PROLOG
Aku langsung memilih untuk duduk di bangku paling belakang. Menghindari riuhnya kelas karena dosen yang tak kunjung datang. Satu-satunya hal yang bisa aku lakukan menyumbat telinga dengan earphone dan menyetel musik kesukaanku. Lalu satu lagi buku kumpulan puisi milik Sapardi siap untuk kusantap. Setiap hari keduanya – earphone dan buku, adalah amunisi lengkap untuk menghindar dari seluruh bentuk aksi sosial dengan seantero kelas.
Tak lama, seseorang melempar tasnya sembarangan ke bangku di sebelah kananku. Ia duduk tapi langsung menenggelamkan wajahnya dengan tangan yang ia lipat di atas meja. Itu Gilang, cowok jenius tapi kerjaannya di kelas adalah duduk paling belakang dan tidur. Padahal kalau dipikir-pikir dia cowok yang beruntung sekali, karena pintar dan merupakan anggota tim futsal himpunan. Selain itu ia juga jago main musik khususnya gitar. Rasanya hidupnya tidak ada lagi yang kurang.
Aku kembali menarik perhatianku ke dalam kata-kata puisi Sapardi. Lagi-lagi terganggu oleh sapaan cewek berkuncir kuda paling aktif di kelas. Diva Namanya, cewek yang seakan tidak pernah malu untuk menyapa seluruh temannya di kelas. “Ziziii! Gue duduk sebelah lo ya!” tanpa basa-basi ia sudah menempati bangku di sebelah kiriku. Belum lama ia duduk, “Lang! tidur mulu lo!” ujar Diva kepada Gilang yang akhirnya hanya dibalas dengan dehaman.
Maka kini, aku yang duduk di tengah harus berusaha lebih keras untuk pura-pura tidak peduli.