Pov: Jihan Atmanegara
Aku melihat bulan sabit malam ini begitu indah, namun dia tak sendiri, bintang-bintang ikut meramaikan malam yang panjang ini. Pikiranku masih melayang, membayangkan kemungkinan terburuk kondisi Ibuku saat ini. Aku ingin pulang, aku merindukannya.
Lamunanku dipecah saat pundakku ditepuk oleh Akio. “Ga tidur?” aku menggeleng ringan, Akio menyandarkan kepalanya pada bahuku.
“Han bagaimana kalau kita mati?” ucapnya tiba-tiba.
“Tak akan ada yang mati. Kita akan terus bersama. Kau bisa mengandalkanku.” Aku bisa mendengar laki-laki itu tertawa kecil lalu menepuk bahuku pelan. “Yah kami semua mengandalkanmu.”
Hanya tersisa Aku, Akio, dan Abi yang masih terjaga malam ini, kami bercerita banyak hal salah satunya adalah ketika Abi menceritakan dirinya dan Anjani akan ikut olimpiade bulan September nanti. Katanya ia akan satu tim dengan Anjani. Aku sangat tahu temanku satu itu sangat gila dengan cabang panahan. Ia terus berlatih tak kenal henti agar posisinya tetap diatas.
Kini sudah jam 1 malam. Mataku melihat Aruna berlari ke kamar mandi seorang diri. Mataku masih terpaku pada Aruna yang sudah masuk ke dalam bilik tapi tak lama setelah itu, kepalaku digebuk seseorang dari belakang, aku tersungkur ke tanah, kepalaku berputar-putar tapi aku masih bisa melihat Akio dan Abi juga tumbang. Mereka membekap hidung teman-temanku dengan saputangan. Apa karena itu Akio dan Abi pingsan?
Aku sungguh tak mengenali mereka. Dari mana mereka semua datang? Mereka berpakaian serba hitam dan memakai topeng. Apa mereka maling?
Aku tak kuat lagi menahan rasa pening yang menjalar di belakang kepalaku, mataku sangat berat untuk tetap terbuka. Samar-samar aku melihat mereka mulai masuk ke dalam kos setelah itu aku tak tahu apa yang akan terjadi.
….
“Jihan! Jihan bangun..” suara itu masuk ke pendengaranku, aku menggerjapkan mataku sebab kepalaku masih terasa sakit. Yang pertama kali kulihat adalah Aruna. Raut wajah gadis itu tampak gusar.
“Ada apa?” lalu Aruna membantuku untuk duduk, “seharusnya aku yang bertanya, kenapa kau tidur di tanah.”
Aku mencoba mengingat kembali, namun nihil. Aku tak mengingat apapun. Samar-samar aku mendengar teriakan. Aku menelisik dari mana suara itu berasal. Perasaanku kemudian menjadi cemas, pasalnya suara itu seperti terdengar dari kamar lantai atas.