Outsider

Susanti
Chapter #4

Bagian 4 - Poem

Sungguh buruk. Bagaimana mungkin seorang Ibu tidak membuka hatinya secara penuh pada putrinya? Masihkah pantas Gloria menyebutku sebagai ibunya? Memikirkannya saja membuatku ingin muntah.

Pagi hari berikutnya, aku memberanikan diriku untuk membuka sedikit hatiku pada putriku. Perbincangan kami setelah sarapan terasa lebih hangat di tengah cuaca yang mendekati suhu minus.

“Kau sudah mengatakannya Ibu, aku boleh melakukan apapun. Apa salahnya menjadi psikiater?”

“Ibu mengerti. Namun, menjadi psikiater akan membuatmu kesulitan mengelola perusahaan Kakek. Kau sendiri yang sangat menginginkannya. Bahkan sejak pertama masuk sekolah taman kanak-kanak.”

“Aku masih terlalu muda saat itu. Aku belum menyadari apapun saat itu.”

“Sekarang kau baru menyadarinya?”

Gloria menggeleng perlahan. Pandangannya tertunduk pada jemarinya yang mencengkeram cushion besar berbentuk awan miliknya.

“Mungkin … saat usiaku menginjak sepuluh. Kau benar Ibu, kala itu … aku berpikir jika menjadi psikiater akan menyembuhkanmu. Bahkan hingga saat ini, aku tidak percaya sedikitpun pada Dokter Gayle. Apalagi rumah sakit psikiatri miliknya. Dokter Gayle dan juga rumah sakit itu selalu menjauhkan Ibu dariku. Aku selalu berpikir … mereka mungkin tidak melakukan pekerjaan mereka dengan benar.”

“Kau salah, Gloria. Baik Dokter Gayle dan semuanya, mereka bekerja sangat keras untuk Ibu. Hanya saja … beberapa hal untuk gangguan schizoid Ibu tidaklah mudah untuk dipecahkan. Bahkan Ibu sendiri tidak mampu melakukannya.”

“Kalau begitu, biarkan aku membantumu.”

“Kau sudah membantu Ibu lebih dari cukup sejauh ini. Kau tak pernah bertanya mengapa Ibu menghabiskan waktu lebih lama di dalam bathtub. Itu sudah cukup untuk Ibu."

Gloria tidak menanggapiku. Mataku menatapnya lebih lekat sebelum kembali berucap.

"Ketika dunia Ibu terasa kosong, di dalam bathtub membuatku terasa penuh. Dinginnya air di dalam bathtub tidaklah seberapa dibandingkan dengan sikap dan pandangan orang lain terhadap Ibu.”

“Kau … juga merasakannya saat bersamaku?”

Kepalaku menggeleng. Tanganku meraih jemarinya. Mengurainya dari pelukan erat yang melekat pada cushion kesayangannya.

“Kau membuat Ibu merasakan kehangatan hingga berapi-api. Kehadiranmu selalu mampu memaksa Ibu keluar dari dunia yang tidak seharusnya Ibu tinggali.”

“Tidak heran kau seperti membakarku selama ini.”

“Hahaa … bukankah itu hal yang bagus?”

“Hum … Ibu selalu membakar semangatku. Aku tidak ingin orang lain yang malakukannya. Tidak meskipun suatu saat aku bertemu Tom. Hanya Ibu yang mampu melakukannya padaku.”

“Apakah itu alasan kau ingin Ibu mengatakan siapa Tom padamu?”

“Hum … meskipun aku mengetahuinya, itu tidak akan mengubah posisi Ibu di hatiku.”

Mataku berkaca-kaca mendengar ucapan putriku. Matanya yang menatapku tanpa ragu perlahan menghapus keraguan dalam hatiku. Keraguan yang menumbuhkan bibit kecemasan pada diriku. Kecemasan akan kehilangan putriku jika bertemu Tom.

“Ibu … bertemu ayahmu, Hideo Tomfinson, saat tahun kedua di SMA.”

“Hideo Tomfinson? Itukah namanya?”

“Hum … kau berniat mencarinya di sosial media?”

“Tentu saja.”

Gloria terkekeh kecil sembari meraih ponselnya. Matanya berbinar saat mengetik nama Tom di akun pencarian laman sosial medianya. Matanya menyipit setelah menyadari tidak ada yang muncul dalam pencariannya.

Lihat selengkapnya