Our Summer

Erlang Kesuma
Chapter #6

Kacamata penutup

“Terkadang manusia itu berbohong bukan karena mereka ingin, melainkan karena mereka takut untuk menyakati insan lain dengan kejujuran mereka.”

“Berasa jadi buronan BP gue,” gumam Arasya.

Lelaki itu baru saja keluar dari dalam ruang BP. Ia datang kesana bukan untuk menyelesaikan masalah terkait kenakalan. Arasya hanya mengambil senar gitar yang dibeli untuk eksul music disana. Senar itu bisa disana karena Pak Joko yang membelikannya atau lengkapnya, beliau di titipkan untuk membeli benda kecil itu. Arasya memang cukup lama disana, karena langsung menyetem gitar milik ekskul musik sambil sedikit berbincang dengan Pak Joko.

“Tapi pisang goreng tadi lumayan sih,” gumamnya lagi sambil sedikit tertawa.

Ia berjalan menyusuri koridor dengan menggendong gitar itu di punggungnya. Ada beberapa orang-orang yang menyapanya. Senyum Arasya pun mengembang. Bukan karena di sapa, melainkan karena ada seorang gadis berambut hitam di ikat dua sedang berjalan didepannya sambil memapah tumpukan kanvas dengan tangannya. Arasya mempercepat langkahnya, agar sama dengan gadis itu.

“Jangan gengsi, kalau susah bilang! Sia-sia dong punya calon pacar.”

“Gue bukan calon pacar lo!” ketus Jingga tanpa menoleh ke Arasya.

Arasya sedikit terkekeh. “Utu, utu, utu, berat ya? Sini aku bawa setengah,” katanya pada gadis itu.

Tanpa menunggu persetujuan Jingga. Arasya langsung mengambil setengah, bahkan lebih tumpukan kanvas itu. Yang tersisa di tangan Jingga hanya bayangannya saja. Gadis itu melihat kearah Arasya, yang dibalas senyuman oleh cowok itu.

Ini bukan setengah namanya.

Setelah cukup lama berjalan dengan suasana hening dan canggung. Terutama karena banyak anak-anak lain yang melihat mereka jalan bersama. Akhirnya, Jingga membuka suaranya.

“Ngapain pakai kacamata?”

Mata Arasya mengrejap beberapa kali, karena tak percaya. Jingga memperhatikan dirinya? Sungguh, untuk pertama kalinya ia bersyukur karena sakitnya membawa keuntungan. Apa ia harus sakit terus agar Jingga mau perhatian padanya?

“Gaya baru, ganteng kan?”

Arasya mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Ia memang senang jika Jingga memperhatikannya. Namun Arasya juga tak ingin jika gadis itu tau kalau matanya bermasalah. Arasya tak ingin gadis itu merasa iba akan kondisinya.

“Gue gak suka cowok pembohong. Apalagi kebohongannya nampak jelas.”

“Kacamata minus, gak bisa dipakai buat gaya. Singkatnya mata lo bermasalah.”

“Makanya jangan terlalu sering main hp, atau baca buku di ruang yang kurang cahaya.”

Arasya dibuat terkejut lagi. Entah mengapa Jingga berbeda hari ini. Jingga tidak sakit bukan? Karena ini merupakan sebuah obrolan yang begitu normal. Bahkan sangat Arasya harapkan, selalu. Bukan seperti yang biasa terjadi diantara mereka berdua. Obrolan yang lebih bisa dibilang sebagai adu mulut.

“Aduh, perhatian banget sih ayangnya aku. Jadi pengen tium deh,” kata Arasya sambil menaik turunkan alisnya.

Jingga langsung mengepalkan tangan kanannya. “Mau gue tampol lo?!” ancam gadis itu sambil menunjukan kepalan tangan tadi.

Arasya tertawa dibuatnya. Mengerjai Jingga memang membuat candu. Terutama ekspresi wajahnya itu. Saat marah, matanya mendelik dan pipinya sedikit mengembung. Aduh lucunya. Ingin sekali rasanya Arasya mencubit pipi yang mengemaskan itu sekarang.

“Berjanda sayang.”

“Gak usah panggil gue sayang! Gue bukan pacar lo, dan satu lagi. Mending lo kejar cewek yang suka ama lo!”

Dahi Arasya mengrenyit. Perasaan dia tidak ada dekat dengan gadis lain belakangan waktu ini. Jangankan mendekati dua gadis, mendekati satu gadis seperti Jingga saja Arasya harus berusaha setengah mati.

“Cewek mana?”

“Si Melody, Dia gak lo anggep?”

Arasya tersenyum penuh arti. Dia menyiku lengan gadis itu pelan. “Cemburu ya, karena dia nemenin aku kemarin?” tanya Arasya sambil menaik turunkan alisnya.

“Cemburu? Sama lo?” Jingga mengusap kedua lengannya. “Amit-amit.”

“Tenang, kamu gak perlu cemburu.” Arasya benar benar sangat pede, ia masih kukuh dengan tebakannya. “Kemarin itu emang Melody ada disana, dia cuman bantuin aku make up. Gak lebih kok.”

Jingga menutup hidungnnya sambil mengipasi udara didepannya. “Mulut lo kayak Reyhan, sama sama bau!” katanya karena ia masih tidak percaya dengan apa yang dibilang oleh lelaki ini.

“Serius, gak bohong.”

“Bohong!”

“Nggak!”

“Bohong!”

“Nggak!”

Lihat selengkapnya