Dari pertama mereka sampai di sini pukul 12 siang, sampai sekarang langit sudah mulai gelap, pukul 10 malam. Mereka ber-12 belum menemukan tanda-tanda datangnya bantuan padahal Senar selaku ketua kelas sudah mewakili mereka untuk menghubungi kantor polisi. Entah dari polisi atau keluarga mereka, tak ada sama sekali yang datang untuk menyelamatkan mereka. Mereka terpaksa harus menginap di ruang kelas ini, tak ada yang berani satupun dari mereka untuk keluar karena mereka mendengar siaran berita di radio yang mereka temukan. Keadaan luar sangat kacau dan berbahaya. Berita mengatakan jika suara tembakan terus terdengar sepanjang malam di jantung kota.
Juna memang masih bingung tapi tidak terlalu kebingungan juga. Tidak seperti teman-temannya yang masih tidak paham. Dia bisa menyimpulkan bahwa kejadian ini terjadi disebabkan oleh krisis moneter pada bulan Agustus di tahun lalu sehingga Indonesia mengalami perubahan kabinet berkali-kali secara cepat. Itu adalah tanda bahwa Presiden Soeharto telah melakukan sesuatu karena perekonomian Indonesia parah. Banyak mahasiswa melakukan demostrasi untuk menggulingkan presiden Soeharto dari jabatannya namun tak hanya di Jakarta saja tapi juga di berbagai daerah. Baru-baru ini aksi itu mendapat respon yang tak sesuai, ada beberapa mahasiswa yang hilang bahkan saat kemarin tepatnya tanggal 12 mei terjadi penembakan yang mengakibatkan tewasnya 4 Mahasiswa Trisakti.
Juna memiliki firasat buruk saat mendengar berita itu, mungkin itu juga yang menyababkan orang-orang dewasa itu ribut dan dilanjutkan dengan kerusuhan seperti hari ini. Siaran radio itu juga memberikan informasi bahwa mereka juga melakukan penjarahan di toko-toko. Juna hanya tahu sampai situ. Ia membenarkan letak posisi kacamatanya, dia masih belum menemukan jawabannya kenapa aparat menembak mereka. Idealnya saat ada perubahan presiden itu harusnya tidak ada pertumpahan darah. Apakah pemerintah menganggap para Mahasiswa itu sebagai biang kerok yang harus dibasmi? Apa yang dilakukan mereka telah mengancam pemerintahan itu sendiri? Satu hal lagi yang memiliki tanda tanya besar di kepalanaya, kenapa kerusuhan ini bisa menyeluruh?
“Eungh” Lenguhan itu berasal dari Senar yang terbangun dari tidurnya. Anak- anak yang lain juga masih tertidur mungkin karena mereka kelelahan dan sudah mengisi perut mereka tadi. Hanya Juna saja yang masih tetap berjaga, takut ada hal yang tak diinginkan saat yang lain tertidur.
Arjuna menoleh kesebelahnya, mendapati Senar sedang menggeliat. “Tidak ada yang kemari?” pertanyaan Senar mendapat gelengan dari Juna. Senar mengusak rambutnya ke belakang, ia frustasi.
“Di luar sangat kacau, sepertinya tidak mungkin juga keluarga kita bisa keluar mencari kita.” Ucap Juna yang sama frustasinya dengan Senar.
“Jun, apapun resikonya kita harus keluar dari sekolah ini besok pagi. Kita tidak mungkin terus di sini sedangkan kita juga tak punya makanan sedikitpun. Kita bisa mati kelaparan.”
“Aku setuju saja, aku juga mengkhawatirkan keluargaku. Aku tidak tahu apakah mereka aman atau tidak. Para bajingan itu memasuki rumah dan menjarah apa saja Se.”
Bola mata Senar seperti hendak keluar dari tempatnya, ia baru tahu jika akan separah itu. Apapun yang terjadi sudah diputuskan mereka akan pulang. Pulang dengan selamat!
….
Menuju pukul 8, Senar membangunkan teman-temannya untuk rapat kecil membahas pelarian mereka. Senar dan Juna bisa melihat teman-temannya sudah duduk melingkar di antara matras yang mereka gunakan untuk tidur.
“Kita harus bergerak besok pagi.” itulah kalimat pembuka yang dikatakan Senar.
Tak ada respon sama sekali, mereka masih mengantuk. “Kalian mendengarkan ku?” Mereka lantas mengangguk bersamaan tanpa berniat membuka mata mereka.
“Tapi sebelum itu, kalian harus menghubungi dulu keluarga kalian. Setidaknya mereka tahu kalau kalian baik-baik saja di sini.”
Mereka pun mengangguk kembali, mulai memberi kabar pada orang tua mereka masing-masing. Arjuna segera meletakkan telepon rumah itu berada di tengah-tengah mereka.
“Siapa yang ingin lebih dulu?” tanya juna kepada teman-temannya.
Jihan meraih telpon itu, ia menekan beberapa digit nomor di sana. Jihan sabar menunggu jawaban dari panggilannya. “Halo, Assalamuallaikum Bun.” Sapa Jihan kepada penerima telepon.
“Jihan, Nak kamu dimana? Kamu aman?” ada sedikit nada kekhawatiran dari pemilik suara di seberang sana. “Aku baik-baik aja. Besok Jihan sama yang lain akan pulang.”
“Jangan! Jangan kemari, rumah sudah tak aman lagi.” Jihan mengeraskan rahangnya, apa di sana tidak baik-baik saja? Pikirnya.
“Bun, Apa di sana tidak baik-baik saja?”
“Jihan dengar Bunda, Selamatkan diri kamu sendiri nak. Lari! jangan berani kemari.”
“Bun gimana bisa Jihan biarkan Bunda di sana kalau bahaya?!”
“Bunda sudah tua, dan kamu masih muda. Jalanmu masih panjang. Bunda tutup ya nak, Bunda sayang kamu.” Panggilan ditutup secara sepihak, Jihan mematung, masih memproses kenapa Bundanya berkata seperti itu. Tidak mungkin ia lari sendirian, keluarga satu-satunya yang tersisa bagi Jihan adalah Bunda, sedangkan sang Ibunda tengah terperangkap seperti tikus. Sebenarnya kondisi Jihan juga tak jauh beda, tapi bagaimanapun ia harus membebaskannya.
“Giamana? Udah Ba?” Pertanyaan dari Anjani seolah masuk telinga kanan lalu keluar dari telinga kiri Jihan. Anjani menggoyakan tubuh Jihan pelan, karena Jihan hanya diam saja.
“Baba..Ba kenapa?” Jihan menatap Anjani dalam. Pria itu bangun dari tempatnya ingin keluar dari sana. Buru-buru Juna segera menghadang Jihan di depan pintu.