Outsider

Susanti
Chapter #2

Bagian 2 - Poem

Kenyataan hidupku yang rumit tidak berakhir pada diriku saja. Namun juga merembet pada putriku. Jujur saja, aku tidak ingin membuat hidupnya ikut rumit seperti milikku. Hanya saja, tanpa kehadiran Tom sebagai ayahnya pasti begitu membebaninya. Terlebih, aku merahasiakan sosok Tom dari Gloria rapat-rapat.

Bukan hanya aku saja yang menginginkannya. Keluargaku, Ayah lebih tepatnya. Beliau menampar wajahku dengan sangat keras tanpa ragu.

“Kau sudah gila? Bagaimana mungkin kau memberitahu Gloria bahwa June bukan ayahnya?”

“Itulah kenyataannya, Ayah. Aku tidak akan membohongiku putriku lagi. Sudah cukup tujuh tahun ini kita membohonginya.“

“Jangan biarkan Gloria menemuinya. Pindahlah dari kota ini. Aku tidak ingin cucuku bertemu maling yang mencuri karya putriku.”

Setelahnya, Ayah melarang seluruh anggota keluargaku untuk menunjukkan siapa Tom pada Gloria. Dia bahkan meminta para pekerja di rumah untuk menghilangkan semua jejak Tom yang tersimpan di kamarku.

Kali ini, bertahun-tahun setelahnya, alih-alih pulang ke rumah setelah terapi bulananku, aku memilih untuk membelokkan mobilku. Menyusuri jalan tol menuju Kota Willow. Tempat keluargaku tinggal.

Naluriku mengatakan jika Gloria berada di rumah ayahku. Hanya butuh sekitar tiga puluh menit dengan kereta cepat untuk menuju ke Kota Willow. Gadisku terbiasa mengunjungi ayahku sendirian dengan kereta cepat di akhir minggu keempat setiap bulannya.

Kenyataan bahwa minggu ini baru memasuki hari ketiga di awal bulan membuat jantungku berdesir. Tanganku bahkan terus berkeringat. Aku menurunkan kecepatan mobilku hingga batas minimum saat menyadarinya.

Bukan aku meragukan naluriku. Aku mencemaskan Gloria yang mungkin ditolak kehadirannya oleh ayahku. Dia tidak pernah mengunjunginya di luar waktu yang telah kami sepakati sebelumnya.

Butuh lebih dari dua jam untukku hingga berhasil menginjakkan kaki di rumah Ayah. Kembali ke rumah ini selalu membuat jantungku berdegup tak beraturan. Perasaan tidak nyaman selalu menyelimutiku. Meskipun aku telah tinggal hampir 28 tahun bersama Ayah.

“Ayah! Aku datang.”

Suaraku terdengar meninggi begitu membuka pintu depan. Noah, seorang kepala pelayan sekaligus sekretaris pribadi Ayah menghampiriku. Langkahnya tergopoh saat meraih tasku. Wajahnya tampak pucat saat menyapaku.

“Oh, selamat datang, Nona Winter. Seharusnya kau memberitahuku jika akan datang. Bahkan Nona Kecil juga telah di sini sebelum Anda. Urgh ... kami belum menyiapkan apapun.”

Meskipun suaranya menggerutu, Noah meraih tas tangan yang menggantung di lenganku. Tangan kirinya yang bebas bergegas membantu melepas coat berwarna pastel dari tubuhku.

“Tidak usah melakukan apapun, Noah. Di mana putriku?”

“Astaga … pasti melelahkan menyetir sendiri di cuaca sedingin ini. Nona Kecil di ruang tengah bersama Tuan Tony.”

“Hum … thanks,”

“Nona Winter, umm … kalian akan menginap, bukan?”

“Entahlah.”

“Saya akan merapikan kamar Anda.”

“Kau pasti sudah merapikan kamarku sebelumnya. Lakukan hal lain saja. Tidak usah membebanimu lagi, Noah.”

Meskipun mulutku masih berucap, langkahku bergegas menuju ruang tengah. Meninggalkan Noah yang tampak bergegas melangkah ke lantai atas.

Jantungku berhenti berdesir mendapati putriku, Gloria, berada di ruang tengah. Mulutnya tampak sibuk mengunyah apel yang dia gigit dari tangan kanannya. Tubuh kecilnya bersandar pada cushion besar tepat di sebelah Ayah. Pandangan mereka tertuju pada layar berukuran sekitar 60 inch yang menampilkan konser live grup idol.

Lihat selengkapnya