“Sekarang cerita dulu, apa yang kalian bertiga lihat tadi.” Kalimat itu ditujukan oleh Abi, Jihan dan Sagara. Mereka semua duduk melingkar meminta penjelasan kepada mereka bertiga.
“Aku juga tidak mengerti Jun, kami bertiga melihat orang-orang dewasa itu sudah berjalan memenuhi jalan kota. Mereka membawa tongkat panjang, clurit yang aku sendiri tak tahu itu untuk apa. Sebagian dari mereka juga memasuki toko-toko dan keluar dengan tangan penuh. Instingku mengatakan kita dalam bahaya jika terus berada disana.”
“Gila. Tidak mungkin mereka sedang menjarah kan?”
Sagara menolehkan wajahnya pada Akio, “Sepertinya begitu. Aku lihat ada yang 2 orang yang membawa AC.”
“Kompresornya gak diambil?” Saga kemudian menggeleng, “selain bajingan mereka hanya sekumpulan orang bodoh ternyata.” Akio sukses mengundang tawa yang lainnya.
“Mereka gak tahu kayanya alat yang bikin dingin tuh ada di luar.” Ujar Juna.
“Gobloknya persis kaya Abi.” Abi mengelus dadanya lagi, Laut benar-benar tak punya hati padanya.
“Apa kita ikut menjarah saja? Setidaknya kita bisa mengambil beberapa makanan.” Semuanya memandangi Saga, “kenapa kalian memandangiku seperti itu?! Hey, malah aneh kalau kita tak ikut seperti mereka. Apa kalian tidak lapar huh?”
“Jangan mengada-ngada.” Ucap Senar mencoba menyadarkan sepupunya.
“Loh. Se kau tahu kan keadaan kita sekarang. Harusnya normal saja kita melakukannya, aku tak ingin mati kelaparan.”
“Saga benar Se, lagipula yang kita ambil hanya makanan.” Imbuh Kinara.
“Kurasa kita harus mencari tahu dulu apa yang sedang terjadi. Baru kita putuskan setelahnya.”
“Bagaimana caranya Jun? Kita tidak mungkin keluar dari sini sekarang.”
“Aku rasa berita di televisi akan menjelaskannya.”
Juna bangkit dari duduknya untuk menyalakan televisi tabung yang berada di sudut kelas namun nihil. Televisi itu tak kunjung menyala juga.
“Aku rasa karena listrik disini sudah dimatikan. Apa kita perlu menyari meterannya terlebih dahulu Jun?”
Arjuna menggeleng. “Kita kan sedang bersembunyi, jika listrik dinyalakan itu malah membuat sekolah ini mencolok. Orang-orang itu mungkin akan menemukan kita.”
“Lalu bagaimana?”
“Aku ada ide!” kalimat itu membuat mereka menatap Senar.
“Ini sudah menjelang sore kita harus menyingkirkan bangku dan meja ini untuk kita tidur malam nanti, lalu mencari radio yang bisa gunakan untuk mencari informasi diluar sana. Untuk masalah makanan kita coba cari di sekitar sini dulu.” Semuanya tersenyum bersemangat, Senar ada benarnya.
“Aku rasa kita bisa sedikit mengambil makanan kantin.” Ucap Anjani tanpa rasa bersalah.
“Kenapa kalian melihatku seperti itu?”
“Aku tak tahu kau juga memiliki sisi nakal seperti itu.” Sahut Akio dengan senyuman nakalnya.
“Eyy, kita sedang diambang hidup dan mati kau tau?! Kita belum makan sejak pagi, kita juga terus berlari kesana kemari. Apa kalian mempunyai makanan? Tidak kan. Satu-satunya yang menyimpan harta karun seperti itu hanyalah KANTIN.” Omel Anjani kepada Akio, Jihan lantas mengusak rambut Anjani pelan. “Anak Baba memang pintar.” Ujar Jihan.
“Kurasa juga tak masalah. Kita bisa membayarnya dengan uang saku yang sudah kita kumpulkan tadi, kalian tinggalkan saja uang itu di meja kantin.”
“Lebih baik kita membagi tugas. Laut, Saga dan Akio kalian urus bagian disini.” Pinta Senar yang kemudian diangguki mereka bertiga.
“Terus untuk urusan makanan aku akan menyerahkan pada anak perempuan. Untuk radio, Juna dan Aku yang menyarinya” Kata Senar yang kemudian diangguki oleh mereka yang menerima misi itu.
“Lalu kami ngapain?” Tanya Abi dan Jihan secara bersamaan. Senar berpikir sejenak memikirkan apa yang bisa dilakukan oleh mereka berdua.
“LILIN!” kata Aruna tiba-tiba.
“Runa kau pintar.” Puji Senar membuat pipi Aruna memanas.
“Kalian bisa mencari lilin atau senter dan obat nyamuk.”
“SIAP BOS!”
“Okey semuanya sekarang ayo bergerak. Kita harus tetap hidup disini.”
“AYOOO!”
…