Our Lie

Dini Salim
Chapter #22

22. Hate Comments

Hari pembagian hasil belajar selama satu semester terakhir dibagikan hari ini. Semuanya orang berdebar menantinya. Biasanya orangtua yang datang untuk mengambilnya. Namun, beberapa anak mengambilkan sendiri atas berbagai alasan yang memungkinkan orangtuanya tidak bisa hadir. 

Saat orangtua berada di ruangan kelas untuk diberi pengarahan dan pembagian raport, anak-anak menunggunya di kawasan sekolah. Entah itu di depan kelas, di perpustakaan atau di kantin seperti yang dilakukan April, Lathi dan Mega. 

Alasan mengapa mereka berada di kantin adalah karena April belum sarapan hingga harus memakan beberapa energi di kantin. 

"Akhirnya, rapot lo diambil sama Papi Mami lo." April berkata senang pada Lathi. Saat ia teringat dengan kedatangan Papi dan Mami Lathi yang jelas-jelas mengambil semua perhatian orang-orang. Selain karena nama mereka yang tidak asing, tetapi juga penampilannya. Rambut Papi Lathi berwarna berbeda dari sebelumnya. Dari merah menyala ke biru lautan. Mami Lathi beda lagi, baju yang dipakainya seperti Cinderella yang keluar dari negeri dongeng. "Kemarin-kemarin selalu aja Pak Anton yang ambil." 

"Jelas dong, sekarang Lathi udah jadi anggota keluarga Efrad." Mega menambahkan dengan senyuman lebar hingga matanya sedikit menyipit. 

Lathi memutar bola matanya atas perkataan Mega yang sedikit mencubit hatinya. "Emang sebelumnya gue bukan anggota keluarga Efrad?" 

"Ya," Magenta tertawa hambar, "nggak gitu juga, La."

"Intinya sama," tukas Lathi tak suka. 

Mega hanya tertawa kecil. Merasa bersalah, tapi tak begitu menyesal karena berhasil menggoda Lathi. 

"Oh, ya, La," kata April kemudian, membuat Lathi menoleh ke arahnya dengan satu alis terangkat. 

"Kenapa?" tanya Lathi. 

"Lo jadi kan bintangin film?" tanya April penasaran. 

Lathi mengangguk dengan semangat yang rendah. "Kalau umur gue panjang, ya, jadi." 

April mencibir panjang. "Ye ... kok gitu? Nggak niat ya, lo?" 

"Niat nggak niat, sih," balas Lathi enteng. 

"Kalau gue haters-nya, udah gue jambak rambut ungu lo sekarang, La," tukas Mega gemas. Kemarin Lathi memang baru saja mengecat rambutnya lagi karena Papi memaksanya agar itu pemotretan untuk iklan cat rambut. 

Lathi membuang napas kecil. "Jambak aja. Gue juga nggak suka sama warnanya." 

"La," kata Mega dengan nada memelas. "Sebenarnya lo kenapa, sih? Nggak semangat banget buat jadi artis. Zaman sekarang tuh orang-orang justru pengen banget jadi lo." 

"Serius?" tanya Lathi tak percaya. 

"Iya!" Kini, April yang menjawab. "Orang-orang jelas mau followers IG-nya banyak kayak lo, udah mau dua juta, kan? Banyak orang di luar sana yang casting berjuta-juta kali dan nggak langsung jadi PU kayak lo. Banyak juga orang yang mau terlahir di keluarga berada kayak lo. Lo sendiri kenapa kayak nggak bersyukur banget, gitu? Gue sebagai temen jadi kesel paket banget." 

"Bener tuh," tukas Mega setuju. 

Lathi lagi-lagi membuang napasnya. Ia benar-benar tak habis pikir dengan pikiran teman-temannya dan orang-orang di luar sana. Kemudian, ia mengeluarkan ponselnya untuk menunjukkan sesuatu pada April dan Mega. 

"Kalau orang mau jadi gue, mereka harus baca dulu komen yang gue dapet di medsos, mau di lapak keluarga, Papi, Mami atau Lito. Semuanya ngomongin gue," kata Lathi kesal. Sementara itu, April dan Mega membaca komentar yang dikumpulkan Lathi dengan rajinnya. "Gue merasa bukan anggota keluarga Efrad, kalau kalian mau tau. Gue biasanya nggak peduli, tapi kalau itu terjadi berhari-hari, setiap hari, setiap waktu dan setiap kali gue buka hp ... gue juga nggak kuat, Pril, Ga." 

Siapa nih? 

Lihat selengkapnya