Kepercayaan dan keraguan selalu datang bersamaan dalam hidupku. Rasa percaya yang kuberikan pada seseorang sangatlah sulit. Bahkan sejak usiaku menginjak sembilan. Aku bahkan tidak memberikan rasa itu pada ayahku. Meskipun beliau satu-satunya orang yang tersisa di sampingku kala itu.
Benar. Setelah Ibu meninggalkan kami dari dunia ini selamanya, hanya Ayah yang kumiliki. Sayangnya, Ayah yang perlahan mengurangi kasih sayangnya untukku membuatku menjauhinya perlahan.
Sampai di usiaku yang ke-17, aku menyadari bahwa Ayah hanya mencintai Ibu. Cinta Ayah pada putrinya jauh berbeda dengan cintanya pada Ibu. Mulutnya selalu menyalahkan kehadiranku yang dia anggap sebagai penyebab utama menghilangnya Ibu dari dunia ini.
“Menjauhlah dariku, Winter. Hatiku sakit setiap kali melihatmu. Kecuali kau mampu membawa Melisa kembali di hadapanku, enyahlah!”
Sejak usiaku menginjak sembilan, ucapan terakhirnya padaku membuatku menarik diri darinya. Tak pernah lagi kuceritakan hari-hariku di luar rumah yang sebelumnya selalu kuceritakan padanya dengan antusias. Tidak lagi kutunjukan berapa nilai yang kudapat di sekolah. Atau siapa yang mengajakku makan siang di kantin. Apalagi teman-teman yang merendahkanku di sekolah karena aku selalu mengunjungi rumah sakit psikiatri di akhir pekan.
Sejak mendapat diagnosis gangguan kepribadian schizoid dua tahun setelah Ibu meninggalkanku selamanya, Ayah rutin membawaku ke rumah sakit tempat Ibu bekerja sebelumnya. Dokter Gayle, yang juga sahabat dekat Ibu, merupakan psikiater yang mendiagnosaku kala itu.
Berpegang pada riwayat perubahan mood-ku yang dicatat oleh Ibu sebelum meninggal, Dokter Gayle melakukan pemeriksaan pada diriku. Kala itu kondisiku terus memburuk setelah Ibu meninggal. Di samping aku yang tak pernah bersedia keluar kamar, aku bahkan menolak untuk makan selama berhari-hari.
Ayah tak mampu mengatasi perubahan sikapku. Sikapnya yang selalu menolakku lambat laun membuatku menarik diri darinya. Awalnya, emosiku hanya meledak-ledak saat diajak bicara olehnya. Namun, seiring waktu berjalan, aku bahkan tak membuka mulutku sedikitpun. Terus membisu di hadapannya.
Selain itu semua, aku menolak berangkat sekolah. Menolak bermain di taman dengan teman sebayaku. Menolak siapapun yang datang menemuiku. Termasuk June, sahabat kecilku.
Setelahnya, tingkat paranoidku meningkat saat berada dalam keramaian. Aku menjadi sangat membenci keramaian. Meskipun Ayah memaksaku untuk menghadapinya, ketakutan dalam diriku justru merayapi tubuhku saat mendapati setiap tatapan orang sekitar yang tertuju padaku.
Tidak lama setelahnya, Ayah memutuskan agar aku mendapatkan perawatan lebih dalam dari Dokter Gayle. Penolakanku akan kehidupan sosial yang seharusnya menjadi kebutuhanku menjadikan Dokter memvonis gangguan schizoid untukku.
Hari-hari berikutnya, selalu ada saat di mana duniaku menjadi kosong. Tak mengenali siapapun dan apapun. Tak ingin melakukan apapun. Hanya berendam di dalam bathtub yang dipenuhi air sedingin es. Aku bahkan dapat bertahan selama berhari-hari di dalamnya.
Butuh lebih dari dari dua tahun sejak perawatanku di rumah sakit psikiatri untuk pertama kalinya hingga kondisiku dinyatakan stabil. Dokter Gayle mengijinkanku pulang ke rumah.
Perlahan Ayah membawa guru private untukku. Mengajakku berinteraksi dengan orang lain selain dirinya, Noah, dan juga beberapa pekerja di rumah kami.
Menginjak usia sekolah menengah atas, aku meminta Ayah untuk memasuki sekolah umum alih-alih melanjutkan home schooling. Berpegang pada ijin yang dikeluarkan Dokter Gayle, Ayah mengabulkan keinginanku. Aku tak pernah lupa akan tatapan Dokter Gayle yang berbinar mengetahui keinginanku untuk mulai bersosialisasi di luar rumah.
Meskipun demikian, tatapan Ayah padaku tetap tidak berubah. Selalu dingin setiap kali menatapku. Tubuhku selalu merinding saat kami berpapasan. Suaranya yang berat selalu membuat jantungku berhenti. Makan malam bersamanya selalu membuat napasku sesak. Satu jam bagaikan setahun duduk di meja makan bersamanya.
Beruntung, pengobatan dan terapi yang kujalani perlahan membuat kondisiku lebih stabil. Masuk sekolah umum juga membantuku sedikit bernapas lebih lebih nyaman. Sekolah menjadi tempat terbaik bagi pelarianku dari Ayah.
Namun, itu hanya berlangsung beberapa saat. Di semester kedua, aku mendapati seseorang mengetahui riwayat gangguan schizoid personality yang kumiliki. Seluruh sekolah heboh karenanya. Orang tua murid banyak melayangkan protes pada sekolah. Mereka tidak ingin anaknya mendapat pendidikan dengan anak bergangguan jiwa sepertiku.
Saat Ayah dipanggil ke sekolah untuk menjelaskan keadaanku, sekolah menjadi sedikit tenang. Pengaruh perusahaan properti raksasa milik Ayah membuat segalanya menjadi mudah. Tidak ada lagi orang tua yang melayangkan protes ke sekolah. Apalagi guru yang meremehkanku. Namun, semua murid di sekolah tetap mengolokku hingga hari kelulusanku.
Kali ini, di hadapanku dan juga Ayah, mendengar ucapan Gloria yang memiliki keinginan terpendam menjadi seorang psikiater seolah menamparku. Mulutku bergetar saat kuberanikan diriku mengajukan pertanyaan untuknya.
“Kau … ingin Ibu berhenti melakukan terapi?”
Tidak hanya putriku tetapi juga Ayah menatapku dengan sorot tajam. Jauh di dalam hatiku, aku menyadari bukan itu yang seharusnya aku ucapkan. Aku menyadari bahwa putriku selama ini merasa terasing dari diriku yang notabene adalah ibunya sendiri.