Outsider

Susanti
Chapter #6

Bagian 6 - Poem

Aku dan June saling mengenal bahkan jauh sebelum aku berada di taman kanak-kanak. Umur kami hanya terpaut dua tahun. Sebagai yang lebih muda, June sering melindungiku ketika aku masih belia.

Renya, ibu kandung June, dan ibuku adalah sahabat karib. Hingga beberapa tahun setelah Ibu meninggal, Renya selalu menyempatkan dirinya untuk mengantarkanku ke rumah sakit untuk terapi. Itu terjadi saat Ayah harus ke luar kota.

Renya tidak pernah memandangku lebih rendah meskipun mengetahui penyakit mental yang kuderita. Dia berbeda dengan orang lain di sekitarku. Dia selalu menyebutkan kebaikanku di hadapan teman-temannya. Bahkan hingga akhir pertemuan kami, Renya tidak pernah menghakimiku. Meskipun mengetahui akulah yang mengajukan perceraianku dengan putranya sepuluh tahun yang lalu.

Andai saja June memiliki sejumput dari sifat Renya. Mungkin keadaan akan berbeda.

"Percayalah, Poemy. Aku mencintaimu lebih dari apapun. Meninggalkanmu pasti membebankan keputusan sulit dalam diriku. Aku tidak akan pernah melakukannya. Sekarang atau selamanya."

Masih segar dalam ingatanku saat June mengungkapkan ucapan klisenya kala itu. Itu bahkan terucap saat usianya menginjak 14. Entah bagian syaraf di otakku atau mungkin di hatiku yang sudah rusak. Tidak ada kehangatan yang kurasakan dari setiap ucapan maupun sikapnya. Aku tetap merasa menjadi orang asing saat berada di dekatnya.

Kini ... di hadapanku. Kudengar June mengucapakan kata-kata paling konyol yang pernah terlontar dari mulutnya.

“Tidak bisakah kita kembali?”

June terlihat bergumam dalam suaranya. Namun, aku mendengarnya dengan jelas. Pandangannya tetap tertuju pada kaca jendela. Namun, dapat kurasakan tatapannya yang tegas.

“Tidak ada gunanya mengucapkan hal bodoh itu. Sungguh tidak masuk akal. Kau yang paling mengerti, June. Aku tidak ingin menyakitimu.”

Mendengar ucapanku, June mengalihkan pandangannya. Mengunci mataku hingga membuat napasku sesak.

“Aku dapat menerimanya. Memperbaikinya,“

“Tidak ada yang harus diperbaiki. Semuanya sudah berjalan dengan benar.”

“Kau ... masih menunggunya?”

Tenggorokanku tercekat. Jantungku seolah berhenti saat mendengar pertanyaan June. Seolah mengerti bahwa aku tak sanggup menjawabnya, June kembali berucap. Pandangannya yang menggelap membuat dadaku semakin sesak.

“Dia … tidak akan datang. Berhenti menunggunya.”

Kugenggam erat jemariku yang mulai gemetar. Pandanganku tidak kualihkan darinya. Mengutuknya perlahan dengan suara gemetar.

“Berani sekali kau mengaturku! Kita tidak sedekat itu untuk mengatur satu sama lain. Kau sudah lupa tentang perjanjian perceraian kita?”

“Aku tidak ingin kau terluka lagi.”

Meskipun terdengar manis, ucapannya membuatku muak. Aku memutar kedua bola mataku karena ucapannya.

“Itu tidak akan meluluhkanku.”

“Berhentilah membenciku, Poem. Aku menikahimu meski mengetahui kau mengandung anaknya. Tidakkah kau terlalu kejam padaku?”

“Tidak seharusnya pernikahan itu terjadi. Mengakhirinya adalah yang keputusan paling tepat.”

“Oh, Tuhan. Hingga saat ini kau juga masih tidak memikirkan perasaanku.”

“Manusia tidak mudah berubah, June.”

Di tengah perbincangan kami, Elena muncul membawa sepiring sandwich berisikan daging merah. Cangkir yang berada satu nampan bersamanya diserahkan pada June terlebih dahulu. Piring berisi sandwich yang kulihat menyusulnya kemudian. Kami terdiam hingga Elena membuka mulutnya.

“Nikmatilah selagi hangat, Tuan …?”

“Oh, June Keller.”

“Oh, nice to meet you, Tuan Keller. Saya Elena. Saya dan Poem berteman cukup lama. Dan … kau?”

“Oh, Poem tidak mengatakannya padamu? Saya mantan suaminya.”

Elena tampak menahan napasnya. Tangannya dia katupkan pada mulutnya yang menganga. Matanya bergantian menatapku dan June sembari berkedip cepat.

“Tidak heran Gloria sangat cantik. Wajahnya pasti menurun dari parasmu, Tuan Keller.”

“Ah … kau benar. Senang mendengarnya.”

“Hahahaa … senang melihat Anda di sini.”

“Mereka tidak mirip sama sekali. Kembalilah ke tempatmu, Elena.”

“Oh, kau mengusirku? Hum … aku mengerti. Bicaralah dengan santai. Aku akan berada di dapurku. Dan, oh! Teh cammomile untukmu tidak tersedia hari ini, Poem.”

Lihat selengkapnya