“Sya, besok kamu nggak Mama uang jajan dulu ya.” Ucap Mama yang nyamperin gue belajar di kamar.
“Loh, kenapa Ma? Kan besok udah beda bulan.” Jawab gue.
“Udah nggak usah banyak tanya, uangnya mau Mama pake dulu. Besok kamu bawa bekal aja. SPP kamu nanti Mama mintain ke Papa. Mama mau pergi dulu.”
“Mama mau ke mana?”
“Bukan urusan kamu ya! Udah dibilangin jangan banyak tanya juga. Belajar yang rajin, biar pinter biar jadi orang kaya. Biar bisa bahagiain Mama gitu kek. Jangan Cuma nyusahin terus!”
“Hati-hati Ma.”
“Nanti kamu bilang aja sama Papa kamu kalau Mama pergi ke rumah eyang ya.”
“Iya.”
Begitu juga hari-hari sebelumnya. Gue sering dibentak-bentak. Dimarah-marahin. Padahal Cuma karena hal yang sepele. Untung aja gue punya hati baja. Apa-apa nggak gue masukin ke hati. Jadi, sampai detik ini gue masih baik-baik aja sama keadaan keluarga gue.
Mungkin kalian bakalan menyangka bahwa punya Mama muda dan Papa muda itu menyenangkan kayak di sosmed. Tapi realitanya enggak juga. Gue lebih sering tertekan karena orang tua gue masih terlalu muda. Gue ngerasa kalau mereka belum siap dengan semua ini. Akhirnya, gue Cuma jadi penyelamat dan penghubung mereka. Setiap kali Mama pergi, gue selalu disuruh bilang ke Papa kalau Mama pergi ke rumah eyang. Padahal gue nggak tahu Mama pergi ke mana. Begitu juga dengan Papa. setiap kali dia mau pergi, gue selalu disuruh bilang sama Mama kalau Papa mau main game sama teman-temannya. Padahal gue juga nggak tahu, hal itu benar apa tidak.
Gue udah terbiasa sendiri dan mandiri sejak kecil. Gue juga udah terbiasa diajarin bohong sejak dini. Tapi, gue nggak akan meniru mereka.
***
“Sya, rahasianya punya kulit putih tuh gimana sih?” tanya Riska, teman sekelas gue yang terobsesi banget punya kulit putih.
“Gue nggak tahu sih.”
“Ih, elo pelit banget deh. Kulit lo tuh mulus putih kayak gini lo bilang nggak tahu. Jangan pelit-pelit dong jadi orang, bagi tips. Lo perawatan di mana?”
“Ya gue nggak tahu, gue nggak pernah perawatan.”
“Bohong lu. Ngaku aja deh bentukan kayak lo gini pasti sering ke salon.” Sahut Andini.
“Yaudah kalau nggak percaya. Gue putih dari lahir. Keturunan nyokap gue. Boro-boro gue mau perawatan. Mau makan aja susah.”
“Bohong lu.” Jawab Riska yang masih nggak percaya.
“Ya udah terserah elo deh.”
“Dasar pelit.”
“Bodoamat.”