Desember, 2010
Para pasukan langit masih setia menyambut di awal hari. Sudah hampir sepekan, dia tak membiarkan bumi ini kering untuk sejenak. Menambah hawa dingin yang merasuki sukma. Juga perasaan canggung yang masih enggan untuk sirna.
Entahlah. Aku bahkan tidak mengerti dengan diriku sendiri. Dia terlampau baik untuk diriku yang kaku. Harusnya aku tersentuh akan setiap perilakunya. Yang seringkali begitu peduli, bahkan terhadap hal-hal kecil. Memang, usia tidak menjamin kedewasaan. Tapi dia membuktikannya.
Sebelas tahun, namun tak membuatnya terkesan tua. Justru dia tampak berwibawa. Meskipun awalnya aku merutukinya. Aku pernah menganggapnya sebagai pria tua kolot. Yang tidak akan jauh beda dengan orang-orang sebelumnya. Yang sibuk mengatur dan membuat keputusan semaunya. Tanpa memperdulikan perasaanku.
Yang mereka tahu adalah tentang kebaikan untukku. Sayangnya tak semua hal baik memiliki efek yang sama kan. Memang pada dasarnya, memaksakan kehendak tak pernah baik adanya.
"Apa kamu bahagia?"
Aku terperanjat, mendengar suara yang tiba-tiba. Sejak kapan dia ada di sini? Bukankah dia akan sibuk di ruang kerja sampai siang? Dan mengapa dia menanyakan itu? Sesuatu yang belum pernah ku dengar sebelumnya. Sekarang aku bingung bagaimana menjawabnya.
"Lebih dari satu bulan kita tinggal di ata yang sama Kay. Dan aku selalu melihatmu termenung. Apa yang mengganggumu?"
Seketika mataku terasa panas, tanpa ku minta. Bulir bening itu luruh begitu saja.
"Eh, kok malah nangis. Maaf, apa perkataan ku sudah menyakitimu?"
Ya Tuhan! Bagaimana bisa ada orang selembut ini? Mengapa dia sangat baik?
"Apa aku sudah merepotkan?"
Dia meraih jemariku, membalutnya dengan genggaman lembut yang terasa menghangatkan. "Bahkan aku ingin selalu direpotkan olehmu."
Ku tatap wajahnya perlahan, ku beranikan diri menembus sorot netra yang indah itu. "Ku harap kamu tidak akan menyesalinya."