“Manusia hanya bisa menerka karena mereka terlalu takut untuk memastikan.”
“Gue mau makan, tapi selain bubur,”
Arman telah lelah membujuk Arasya. Ia malas berdebat dengan bocah ini. Arman masih tidak habis pikir, gak masalah cinta, gak masalah bubur. Ini bocah kekeh banget dah. Doni mengusap pelan punggung Arman. Ia tau kalau Arman hampir kehilangan kesabarannya.
Arman mengehembuskan nafasnya panjang. “Jadi calon pacarnya nona Jingga Anastasya, semisal lo gak makan bubur. Emangnya lo mau makan apa coba?” tanyanya mencoba sabar pada Arasya.
Arasya mengetuk pipinya menggunakan telunjuk. Nampaknya ia sedang berpikir. Lalu ia menjentikan jarinya.
“Gue udah tau, gue pengen nasi padang.”
“ANJING!”
Arman berteriak keras sambil berdiri. Dengan segera Arasya menarik selimutnya dan menutupi wajahnya.
“Lo sakit, ngelunjak lo bangsat! Gak ada orang sakit makan nasi pandang taik!” emosinya pada Arasya.
Doni segera memegangi pundak Arman. Ia tak ingin Arman memukul Arasya. “Sabar Man, dia lagi sakit.”
Arasya mencoba menahan tawanya dari balik selimut. Ia memang senang mengerjai Arman. Gampang emosian sih. Ia kemudian berpura-pura ketakutan.
“J-jangan t-teriak teriak dong,” cicitnya.
“Keluar lo dari situ!” Arman kemudian memaksa menarik selimut Arasya. Namun Arasya melawan, namun ia merasa sedikit kesulitan. Menahan tawa dan menahan selimut di waktu yang bersamaan itu sulit juga ya.
“Jangan tarik-tarik, entar selimut lo robek,” Doni mengingatkan cowok itu sambil mencoba melepasan pegangan Arman dari selimut yang membalut Arasya.
“Ini anak ngelunjak lo tau! Bisa bisanya dia pengen makan nasi padang padahal pasien rumah sakit makannya itu bubur!”
“Permisi.”
Ucapan itu membuat aksi tarik menarik tersebut berhenti. Arman kemudian melepas pengannya pada selimut yang dipakai Arasya. Ia mencoba melupakan amarahnya sejenak. Jaga image depan cewek itu no. 1 bro, itulah pikirnya. Karena orang yang Arman tunggu telah datang. Arasya yang penasaran kemudian mengeluarkan kepalanya, untuk melihat.
Lita?
“Hai Arasya,” Lita melambaikan tangannya pada Arasya yang hanya dibalas senyum oleh cowok itu.
Ngapain Lita disini? batin Arasya merasa heran dan rasa herannya makin bertambah karena Reyhan datang bersama gadis itu.
Lita kemudian ikut duduk bersama mereka semua di dekat kasur yang digunakan Arasya. Kasur Arman memang di taruh begitu saja diatas lantai dengan alas sebuah karpet berwarna hijau gelap. Lita kemudian mengambil sesuatu dari kantung plastik putih yang ia bawa.
“Bubur ayam spesial buat lo,” kata gadis itu.
Reyhan kemudian menggeleng. “Gak usah cemburut kayak gitu,” Reyhan tidak suka dengan ekspresi penolakan Arasya. Dapat Reyhan lihat dengan jelas sekarang, kalau di jidat sahabatnya itu tertulis Menolak makan bubur, biarpun itu bubur ayam. Walau begitu Reyhan tidaklah menyerah untuk membujuknya.
“Lo dengar kan tadi, yang dibawa Lita itu bubur ayam spesial.”
Spesial? Apanya yang spesial? itulah yang dipikirkan Arasya. Terutama karena ekspresi teman-temannya, ketika kata spesial itu diucapkan. Mereka semua tersenyum kepadanya. Padahal dari yang ia lihat bungkusnya sama saj seperti bungkus bubur ayam pada umumnya.
“Gak ada spesialnya,” Arasya memalingkan wajahnya sambil mengerucutkan bibirnya.
Ternyata bener kata Reyhan, dia kayaknya gak suka bubur, batin Lita sambil tersenyum. “Ini spesial karena dari orang spesial.”