Jakarta, 14 Mei 1998
Aruna terbangun dari tidurnya pukul 1 malam. Ia ingin ke kamar mandi yang berada di lantai bawah untuk membuang hajat. Begitu Aruna membuka pintu kamar, ia melihat sekelebat orang berbaju serba hitam sedang mondar-mandir di depan pintu gerbang. Aruna mengucek matanya untuk memastikan benarkah yang ia lihat barusan. Tidak ada apapun.
“Apa aku salah lihat? Yah siapa juga yang masih berkeliaran di jam segini. Lebih baik aku segera ke kamar mandi.” Aruna pergi begitu saja tanpa menutup kembali pintu kamar, membiarkan pintu terbuka setengah sebab ia sudah tak tahan lagi.
Angin menyapu badan mereka, memberikan sensasi dingin seolah memberi tahu kalian harus membuka mata saat ini juga. Anjani dan Kinar meringkuk mendekatkan badannya pada Dewi yang memang berada di tengah. Sinyal bahaya yang diberikan oleh alam mereka hiraukan begitu saja, keempatnya masih sibuk menjelajah alam mimpi masing-masing.
Kriett! Decitan dari pintu terdengar nyaring. Ada sekitar 4 orang dewasa memakai pakaian serba hitam masuk ke kamar lalu mengunci dari dalam. Sarah yang notabenya sensitif saat tidur, pelan-pelan membuka kelopak matanya saat ia mendengar suara pintu dan langkah kaki samar.
“Apa tidak ada yang bisa diambil?”
“Wah lihat ada roti roma.”
“Bodoh kita tidak kesini hanya untuk remahan itu. Di sini tak ada yang berharga, mungkin karena mereka berempat orang miskin.”
“Yah setidaknya gadis-gadis itu bisa membuat senang.”
“Kau benar, melihat mereka hanya memakai rok sependek lutut itu membuatku menggila.”
Jantung Sarah berdebar tak karuan ketika mendengar suara laki-laki berada di sini sampai-sampai dirinya terperanjat dari tidurnya. Rasa kantuknya hilang seketika saat kontak mata dengan salah satu pria berbadan pendek diantara tiga pria yang lain.
“Kau sudah bangun gadis manis?” ucap pria itu membuat buluk kuduk merinding.
“Anjani! Dewi! Kinar!” Sarah mencoba membangunkan ketiga temannya dengan sedikit berteriak.
Suara Sarah berhasil membangunkan ketiga temannya dengan perasaan terkejut. Masih setengah sadar mereka bisa melihat 4 orang seba hitam mendekati kasur mereka. Hal itu sontak membuat mereka berdiri. Kepala Kinar sampai berdenyut pusing sebab ia tiba-tiba berdiri.
“Siapa kalian?” tanya Dewi yang sudah berdiri di depan Anjani, Kinar dan Sarah. Menghadang siapapun untuk tidak menyentuh mereka bertiga.
“Apa namaku itu penting, cantik?” ucap seorang dengan badan besar lalu mencolek dagu Dewi. Dewi dengan kasar menampar pipi si pemilik tangan, “bajingan! Berani kau menyentuhku ha?!”
Anjani tak bisa melihat wajah keempat orang itu, wajah mereka ditutup dengan topeng.
“MALINGG!” teriak Anjani dengan keras membuat orang-orang itu gelagapan. Salah satu dari mereka menarik kasar lengan Anjani lalu membekap mulut gadis itu. Kinar yang berada di samping pintu dengan segera ingin membuka namun dirinya dengan mudah ditarik lalu di lemparkan begitu saja ke lantai.
“Jika kalian berteriak sekali lagi, teman kalian akan mati.” Anjani bisa melihat sebuah pisau menempel di lehernya.
“Hentikan! Kami akan diam, tapi tolong jauhkan itu darinya.”
Pria besar itu mengelus kepala Dewi seperti sudah berhasil menjinakkannya. “Simpan kembali pisaunya.” Titahnya.
Anjani mulai bernapas lega saat pisau itu tidak berada lagi di lehernya, dirinya terduduk lemas. Nyawanya baru saja terancam. Sarah menghampiri Anjani yang sudah lemas, ia memeluknya sambil mengatakan kita akan baik-baik saja walaupun Sarah sendiri tak yakin mereka akan selamat.
Baru saja mereda ketegangan diantara mereka, Kinar menjerit ketika rambutnya dijambak oleh pria yang berada di sampingnya. Dewi hendak menghampiri dan memberikan pukulan di wajah pria brengsek yang menyentuh temannya itu tapi tubuhnya di dorong keras oleh pria besar itu hingga punggungnya membentur sudut meja.
“Sudah kubilang untuk diam kan.” Ucap Pria besar itu.
Sarah mengeratkan pelukannya pada Anjani, gadis itu menangis ketakutan kala melihat teman-temannya diperlakukan seperti itu. “Apa kalian tidak ada hati huh? Jangan sakiti mereka. Kita sudah diam seperti permintaan kalian,” Anjani bisa mendengar suara isak Sarah saat selesai berkata seperti itu. Ia tak bisa menggerakkan badannya, ia masih lemas sebab kejadian tadi.
“Busurku..” kata Anjani dengan lirih. Sarah mengedarkan pandangannya, ruangan ini gelap sulit untuk melihat dimana busur itu berada. “Busurku..” ucapnya lagi. Sarah bisa mengerti mungkin Anjani perlu itu untuk menghentikan ini semua. Sedetik kemudian Anjani pingsan di dekapan Sarah.
“AAA BRENGSEK KAU BAJINGAN!” Seru Kinara saat pria itu menjilati leher Kinar. Kinar memberontak tapi tangannya ditahan dengan mudah. Mata Dewi memanas, matanya menangkap sesuatu yang mengerikan. Temannya dilecehkan.
“APA YANG KAU LAKUKAN!” teriak Dewi. Ia bangkit kembali namun didorong lagi. Dewi bisa melihat temannya itu menangis saat kancing seragamnya mulai dibuka satu persatu.
“Tolong. Aku mohon jangan sentuh teman-temanku! Biarkan mereka keluar dari sini.” Dewi bersimpuh di hadapan pria besar. Ia menundukkan kepalanya memohon dengan sangat agar mereka melepaskan teman-temannya.
“Omong kosong apa yang kau bicarakan? Kami semua lapar kau tahu? Dan beruntungnya kita menemukan 4 gadis manis seperti kalian.” Pria itu berjongkok, menjambak rambut Dewi agar mendongak menatapnya.