"Ekhm."
Lathi sedang memakai cat kuku pada kuku kakinya saat Lito lagi-lagi masuk ke kamarnya tanpa izin. Karena sedikit terkejut, tangan Lathi jadi bergerak hingga kuas cat kukunya meleset hingga mengotori area selain kuku kakinya. Lathi berdecak kecil, mengambil tisu dan membersihkan kesalahannya segera.
"Ngapain lagi lo?" tanya Lathi ketus.
Lito tersenyum penuh arti. "Lo pacaran sama Aldo, ya?"
Lathi menahan kuat-kuat wajahnya agar tetap datar. "Nggak."
"Tapi, kata Aldo iya." Lito menukas dengan sedih. "Kasian banget, sahabat gue ternyata cinta sepihak. Hu hu, sedihnya."
Kening Lathi mengerut. Bukannya ia dan Aldo sudah sepakat untuk backstreet sore tadi? Tapi, kenapa Lito tahu?
"Kenapa gue bisa tau?" tanya Lito seperti mampu membaca apa yang dipikirkan Lathi. Sebenarnya tak perlu kemampuan spesial untuk Lito begitu. Ia dan Lathi memang sudah ditakdirkan untuk nisa membaca pikiran masing-masing hanya dengan melihat mata. "Ya, karena Aldo cerita di grup. Katanya dia gugup, nggak tau harus luapin di mana lagi selain ke gue sama Dery. Dari awal, Aldo udah cerita semua."
Tubuh Lathi membatu. Kalau Lito tahu, bisa gawat. Kalau Lito tahu, kemungkinan besar Papi dan Mami akan tahu secara lambat laun.
"Termasuk lo berdua mau backstreet," tambah Lito dengan senyum puas.
Lathi menatap Lito dengan khawatir. Segera, ia mengambil tangan Lito untuk dibawa duduk di dekatnya, kemudian menatapnya dengan lekat. "To, dengerin gue baik-baik."
Lito menaikkan satu alisnya.
"Gue sama Aldo emang pacaran, emang backstreet. Karena itu, lo harus tutup mulut." Lathi meminta dengan sangat memohon. "Gue nggak mau bikin masalah, lo harus bantuin gue, To."
"Masalahnya, masalah lo bukan masalah gue, La." Lito menukas seenak jidat. "Gue pengen kasih tau Papi sama Mami kalau lo pacaran dan liat reaksi mereka."
"To, tolongin gue, To. Hidup gue sekarang bergantung sama lo," rengek Lathi seraya menggenggam kedua tangan Lito. Hal yang jarang ia lakukan. Lathi jarang sekali begini, bahkan saat perempuan itu mencuri buah milik Mami dari kulkas dan Lito menangkap basah dirinya, Lathi tak memohon sampai seperti ini.
Karena ini, hati Lito sedikit tersentuh. "Segitu cintanya lo sama Aldo?"
Malu mengakuinya secara terang-terangan, tapi mau bagaimana lagi. Akhirnya Lathi mengangguk cepat dengan wajah putus asa. "Gue cinta banget sama Aldo. Melebihi seluruh dunia beserta isinya, To. Jadi—"
"Iw, lo bucin juga ternyata."
"Gimana lagi, To. Cinta emang bikin gila," balas Lathi tanpa malu-malu meski Lito sudah memasang wajah luar biasa jijik. "Gue harap lo bisa ngertiin meski—"
"Ya udah, oke." Lito memotong dengan wajah terpaksa, kemudian ia berkata-kata dengan bijak, "lo juga pernah bantuin gue waktu main judi dan bohong ke Papi Mami di masa lalu. Jadi, sekarang gue mau balas budi."
Senyum Lathi terkembang lega. "Ini baru adik kembaran yang berbakti."
***
"Pi, Mi, aku mau ke perpustakaan," izin Lathi setelah sarapan pada Sabtu pagi ini selesai dilakukan.
"Ngapain? Kerja kelompok?" tanya Papi penasaran. Tak biasanya Lathi keluar rumah jika tak ada kerja kelompok.
"Nggak, aku mau belajar sama temen."