga kerap ada saat ketiganya sedang membutuhkan seseorang yang bisa memberikan solusi. Sejak saat itulah ketiganya setuju untuk memanggil Jihan ‘Baba’ dan Jihan juga tak masalah dengan julukan barunya.
“Ikut dong Ba, gratisan engga boleh ditolak.” Balas Dewi yang tersenyum jail kepada Abi.
“Gratis gundulmu.”
Mereka semua terkekeh melihat Abi terbawa emosi karena selalu ia yang menjadi bahan olok-olokan temannya. “Yang jadi bapak siapa, yang nafkahin siapa,” kata Abi melayangkan protes kepada Jihan.
“Oh engga mau? engga Baba kasih restu nih buat jadian sama Kinar.”
“Baba gak gitu ya mainnya!” kali ini Kinar yang protes dan Jihan hanya menyautinya dengan menjulurkan lidahnya bermaksud meledek Kinar.
Kinar seketika terdiam sambil menekuk bibirnya lucu. Merajuk kepada Jihan. Anjani yang melihat itu ingin sekali rasanya mencubit pipi Kinar.
“Jadi gimana Jun, mau ikut?” tanya Laut dengan serius.
Arjuna mengangguk. “Ikut, bosen juga dirumah.”
Plok plok plok
Suara itu membuat seisi ruangan menjadi hening kembali. Mereka terlalu senang mendapat kabar bahwa mereka akan dipulangkan pagi, sampai-sampai melupakan Pak Heru yang masih berada di sana.
“Sudah bicaranya?” tanya Pak Heru setelah menepukkan tangan untuk mengambil alih atensi kelas kembali.
“Tidak ada yang boleh bermain. Kalian harus segera pulang dan tetap berada di rumah.” Lanjut Beliau. Anjani dan teman-temannya menoleh satu sama lain. Mereka kembali dibuat bingung dengan situasi ini.
“Memangnya kenapa pak?” tanya Anjani.
Pak Heru tampak sedikit merubah ekspresinya, “bukan tanpa alasan sekolah membuat kalian pulang lebih awal.” Setelah berkata begitu Pak Heru menyalakan monitor televisi yang berada di kelas dengan remot.