Aku benci waktu istirahat yang hanya sedikit sehingga mengharuskanku makan di kampus. Tidak nyaman rasanya makan sendiri di seluruh keributan kampus, tapi mau bagaimana lagi. Meja yang kutempati harusnya bisa diisi hingga enam orang, tapi apa boleh buat. Tidak ada teman yang akan menghampiriku.
“Zi kosong kan? Kita join ya!” Itu teman jurusanku. Aira namanya, bersama dengan ketiga temannya akhirnya duduk tanpa aku jawab kalimat persetujuan. Lagi-lagi tiga lawan satu bisa apa?
Walaupun ada Aira dan teman-temannya, tetap saja, aku diam tak tahu harus memulai bahasan apa. Tak berani juga aku menyela candaan keempat orang ini. Aira, Jani, Thalia, dan Alena memang sudah tampak dekat sejak orientasi jurusan. Apalagi lingkar pertemanan mereka yang cukup besar di angkatan. Ya, tidak hanya empat orang cewek ini, masih ada tiga cewek lainnya dan lima cowok. Kalau mereka sudah bersama, aku yakin dunia ya memang sudah milik mereka.
Aku berusaha mempercepat makanku agar bisa segera pindah dari kecanggunganku sendiri, tapi lagi-lagi muncul satu orang ini dan duduk langsung di sampingku. “Hai! Pada makan apanih?” itu Diva seperti biasa. Dengan segala kehebohannya yang ia bawa dan memaksaku ikut dalam pembicaraan.
“Makan kayak biasa aja Div.” Jawab Jani santai.
“Ehiya Len, gue kemaren lihat lu jalan, sama cowok lagi. Pacar ya?” Wajah Alena langsung merah karena godaan Diva itu.
“Apaan sih Div temen doang itumah. Gue masih single tau.”
Kali ini Thalia juga ikut bicara, “Jomblo tapi sekalinya jalan berdua sama cowok haha.” Kalimat yang dilontarkan Thalia diakhiri dengan gelak tawa seluruh manusia yang berada di meja itu. Kecuali aku. Yang hanya tersenyum kecil tanpa mengeluarkan suara apa-apa.
Terkadang aku kesal dengan diriku sendiri yang entah kenapa secanggung ini. Padahal tinggal melontarkan lelucon receh yang pasti akan membuat mereka tertawa. Namun mengapa selalu ada yang tertahan dan pada akhirnya gagal untuk diucapkan.
Aku bukan Diva, yang bisa dengan mudah akrab dan asyik di lingkar pertemanan manapun. Aku iri dengannya yang selalu punya bahan pembicaraan meskipun hanya sekadar candaan receh mahasiswa. Aku iri dengannya yang selalu mudah mengekspresikan segala bentuk perasaannya kepada orang lain.
Waktu sudah menunjukkan pukul 12.55, padahal pukul 13.00 harusnya kami sudah masuk kelas kembali. Tapi orang-orang ini masih asyik bercanda ria seakan-akan waktu yang tersedia masih lama. “Eh ke kelas yuk udah jam segini.” Akhirnya, akhirnya ada juga kalimat yang aku ucapkan meskipun hanya suatu ajakan ke kelas.
“Iya lima menit lagi udah masuk nih. Yuklah!” Diva memelopori untuk berdiri beranjak dari kursi dan membereskan HP dan dompetnya. Yang lainnya juga termasuk aku. Kami pun berjalan bersama menuju kelas yang ada di gedung jurusan kami, jurusan teknik kimia.