OUTLINE

Alviona Himayatunisa
Chapter #2

Post Traumatic Stress Disorder

 “Apa yang kamu rasakan sekarang?” Lingkup kebebasan Shima hanya sekitar taman belakang rumah supaya jauh dari jangkauan masyarakat. Taman itu ditumbuhi beragam bunga yang ditanam khusus untuk mengurangi beban pikiran Shima, pada dasarnya gadis itu memang menyukai semua jenis bunga. Saat stress melanda, satu satunya tempat pelampiasanya adalah taman. Memangnya harus ke mana lagi?

Di depannya, perempuan dewasa berjas putih yang beberapa bulan lagi akan menjadi kakak ipar, tersenyum lembut sembari menggenggam erat kedua tangannya, sedikit memberi remasan supaya Shima percaya kalau hidup tidak hanya memiliki satu warna.

Saat kesedihan menyapa, Tuhan tidak akan lupa memberikan kebahagian, meski itu membutuhkan waktu yang cukup panjang.

“Takut, udah dua tahun, tapi aku masih takut menghadapi dunia luar. Aku memang pernah berjanji akan menjadi kuat dan mengabaikan cibiran semua orang, tidak semudah itu. Ini masih sangat sulit.” Napasnya tersengal, kedua telapak tangannya berkeringat yang bisa langsung dirasakan oleh dokter Ameera. Remaja yang menyandang kliennya ini kembali cemas setelah beberapa bulan lalu Shima berhasil mengontrol emosi. Meski belum sepenuhnya.

“Lalu?”

“Dosa apa yang sudah aku lakukan, Kak? Kenapa orang orang di luar sana menjadikanku sampel keburukan untuk tidak ditiru oleh anak anak mereka? Memangnya aku kenapa?” Benar, kenapa Shima harus diperlakukan tidak adil? Dokter Ameera terhenyak saat gadis itu mendongak dan menunjukan sisi paling rapuh darinya yang jarang terlihat.

“Kamu ingin Kakak melakukan sesuatu?” tanya dokter Ameera sedikit gentar melihat keadaan Shima. Tidak, menjadi psikolog, seharusnya dia bisa mengontrol emosi dan tidak terlalu menonjolkan empati. Di sini, ia yang harus menyembuhkan, bukan malah terbawa arus.

Shima menggeleng lemah, lalu berkata,”Tolong dengerin aku aja Kak. Saat orang lain bahkan temenku sendiri tidak mau melihat lebih dalam lagi apa yang sudah aku alami, di sana aku tenang, karena sekiranya keluarga masih akan tetap mendukung dan menjadi support system terbaik. Mereka sibuk, aku juga nggak memungkiri kalau Papah Mamah sangat memerhatikan keadaanku. Haru ….” Shima kembali mendongakan kepala, mempertemukan netra keduanya seraya tersenyum miris, “kecewa banget sama aku ‘kan? Sebelum kejadian ini menimpa, Kak Haru adalah orang yang paling tahu siapa aku, paling mengerti daripada Papah Mamah sendiri.”

“Satu satunya orang yang tersakiti saat kita mengecewakannya adalah dia yang berusaha keras menjadi tameng sekaligus berkorban lebih banyak dari orang orang di sekitarnya. Haru memang kecewa, tapi dia salah. Letak kesalahannya hanya pada dia tidak mau mengakui kalau sebenarnya kamu juga rapuh.” Keduanya memandang langit biru dihiasi oleh awan yang tampak berterbangan.

“Dulu saat banyaknya perhatian tercurah, aku risih, marah dan nyuruh mereka untuk nggak ikut campur, sekarang aku tahu gimana rasanya diabaikan.” Shima menyunggingkan senyum miris. Mengingat kenangan masa lalunya bersama Haru yang begitu over protective jika menyangkut hidupnya.

“Coba kasih tahu Kakak, hal apa yang ingin kamu lakukan setelah menjalani perawatan panjang ini?” Setelah kemarin dia mendapati Shima collapse karena tekanan yang Haru berikan, Ameera berjanji akan membuat adik iparnya ini kembali sembuh dan menjalani kehidupan remaja pada umumnya.

“Aku ingin sekolah, masuk perguruan tinggi, sukses, punya banyak teman dan … pacaran mungkin? Tapi sayangnya hanya khayalan.” Impian seperti itu sangat sederhana, masuk sekolah, lulus lalu bekerja keras pasti akan membuat siapa saja sukses di kemudian hari. Untuk Shima mungkin sulit.

“Kamu percaya kalau Kakak bisa mewujudkan itu semua?” Shima tertawa renyah, wajah dokter Ameera lucu sekali. Ada raut cemas sekaligus gamang saat menyakinkan hal tadi. Melihat raut bingung dari dokter pribadinya ini, Shima menggeleng antusias masih dengan tawa mengiri.

“Nggak percaya, aku nggak percaya omongan Kakak lagi. Kemarin aja, kita gagal.”

Lihat selengkapnya