Papi selalu mengajarkan pada Lito untuk kuat. Mau itu tentang cacian dari orang-orang, saat menghadap kegagalan, saat menyikapi kekecewaan dan saat dihadapkan pada perpisahan yang menyakitkan. Papi punya cara sendiri untuk memperbaiki suasananya hatinya, yaitu dengan merenung sendirian.
Ternyata, saat Lito melakukan hal itu juga, ia merasa lebih tenang. Semuanya terasa damai kembali, meski membutuhkan waktu yang tidak bisa dibilang singkat. Lito pikir itu juga berlaku pada kembarannya, Lathi. Hari ini pasti merupakan hari yang membuat Lathi sangat terguncang, atau bahwa sedih.
Saat mengetahui Lathi Tak bisa dihubungi dan dua temannya pun tak tahu-menahu tentang keberadaannya, Lito sudah berpikir bahwa Lathi memang ingin waktu untuk merenung sendirian meski Lito sangat khawatir. Lito masih mencoba mencari Lathi, takut-takut kalau kembarannya itu melakukan hal yang tidak-tidak. Lito mencari di atap sekolah, di toilet perempuan yang membuatnya dapat teriakkan beberapa perempuan di dalamnya dan di belakang sekolah.
Ternyata, Lathi ada di sana. Dan ia tidak sendiri. Namun, kembarannya itu tampak cerah.
Dari sana, Lito menyimpulkan bahwa Lathi mungkin saja tidak seperti dirinya dan Papi saat memperbaiki hati yang kelam. Mungkin Lathi adalah tipe yang butuh seseorang yang memperbaiki suasana hatinya.
Saat itu, Aldo ada di sisinya.
Karenanya, Lito jadi curiga. Apalagi saat laki-laki itu pergi ke jelas Lathi saat bel pulang sekolah telah berbunyi dengan kotak makan di tangannya. Saat Lito bertanya, ternyata Aldo memang mau memberikannya pada Lathi karena tadi lupa.
Saat Lathi keluar dari kelasnya dengan jaket hitam dan memakai kupluk, Aldo langsung tersenyum menyambutnya dan memberikan kotak makan kepadanya. Lathi menerimanya tanpa kata-kata, lalu berlalu pergi.
Kening Lito mengerut heran dan saat Aldo hendak menyusul langkah Lathi, Lito menyeret Aldo ke depan kelas untuk bicara. Dery sendiri sudah pulang duluan karena ada acara nonton dengan pacarnya.
Kening Aldo ikut mengerut saat diseret Lito secara tiba-tiba. "Kenapa, To?"
"Lo suka sama kembaran gue?"
"Hah? Maksud lo?" Aldo malu untuk mengaku, jadi ia pura-pura bodoh saja.
"Tadi gue liat lo gulungin rambut Lathi, terus kasih jaket juga." Lito menjelaskan singkat. "Lo nggak pernah sampai gitu sama cewek. Jadi, lo pasti naksir sama Lathi."
Aldo mengerjapkan matanya dengan gugup. "Bukan gitu, To. Gue emang baik ke semua cewek. Tadi, Lathi kelihatan sedih, jadi gue bantuin hibur."
"Jangan banyak alesan lo," tukas Lito tak suka. "Suka apa nggak lo sekarang? Kalau nggak, mending jauh-jauh dari Lathi, kalau suka ya langsung tembak aja nggak apa-apa."
Hampir saja Aldo mendelik karena tak suka dengan sifat suka memutuskan secara asal-asalan ala Lito. Namun, ia sadar bahwa menciptakan tali permusuhan dengan Lito sama saja dengan memperpanjang jaraknya dengan Lathi.
Jadi, Aldo membuang napasnya dengan pasrah dan menganguk. "Iya, gue suka sama kembaran lo. Gue naksir kembaran lo dari MPLS."
Mata Lito langsung berbinar. "Apa? Dari MPLS? Dari awal ketemu, dong?"
"Iya. Gue suka sama Lathi pas pertama liat." Aldo melotot kesal. "Puas lo?"
"Buset, emang Lathi ada apanya sampe lo suka pas pertama ketemu?" Lito tertawa geli, agak tak percaya karena temannya yang kelihatan tak tertarik dengan perempuan manapun selama ini ternyata sudah menyukai kembarannya sejak dulu.
"Lathi apa adanya, jadi gue suka." Aldo menukas enggan. "Udah. Selesai."
"Kapan nih mau ditembak?" tanya Lito semangat. "Gue kasih tau nih ya, Papi sama Mami itu larang gue sama Lathi buat punya pacar. Jadi, gue sama Lathi nggak pernah berani ada pacar. Tapi ... sekarang ada lo."
"Ada gue sekarang, terus kenapa?" balas Aldo pura-pura keren. Padahal ia merasa gugup karena ternyata banyak halangan untuk dekat dengan Lathi.
"Coba lo sama Lathi pacaran. Gue pengen tau reaksi Papi sama Mami soalnya." Lito tertawa iblis. "Gue bantuin, deh. Kapan lo mau tembak Lathi?"