Jakarta, 2 Februari 2015
Entah apa yang dipikirkan para bajingan itu, mereka semua tega membunuh teman kami yang masih mengharapkan suatu kehidupan. Dengan mata yang masih terpejam, aku bisa mencium bau obat-obatan. Kepalaku pusing ketika mataku berhasil terbuka, Aku mengerjap mencoba menyesuaikan cahaya yang masuk, yang kudapati saat membuka mata ialah ruangan serba putih bersama Senar yang tertidur di samping ranjangku. Kepalaku melayang kembali mengingat kejadian yang merampok nyawa teman-temanku. Mereka telah mati. Sesak, napasku tersenggal ketika mengingatnya.
Senar terbangun karena isakanku mengacaukan mimpinya, ia memelukku lalu mencium kepalaku. Merapalkan kata-kata bahwa kami sudah aman. Aku bertanya padanya bagaimana dengan yang lain? Dan dimana kita berada, kenapa tiba-tiba berada disini?
Dia berkata bahwa tim relawan menemukan kami semua tak sadarkan diri. Jihan dan Dewi juga sudah ditemukan, jenazah mereka akan dibawa kerumah sakit ini. Laut, Saga dan Juna ditemukan mati ditempat kejadian, peluru mengenai organ vital mereka. Akio, lelaki itu meninggal setelah sampai di rumah sakit sebab pendarahan di kepalanya. Abi, Abisena pria yang kukagumi mengalami shock berat sebab dirinya tak bisa lagi berpanah. Mimpinya sirna ketika lengannya lumpuh total karena cedera yang ia alami. Aruna dan Sarah sudah dipulangkan ke keluarga mereka. Sedangkan Kinara, dia keadannya tak jauh beda dengan Abi, Kinara sangat terguncang saat Akio dinyatakan telah meninggal. Air mataku luruh kembali, Senar juga mengatakan aku tak sadarkan diri seharian penuh tapi kondisiku baik-baik saja.
Sehari setelahnya tepatnya tanggal 16 mei, Aku dan Senar dipulangkan. Ibuku memelukku dengan begitu erat dan hangat. Aku sangat bersyukur ibuku tak kenapa-napa. Ia bercerita saat dipindahkan ke tempat pengungsian dirinya hampir gila sebab aku tak kunjung pulang.
Berbulan-bulan kemudian, Aku mendapat kabar dari Senar. Kabar buruk yang membuatku kesulitan bernapas. Senar berkata Abisena meninggal sebab depresinya, pria itu sebelumnya sudah melakukan percobaan bunuh diri beberapa kali namun bisa dihentikan oleh keluarganya. Aku menghampiri pemakaman Abi bersama keempat temanku yang tersisa. Pemakaman Abi berjalan dengan lancar, ini adalah hari terakhir kami berempat bertemu. Kami memutuskan berpisah sebentar untuk mengobati hati masing-masing.
Air mata Ayesha membasahi lembaran kertas itu, ia menarik napasnya sebelum ia membalik lembaran terakhir.
Kami berlima berkumpul kembali di tahun 2005. Usia kami sudah 25 tahun. Aku juga sudah berhenti di dunia atlet sejak aku mengandung Ayesha. Ayesha putriku sangatlah cantik, sayangnya dia sama sekali tak mirip denganku. Ayesha adalah coppy paste suamiku. Senar Raditya Nasution.
Senar tak memberi marga pada Ayesha sebab katanya sudah terlalu kuno menggunakan marga di belakang nama. Senar bekerja dengan baik, pria itu memang sangat menakjubkan. Ia menjadi direktur di sebuah perusahan tempat merintisnya dulu. Hidup kami tak kekurangan apapun. Aku bahagia, kami berlima hidup lebih baik dan bisa berdamai dengan masa lalu kami.
Setiap tahun tepatnya tanggal 2, kami berlima setuju untuk berziarah. Mengobati rindu kepada teman-teman kami yang sudah berpulang lebih dulu. Aku sengaja menulis kembali kisah ini, aku dan Senar akan semakin tua tapi tulisan ini akan terus ada membantu kami mengingat kembali teman-teman yang kami sayangi.
Ayesha menutup buku itu, ia memeluk buku diary milik Ibunya. Air mata Ayesha tak bisa berhenti membuat mata gadis kecil itu bengkak.
“Ayesha..Papamu datang!” seruan Nenek membuat Ayesha segera menghapus jejak air matanya. Bisa gawat jika dia ketahuan menangis.
Ayesha melihat Senar dengan setelan jas coklatnya, ia melompat dan memeluk sang Ayah. Ayesha rindu, ia tak bertemu dengan Ayahnya hampir sebulan sebab Senar sibuk bekerja di luar kota.
“Papa kau tahu dari mana aku di sini?” Senar tersenyum, matanya hilang seperti biasanya saat lelaki itu tersenyum. Lalu ia membenarkan gendongannya pada putrinya agar putrinya nyaman. “Ibumu yang memberi tahu. Sebentar lagi dia pasti datang kemari.” Terang Senar sambil mencium pipi putri kecilnya.
Ibu-papa? Perbaduan yang aneh memang anak jaman sekarang. Tapi tak apa sebab Senar dan Anjani sangat menyayangi Ayesha. Senar mengamati wajah putrinya sejenak, ia menyadari mata Ayesha sembap.
“Kau habis menangis? Siapa yang berani menyakitimu?” Senar sudah memasang wajah garangnya, Ayesha menyengir saja, bingung bagaimana menjelaskannya pada sang Ayah.
Untungnya sebelum menjawab pertanyaan Senar, mobil Anjani membuat Senar teralihkan. Ayesha bernapas lega sekarang.
“Ayesha kau sudah besar, kasian papamu.” Ujar Anjani sambil berjalan masuk kerumah.
“Aku tidak setua itu, bahkan aku masih sanggup menggendongmu.” Anjani memukul punggung Senar tapi Senar malah mencium kening Anjani. Ayesha memutar matanya malas, apa orang tuanya tak malu bermesraan di depan anaknya dan Nenek?
“Ayesha matamu kenapa?” Ayesha menggaruk tengkuknya yang tak gatal saat Ibunya juga menyadari hal yang sama. Mau tak mau ia harus mengaku.
“Papa turunkan aku, kalian duduk dulu bersama Nenek. Aku mau mengambil sesuatu.” Anjani dan Senar saling menatap. “Baiklah sayang.” Ucap Senar sambil menurunkan putrinya. Senar beralih mengaitkan tangannya pada pinggang istrinya, mengajaknya untuk duduk di ruang tamu.
“Bu, apa dia menyusahkanmu?” tanya Anjani setelah dirinya dan Senar mengecup tangan Nenek.
“Tidak. Ayesha malah sering berada di kamarnya. Entah apa yang dilakukan anak itu.” Balas Nenek dengan tenang, “kalian akan pergi bersama Ayesha nanti?” pertanyaan Nenek membuat senyum Senar terukir kembali.
“Dia harus tahu pamannya.” Kata Senar.
Ayesha keluar dari kamarnya dengan membawa sebuah buku hijau. Senar bertanya-tanya buku apa yang dibawa putrinya?