Our Lie

Dini Salim
Chapter #24

24. Menemukan Obat

"Woi, Lito!" 

Lito mengerutkan keningnya saat mendengar seseorang memanggilnya. Seingatnya, ia tak punya siapapun kenalan di sini. Tiba-tiba ada yang mengenal dan memanggil seperti saat ini membuat Lito horor sendiri. Salahnya sendiri, karena sok berani membeli makanan ringan ke minimarket sendirian. 

Sebagai laki-laki sejati, Lito membalikkan badannya meski seluruh mentalnya menciut. Saat melihat seseorang di depannya, Lito membuang napas lega. Bukan hantu, ternyata. "Iya, ada apa?" 

Orang itu—laki-laki dengan piercing di telinga, tato di leher dan pakaian ala rocker memiringkan wajahnya dengan senyuman lebar. "Bener lo, To. Apa kabar?" 

"Hah?"

"Najis lo, udah famous jadi lupa temen sendiri." Dia tertawa kecil, padahal Lito benar-benar lupa tentang dia. Lito jadi tertawa hambar karena tak tahu lagi harus memberi tanggapan seperti apa. "Ini gue, Farhan! Temen sebangku lo pas SMP, Njir! Gue pindah waktu kelas tiga, tepatnya di D.O." 

Mulut Lito akhirnya membulat, memberi tanda bahwa ia ingat siapa Farhan. "Oh! Farhan! Rambut lo tumbuh, sih, gue jadi nggak kenal!" 

Lito bilang begitu karena sebelumnya, terakhir kali ia bertemu dengan Farhan, sekitar tiga tahun yang lalu, laki-laki itu tak punya rambut alias botak. Farhan juga berubah banyak tentang penampilannya. Dahulu, Farhan memang sudah nakal, tapi sekarang kelihatan lebih-lebih nakal. Lito jelas tercengang. 

Farhan tertawa senang karena Lito ingat padanya. "Gimana? Apa kabar? Ngapain lo di sini?" 

"Baik-baik aja. Gue di sini liburan bareng keluarga. Lo sendiri?" 

"Gue manggung, To." Farhan tertawa ramah. "Seminggu lagi gue juga balik ke Jekate." 

"Manggung di mana? Kok nggak undang gue?" tanya Lito semangat sekaligus kecewa. 

"Adalah, panggung kecil-kecilan, kok," tukas Farhan santai. "Kalau gue ajak, emang lo mau ikut?" 

Lito tersenyum santai. "Kenapa nggak? Gue kangen sama lo, Botakku!" 

"Najis," tukas Farhan geli. Kemudian, ia melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. "Panggungnya satu jam lagi mulai. Mau bareng ke sana atau mau ganti baju dulu?" 

"Sekarang banget?" 

"Yoi. Jam sepuluh langsung mulai." 

"Bentar, gue telpon kembaran gue dulu buat ambil ini. Gue ikut bareng lo." 

***

Dari dulu, Lito memang paling dekat dengan Farhan. Selain karena dulu mereka satu meja, keduanya juga kerap disatukan dalam sebuah acara hingga lama-kelamaan semakin akrab saja. Meski beda status sosial, kapasitas otak, banyaknya rambut di atas kepala dan paras wajah, keduanya sangat lengket hingga tak bisa dibedakan. 

Seperti Indonesia yang berbeda-beda tetapi tetap satu, Farhan dan Lito juga sama begitu. Rajin bersama-sama, nakal juga bersama-sama. Bahkan Lito sering dimarahi Papi karena ikutan nakal gara-gara Farhan. Beberapa kali keduanya mengalami masalah hingga terancam berpisah, tapi berhasil melewatinya. 

Hingga kemudian, secara tiba-tiba Farhan dikeluarkan atas alasan yang tidak diketahui semua orang. Termasuk Lito. Farhan merupakan satu-satunya teman terbaik yang pernah Lito punya bahkan sampai saat ini. Maka dari itu, Lito tak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk bersamanya, mengikis rindu yang selama ini tercipta. 

"Lo ke mana aja selama ini?" tanya Lito khawatir. Hubungannya dengan Farhan terlalu dekat hingga dikira sebagai sepasang kekasih di zaman dulu. Padahal, mereka berteman dekat saja. Sama sekali tidak menaruh perasaan secara romantis. 

"Gue keliling-keliling dulu. Nyari tempat bagus, enak dan nyaman." Farhan tetap fokus menyetir saat menjawab. Laki-laki itu juga kebetulan tinggal di hotel yang sama dengan keluarga Lito, tapi Farhan sudah check out lima menit yang lalu dan mengambil mobilnya—sebenarnya milik atasannya untuk dikendarai menuju tempatnya nanti manggung. "Karena manggung, gue pindah-pindah, To." 

"Lo ... nggak sekolah lagi?" tanya Lito agak ragu, merasa tak enak.

Farhan tersenyum tipis. Laki-laki itu jauh lebih dewasa dari yang Lito lihat terakhir kali. "Gue sibuk nyari uang buat makan, To. Nggak ada waktu buat sekolah. Yang ada utang gue main banyak buat biaya sekolah." 

"Lo kenapa nggak bilang ke gue aja?" 

Lihat selengkapnya