Bagi sebagian besar teman-temanku, hari ini akan jadi hari dengan semangat yang masih full charge. Bagaimana tidak? Setelah tiga bulan lamanya berlibur, akhirnya semester tiga dimulai juga. Belajar di jurusan memang akan menjadi pengalaman yang akan mendebarkan. Tapi bagiku? Semuanya sama saja. Bahkan kalau boleh aku ingin kembali saja ke masa sebelum masuk jurusan. Masa-masa belajar di fakultas yang manusianya ada hampir lima ratus orang. Di fakultas aku bisa dengan nyaman tidak terlihat, sedangkan di jurusan? Aku harus berhimpun, sekelas dengan orang yang itu-itu saja, dan lebih parahnya akan aku jalani selama tiga tahun ke depan.
Meskipun orientasi jurusan sudah berlangsung seminggu lalu, aku masih merasa canggung dengan kondisi di jurusan. Orang pertama yang mengajakku berkenalan hanyalah cewek bernama Diva. Sejak awal memang dia yang sangat terlihat aktif di angkatan jadi tidak heran mudah sekali baginya untuk akrab dengan siapa saja. Jujur kadang aku iri, karena aku selalu merasa canggung untuk berhubungan dengan orang-orang yang kurang akrab denganku.
Pagi ini, kelas pertamaku terletak di lantai tiga. Masih pukul 6.20 pagi sekarang, terang saja kampus masih sangat sepi. Meski kuliah masih dimulai pukul 7 pagi, aku selalu berusaha datang sepagi mungkin untuk menghindar dari segala sapaan orang di jalan. Dan yang pasti aku harus duluan mengambil tempat duduk favoritku, yaitu bangku di belakang kelas. Jangan heran, karena di kampusku memang sangat jarang menempati bangku baris pertama, kebanyakan akan duduk di tengah dan di belakang. Aku tidak mau kehabisan bangku.
Meskipun datang sepagi ini, ternyata ada yang sudah datang mendahuluiku. Dia Gilang, cowok yang sedang menelungkupkan kepalanya di lipatan tangannya. Aku mendesah pelan karena ternyata dia menempati tempat duduk favoritku. Akhirnya aku duduk di bangku yang berjarak dua bangku darinya. Gilang tidak sadar akan kehadiranku sepertinya, terlihat tubuhnya yang tidak berkutik dari posisinya, posisi tidur.
Aku mengeluarkan buku puisiku, mulai untuk menyelesaikan puisi yang sebelumnya belum terselesaikan. Puisi yang sedang aku persiapkan untuk dikirim ke salah satu koran terkemuka di Kota Bandung ini. Sejak semester dua lalu aku memang sudah rajin mengirim puisi-puisi buatanku. Ya mungkin tiga sampai empat kali termuat. Pertama kali dimuat langsung aku gunting bagian koran yang memuat puisiku dan aku tempel di dinding dekat meja belajarku. Memang sesenang itu, sayangnya aku tidak tahu harus membagi kesenangan itu, kebahagiaan itu dengan siapa.
Perlahan bangku belakang sudah mulai penuh. Seisi kelas pun sudah berisik. Aku tutup saja buku puisiku dan kumasukkan kembali ke dalam tas.