Februari, 2011
Mungkin tak ada yang berubah sejak status ku berganti menjadi Nyonya Purwanindra. Tapi, aku semakin merasa nyaman menjalani keseharian ku. Ya, khususnya jika aku berada di sini.
Rumah minimalis, dengan dua lantai. Hadiah pernikahan dari Mama dan Papa. Orang yang tadinya hanyalah asing, tapi justru tidak pernah membuatku merasa sendirian.
Sayangnya, dalam setiap bahagia, seringkali hal-hal di masa lalu menjadi penyusup yang menimbulkan dilema. Aku sangat sadar dan mengakui bahwa luka itu perlu disembuhkan. Aku tak bisa terus mengelak. Hanya saja, aku selalu merasa tidak siap untuk memulainya.
Seperti beberapa menit lalu, sebelum kami terdampar di rumah ini. Aku masih baik-baik saja, menyelesaikan beberapa hal sesuai arahan Miss Anne. Bahkan aku mendapatkan pujian dari beliau. Lalu ponselku berdering. Dan aku masih antusias, hingga ...
Aku melihat deretan huruf yang tertera di layar. Aku ragu untuk menggeser ikon hijaunya. Tapi sisi lain dari diriku mendorong untuk menghadapinya. Ayolah, itu bukan sesuatu yang perlu ditakutkan. Ya, aku memang tidak lagi merasa takut, tapi tekanan itu seolah merenggut semua tenagaku.
Sebuah genggaman erat tapi terasa lembut, seolah memberiku energi baru. Juga keyakinan untuk melakukan sesuatu yang selama ini tak pernah bisa ku utarakan. Kata demi kata terlontar dari bibir ku. Diselingi luapan beragam emosi.
Tak ada yang menghentikan ku, situasi seakan begitu memahami bahwa saat ini mereka harus mendengarku. Meskipun air mata membanjiri wajahku, semua ganjalan dalam hati terasa lebih ringan. Sesak yang sempat mendominasi, pun perlahan pamit undur diri.
Ia membawaku keluar dari ruangan itu, tetap setia merangkul bahuku dengan lengan kekarnya. Ku pikir ini sudah selesai, tapi entah mengapa tangisku kembali pecah. Aku terduduk di depan pintu mobil yang terbuka. Tak lama, ia juga melakukan hal yang sama. Ku pikir ia akan membantu ku untuk berdiri.
Namun sungguh di luar dugaanku, aku melihatnya sudah beruraian air mata. Lelaki yang selama ini selalu menunjukkan lengkungan di kedua sudut bibirnya. Juga mata yang berbinar bahagia. Kini terlihat menyedihkan. Tapi untuk apa?
"Maafkan aku Kay! Aku gagal melindungimu."
Ya Tuhan, jadi dia sedang merasa bersalah? Tidak tidak, ini juga tidak benar.
"Jangan membuatku terlihat buruk. Kamu sudah melakukan begitu banyak untuk ku." Aku memberanikan diri untuk memeluknya. Ya, itu sudah ingin ku lakukan. Dan aku memiliki kesempatan saat ini.
"Bukankah kamu janji membawaku pergi malam ini?"
Dia menatapku, seolah memastikan bahwa aku tidak sedang mencoba berpura-pura. "Aku serius. Aku juga ingin tahu, ke mana kamu akan membawaku."
"Kamu yakin Kay?"