“Siapapun di dalam, tolong!”
“Saya tahu di dalam ada orang.”
Mereka yang di dalam saling melirik satu sama lain, haruskan mereka bukakan pintu?
“Jangan ada yang berani buka.” Laut menegaskan kepada semuanya dengan berbisik.
Abi mengangguk setuju, “jangan buka untuk orang asing.” Imbuhnya.
Bruakk! Pintu kembali ditendang dari luar.
Aruna segera beranjak dari duduknya, ia ingin membukakan pintu itu. “Anjing!” seru Dewi karena Aruna sudah membukakan pintu itu untuk orang itu. Aruna memapah orang itu untuk masuk ke dalam , lalu mengunci pintu itu kembali.
Mereka semua jelas ingin mengumpat, namun mereka mendapati orang itu memang sedang terluka dibagian perutnya. Ada banyak darah yang keluar dari sana.
Anjani yang masih didekap oleh Senar kemudian mengintip sekilas dari lengan senar. Orang itu adalah seorang pria tinggi, berkulit gelap dan memakai almamater ditubuhnya. “Se, apa dia seorang mahasiswa?” tanya Anjani kepada Senar. Senar menundukkan kepalanya namun tak melepaskan dekapannya sama sekali, malah semakin dieratkan. “Aku memiliki firasat buruk.”
Tak ada yang berani mendekat selain Aruna, Laut segera menarik tangan gadis itu untuk menjauh dari sana. “Diam disini.” Laut segera menyoroti wajah pria itu dengan senter. Ada banyak luka lebam di wajahnya.
“Kalian jangan takut.” Ucap pria itu lirih, Laut segera mendekat dan menggeledah pria itu, ia tak ingin ada benda aneh yang dibawa olehnya. Tak ada benda tajam atau semacamnya. Hanya ada sebuah id card bertuliskan Damara Wicaksana Mahasiswa Ilmu politik dari Universitas X.
Laut menoleh menatap kearah Senar memberikan kode bahwa orang ini bukan orang yang berbahaya. Senar segera melepaskan pelukannya, ia berdiri dan meminta tolong kepada Aruna dan Sarah untuk mengambilkan kotak P3K yang berada di UKS.
“Aku ikut, akan aku temani.” Ucap Juna menawari dirinya untuk menemani Aruna dan Sarah. Menurutnya akan lebih aman jika ia bersama kedua gadis itu.
“Cepat.” Komando dari Senar segera dijalankan oleh ketiga temannya.
“Bang, Jangan banyak gerak.” Senar segera menghentikan pendarahan Damar dengan almamater milik pria itu.
Damar meringis kesakitan, ia kemudian menceritakan luka itu ia dapatkan kala dirinya menolong seorang ibu tua yang mencoba mempertahankan hartanya kala dijarah. Damar yang sebenarnya bersama rekannya harus terpaksa memisahkan diri karena tidak tega melihat ibu itu didorong bahkan disiksa. Perutnya sobek akibat dipukul terus menerus dengan tongkat panjang.Sebenarnya ibu itu juga menawarkan untuk Damar diobati lebih dulu, tapi damar harus mengejar temannya. Ia harus kembali bersama rekannya tapi dirinya tak menemukan mereka.
“Jadi seperti itu ceritanya,..” Senar segera membalut luka itu dengan perban yang sudah dibawakan oleh Aruna,Sarah, dan Juna tadi.
“Bang kau tahu darimana kalau kelas ini ada penghuninya?” Akio menyahuti dengan tangan yang sudah bersidekap.
“Kalian itu kalau bersembunyi harusnya lebih tenang. Aku mendengar keributan tadi saat dilantai 1, awalnya aku mau mengabaikan kalian hanya saja ruang lantai 1 semuanya dikunci begitupun dengan lantai 2. Aku butuh tempat untuk bersembunyi juga makanya aku kemari. Rasanya mau mati saat menaiki lantai 3.”
“Runa, apa UKS tadi juga dikunci?” tanya Akio kembali.
“I..iya. Juna yang mendobraknya tadi.” Jelas Aruna yang terus menundukkan kepalanya tak berani menatap lawan bicaranya.
Damar terkekeh, ia merasa sangat dicurigai di sini. Sudah luka dicurigai pula dengan bocil-bocil ini. Sungguh menyedihkan. “Aku belum mengenal nama kalian…” kata Damar sambil menatap anak-anak itu satu persatu.
“Aku Senar, dan yang terbaring di sana Sagara.”
“ Dia kenapa? Apa baik-baik saja?”
Senar mengangguk. “Hanya kelelahan.”
Mereka kemudian saling mengenalkan diri mereka, Laut juga segera menyalakan lilin itu kembali, rapat mereka belum selesai.
“Kalian ingin pergi dari sini?” pertanyaan Damar dibalas anggukan oleh mereka.
“Kalian sangat berani. Aku akan membantu kalian.”
“Gimana caranya Bang?” kini Juna yang bertanya balik.
“Mereka belum sampai area ini, tapi kalian harus segera pergi malam ini. Lokasi sekolah ini sedikit berbahaya karena berada di jalan besar. Mereka juga tak akan segan masuk ke sekolah untuk memeriksa atau mengambil sesuatu.”
“Aku tak mengerti, kami hanya anak-anak remaja tak punya urusan dengan kalian tapi kenapa keadaan seperti ini juga sepertinya berbahaya bagi kita? Bahkan Abang yang Mahasiswa saja dipukuli seperti itu. Bukankah kalian itu bekerja sama menuntut keadilan karena peristiwa tembakan itu?” terang Juna panjang lebar, Damar tersenyum menanggapi pemikiran Arjuna.
“Tidak semua Jun. Ada sebagian yang hanya ikut-ikut saja dan membuat semuanya runyam seperti ini. Kami para Mahasiswa tidak akan melakukan penjarahan bahkan menyakiti satu sama lain. Situasi yang kaya gini emang gapapa buat dianjingin.”
Mereka semua menghela napas. “Lalu bagaimana kita harus kabur? Dimana kami harus berlindung?” sahut Jihan.
“Saat aku berada di lantai 2 aku melihat sebuah mobil di parkiran barat. Itu punya kalian?”
“Bukan, itu memang biasa disana. Seperti sengaja di tinggalkan pemiliknya. Kepala sekolah kami tak membiarkan kami mendekati mobil tua itu karena rumornya itu mobil berhantu.” Balas Kinara sambil bergedik ngeri.
“Mobil hantu gimana? Apa mobilnya hidup tanpa dinyalakan lebih dulu?” Damar tertawa, mereka sangat polos. Damar jadi ingin kembali kemasa dimana ia juga hanya tertawa dan bermain bersama teman-temannya. Masa remaja adalah masa yang sangat menyenangkan. Tidak harus memikirkan harus makan apa saat tanggal tua, tidak harus bergulat dengan tugas-tugas yang membuat kepala berasap dan ia juga tak perlu begadang semalaman. Ia ingin kembali seperti mereka yang masih percaya rumor tidak jelas di sekolah, entah itu tentang tanah ini dulunya bekas kuburan atau rumah sakit sebelum di bangun sekolah ini atau tentang mengaku mengambil dua gorengan padahal yang diambil lima pada Ibu kantin.
“Kalian tahu, mobil itu mungkin tak berhantu tapi sengaja di rumorkan seperti itu agar kalian tidak berbuat aneh-aneh dengan itu. Ini hanya dugaanku tapi sepertinya mobil itu milik kepala sekolah kalian.”
“Kenapa di taruh disana?”