Our Summer

Erlang Kesuma
Chapter #5

Lelaki Keluarga Narendra

“Membagikan kesedihan merupakan hal yang bodoh. Karena mereka yang bilang mengerti, belum tentu merasakan hal yang sama pula.”

Akhirnya Arasya telah sampai di Mansion Narendra bersama mobil milik Reyhan. Jalanan memang lengang malam ini, namun ia tak berani menaikan kecepatan kendaraan tersebut. Sepertinya kesehatan matanya makin memburuk. Ia sadar akan hal itu disaat ia ingin membaca surat kontrak café tadi. Tulisan di kertas itu terlihat samar, namun ia masih bisa sedikit membacanya.

Dia kemudian mulai berjalan meninggalkan garase untuk pergi menuju kamarnya. Untung saja hari ini pekerjaan rumah yang diberikan oleh Pak Guntur-guru matematikanya telah selesai ia buat di rumah Reyhan. Jadi ia bisa beristirahat dengan lebih cepat dari biasanya. Itupun ia lakukan karena Mama Reyhan yang memaksanya.

Ia kini telah sampai di depan pintu utama Mansion. Sejenak ia menyentuh pintu tersebut dan seperti yang ia duga. Pintu dari tempat megah ini tak terkunci seperti biasa. Arasya tau ini perbuatan siapa. Ia tau dari para ART Mansion tersebut, kalau pamannya memberi perintah agar pintu tidak ditutup sebelum dirinya pulang.

Mungkin orang lain akan tersanjung jika diperlakukan seperti itu, namun Arasya tidak. Menurutnya ia tak pantas mendapatkan perlakuan seperti itu, bahkan menyebut orang tersebut sebagai Paman pun ia tak pantas. Arasya bukanlah keponakan yang bisa dibanggakan. Ia juga bukan siapa-siapa dan hanya orang asing di tempat megah ini.

Arasya dengan ragu membuka pintu itu dan benar saja. Apa yang dia takutkan terjadi. Orang paling berkuasa di tempat ini telah menunggunya di sebuah sofa. Orang itu kini melihat kearahnya, namun Arasya tak terlalu memerdulikan itu. Ia mencoba untuk tidak memperdulikannya, dan terus berjalan.

“Jam berapa ini?”

Apa peduli mu.

Arasya terus melangkahkan kakinya tanpa memperdulikan pertanyaan itu. Pertanyaan yang akan berujung pada hal yang ia tak inginkan. Sebuah ceramah. Ceramah dari orang yang selalu meremehkannya.

“Arasya Arbani! Ku peringatkan kau untuk diam di tempat!”

Arasya menghentikan langkahnya. Walau ia tak suka, dia tetap mengikuti perintah tersebut. Perintah dari orang paling penting di Mansion ini, sekaligus orang yang mau tak mau harus tetap ia sebut sebagai Kakeknya, Tuan Narendra.

“Darimana kau belajar sikap kurang ajar itu hah?!” tanya Narendra ketika telah sampai di dekat cucu semata wayangnya itu.

Darimu!

“LIHAT AKU KETIKA BICARA!”

Arasya sedikit tersentak karena teriakan tersebut. Ia kemudian membalikan badannya. Dari sudut pandangnya saat ini, nampak jelas kalau tuan Narendra benar-benar marah padanya. Matanya begitu tajam dan terus melihat kearahnya.

“Kenapa baru pulang? Kau habis dari mana?”

“Wah, wah, wah,” sahut Arasya sambil menepuk tangannya. Dia tersenyum remeh. “Saya rasa apapun alasan yang saya berikan, anda pasti tidak akan mempercayainya.”

Memang apa pun alasan yang Arasya utarakan, pada akhirnya yang ia dapat hanya hinaan atau tamparan. Pukulan pun ia pernah dapatkan dari Tuan Narendra dan hal ini terjadi berulang kali.

“Arasya, jawab pertanyaan Kakek!” sentak Narendra.

“Dari sekolah bikin tugas video.” Singkat. Arasya memang berbohong, namun walau ia jujur, Tuan Narnendra pasti tidak mempercayainya ia yakin itu.

“Apa kau ingin jadi berandalan hah!?” tanya Narendra dengan nada mengintimidasi. “Kalau tau hari sudah sore, pulang! Bukannya tinggal. Gunakan otakmu untuk berpikir!”

“Sebentar, anda meminta saya menggunakan otak saya?” Arasya tertawa remeh. “Saya rasa, tuan yang harus menggunakan otak tuan untuk belajar mempercayai orang lain!”

Plakk

“DASAR ANAK TIDAK BERGUNA!”

Tamparan keras itu telah mendarat tepat di pipi kanan Arasya hingga membuatnya tersungkur ke lantai. Arasya mengusap pipinya kasar, kemudian mencoba untuk berdiri kembali. Ibarat gelas, Narendra adalah gelas yang isinya telah tumpah. Lelaki tua itu benar-benar telah hilang kesabarannya.

“Cucu durhaka! Benar benar tak tau diuntung!” sentaknya lagi melepaskan amarahnya. “Kau dan Ibumu sama saja. Hanya bisa membuat saya malu! Kalian berdua sama-sama tidak berguna!”

“Anda pikir saya rela menjadi cucu anda hah? Jika bisa memilih, lebih baik saya jadi anak gelandangan daripada menjadi cucu anda!”

“KURANG AJAR!”

Narendra menampar Arasya lagi di tempat yang sama membuat anak muda itu jatuh lagi. Mata Narendra memamanas, nafasnya memburu. Dia menarik leher kemeja cucu tunggalnya. Bogem menatah pun ia luncurkan ke rahang kanan cucunya.

“Semenjak aku tidak memperhatikan mu, kau berubah menjadi begajulan!” marahnya sambil terus memukul Arasya. “Akan ku buat kau menyesali sikap tidak sopan mu itu!”

“ASTAGA, PAPA!”

Orang itu segera berlari untuk memisahkan mereka berdua. Ia benar-benar terkejut, melihat apa yang terjadi di depan matanya. Baru saja ia pulang dari kantor, itupun karena ada yang harus ia urus. Sekarang ia telah sampai di Mansion, ia malah harus melihat sang ayah menghajar keponakannya.

“Pa, berhenti Pa.” katanya sambil menahan tubuh Narendra dan menariknya menjauh dari Arasya.

Lihat selengkapnya