Tidak terasa, siang berganti sore dan sore digeser begitu saja oleh gelapnya malam. Setiap sudut SMA Wirabrata jelas memberikan banyak kenangan untuk semua orang. Benar namanya sudah diganti menjadi SMA. Memori yang mereka rajut di sini bersama-sama, mungkin sekarang sudah menjadi lembaran kenangan yang siap untuk disimpan dan dibicarakan lagi setelah waktu berlalu.
Bangunannya sudah tak sama lagi, cat tembok juga sudah diganti. Ini adalah kunjungan pertama mereka setelah berdamai dengan masa lalu. Sengaja malam-malam kemari sebab mereka tak ingin diganggu oleh ricuhnya anak-anak SMA yang berlari kesana-kemari disepanjang lorong. Ide konyol ini berasal dari Sarah yang memang menikah dengan anak pemilik sekolah ini, sebab itu mereka mudah mendapatkan akses masuk di jam seperti ini.
Anjani, Senar, Kinar, Sarah dan Aruna duduk di bangku mereka masing-masing di kelas 12-2. Ruangan ini terang sebab sinar bulan purnama masuk dari jendela seolah menyambut mereka setelah sekian lama. Kelimanya diam, menatap penjuru kelas dengan perasaan berkecamuk, khususnya adalah Senar yang kini menatap barisan depan yang sudah kopong melompong. Padahal biasanya kursi-kursi itu akan diisi oleh Jihan, Laut, Abi, Juna, lalu dibelakang kursinya ada Saga dan Akio.
Hening, tak ada yang berbicara seolah ini adalah waktu untuk merindu. Kinara menatap bangku Akio dan Abi bergantian. Ada rasa rindu, bahagia bahkan sedih yang menjalar di hatinya. Ia sangat ingat ketika ia harus berjuang mati-matian atas depresinya. Ia harus menelan kenyataan pahit jika saudaranya dan cintanya sudah tak lagi ada untuknya. Akio adalah satu-satunya keluarga yang tersisa bagi Kinar, dulu dia akan dengan mudahnya meminta Tuhan agar mencabut nyawanya juga, tapi sekarang tidak. Ia sadar ia harus bisa berdiri sendiri tanpa Akio, sifat manjanya sudah ia musnahkan untuk bertahan hidup. Sedangkan Abisena, tak akan ada yang bisa mengantikan cintanya pada pria itu. Itulah mengapa Kinara memilih untuk tidak menikah. Hatinya hanyalah untuk Abisena.
Jika ada obat yang bisa menyembuhkan rasa rindu mereka pada teman-temannya, Mereka sudah pasti memborongnya. Tak peduli seberapa mahal obat itu, yang jelas rindunya segera terobati.
Anjani menoleh menatap keluar jendela, ia mengingat kembali ketika dirinya ingin menyewa pengacara agar bisa mengangkat kasus teman-temannya. Namun Anjani sadar ia juga tak tahu siapa keempat perampok itu, bagaimana bisa ia mencari keadilan jika tersangkanya saja ia tak tahu. Setahun setelah peristiwa berdarah itu juga para pemerintah menutup rapat apa yang sudah terjadi, tak ada yang bisa dimintai pertanggung jawaban. Perjalanan terakhir mereka benar-benar selesai, rindu mereka tak akan pernah ada obatnya, selamanya.