Pintu terbuka kasar, derap langkah terburu diiringi embusan napas berat menarik atensi gadis berambut sebahu yang asyik memandangi suasana pagi dari balik jendela. Saat berbalik untuk melihat siapa gerangan, tatapan matanya kosong, wajah pucat pasi yang sudah lama tidak tersentuh make up serta kulit bibir retak mengelupas, menandakan bahwa dia hanya menunggu jadwal kematiannya saja. Dengan kondisi seperti itu, apakah Haru masih tega untuk mencercanya lagi? Memadamkan setitik cahaya untuk melarangnya hidup seperti orang normal kebanyakan?
Haru membalik paksa kursi roda Shima, berjongkok di depannya sambil mencengkram kuat bahu yang lebih muda. Sakit, tapi Shima tidak mau berteriak. Raut datar ditampilkan selagi kedua mata tajam itu menghunusnya.
“Siapa yang nyuruh loe kembali sekolah, hah?” Tidak ada. Alih alih menunggu mati, Shima harap, sekali dalam seumur hidupnya setelah kejadian itu dia bisa hidup normal dan bahagia.
“Jawab gua, sial!” Haru membentak, setetes air mata terjatuh dari sudut mata tajam itu.
Bagaimana cara mendeskripsikan perasaan laki laki itu, ya? Dulu sekali, mereka adalah partner dalam segala hal, sangat dekat dan Shima selalu melibatkan sosok itu dalam aspek hidupnya. Merangkap sebagai wali saat kedua orangtuanya sibuk bekerja. Haru menangis, entah karena sedih atau marah yang selama ini menggerogoti hatinya. Mungkin Shima sudah ia anggap sebagai anak gadisnya yang harus dijaga, namun hasilnya nihil.
Tergesa dan tangannya bergetar, Haru mengeluarkan ponsel, mendial nomor seseorang yang setelah itu Shima tahu kalau kakaknya sedang bersikeras menghancurkan harapannya lagi, untuk kesekian kali. Tidak pernah terpikir kalau kembali sekolah adalah hal terburuk, ini hidupnya, ada hak asasi manusia poin individu yang harus diperjuangkan.
Apapun yang terjadi, Shima akan menanggung semua resiko. Entah itu cibiran masyarakat, pandangan aneh teman sekolah, setidaknya sampai titik sekarang, Shima sudah berjuang. Tangannya terulur lemah, merebut ponsel yang bertengger di telinga si sulung. Shima mematikan sambungan lalu menunduk saat kedua matanya terasa panas. “Nggak usah repot, aku akan tetep di rumah,” ucap Shima menahan gemuruh sesak di dadanya.
Kalau sudah seperti ini … siapa yang keterlaluan? Haru menyeka sisa air matanya, lebih merundukan kepala ingin melihat wajah pasi itu. Ya, ini sangat keterlaluan, rasanya Haru sudah menjadi iblis yang mementingkan citra keluarga tanpa memikirkan ada hati yang terluka.
“Pergi! Aku mau sendiri, Kak.” Tatapan itu memang kosong, tapi setelah Haru mematahkan semua harapnya, dia bisa melihat jelas kilat frustrasi dan putus asa yang kian memancar setiap detiknya.
Mati rasa, sekedar menyampaikan sepatah kata saja Lidahnya kelu, Haru tidak bisa menggapai saat Shima perlahan bangkit dari kursi roda menuju meja belajar yang sudah tersedia banyak perlengkapan sekolah. Jahat sekali, adiknya itu bahkan sangat antusias menyambut hari esok.
Jadi sebenarnya siapa yang memprovokasi Shima untuk kembali mengecep kehidupan normal? Tidak tahukah dia sejengkal saja keluar batas, pandangan orang orang akan kembali menyorot?
“Meski aku percaya Kak Ameera akan bantu aku untuk kembali keluar dari zona mengerikan ini, seharusnya juga aku bisa mengesampingkan ego. Bener ‘kan Kak?” Setumpuk buku paket, satu set seragam sekolah juga pretelan lainnya ia masukan ke dalam kardus besar. Menumpuknya asal kemudian membawanya pada Haru.
“Andaikan semua orang itu kayak Ka Ameera yang ngertiin kondisi aku dan ngedukung sepenuhnya keinginanku, pasti kedepannya akan baik baik aja.” Ucapannya terjeda oleh kekehan sumbang, “padahal aku nggak gila, kenapa kalian ngurung aku? Aku juga korban pemerkosaan, kenapa kalian mengasingkan aku?”