Outsider

Susanti
Chapter #7

Bagian 7 - June

Kembali bertemu seseorang yang sebelumnya mengisi hari-hariku tiada henti lebih menyenangkan dibandingkan memenangkan lotre. Seperti yang kurasakan pagi ini. Terlebih, itu adalah pertemuan pertamaku dengan Poem setelah sepuluh tahun.

Sebelum perceraianku dengan Poem, tidak … bahkan jauh sebelum itu. Jauh sebelum pernikahan kami. Sebelum manusia yang paling tidak aku inginkan menginvasi hari-hari kami. Aku sangat percaya diri bahwa hanya ada diriku dalam dunia sahabat kecilku. Bukan manusia lain yang selanjutnya selalu kusebut sebagai alien dalam hubunganku dengan Poem.

Semua anganku runtuh saat alien itu muncul. Semuanya menjadi buram hingga di liburan musim panas tahun pertamaku di universitas. Kutemukan keanehan dalam diri sahabat kecilku yang masih menempuh tahun ke dua di SMA.

Poem sangat membenci musim panas. Ibunya yang sering kupanggil Tante Melisa meninggalkan dunia ini di pertengahan musim panas. Selama musim panas di tahun-tahun berikutnya setelah kepergian ibunya, Poem hanya akan mengurung dirinya. Ayahnya selalu membawanya ke rumah sakit psikiatri saat beliau tak mampu lagi menghadapi kemungkinan depresi yang diidap putri tunggalnya.

Pada saat yang sama, aku hanya bertemu Poem beberapa waktu. Ayah tidak mengijinkanku menjenguknya di rumah sakit meskipun Ibu bersikap sebaliknya. Ketakutan terbesarku adalah ayahku. Tak pernah sedikitpun aku berani menentang ucapannya.

Namun, musim panas saat itu sangatlah berbeda. Kala itu, aku berniat mengunjungi Tony Poem, suami Tante Melisa. Itu biasa kulakukan di liburan musim panasku. Masih jelas dalam ingatanku saat membuka pintu kediaman keluarga Poem. Jantungku berdetak lebih cepat mendapati suara gelak tawa Poem yang terdengar hingga ruang tamu.

Tubuhku membeku diikuti mataku yang bergetar mendapati Poem tertawa lebar di kursi taman yang berada di halaman samping rumahnya. Tangannya bahkan terlihat memegang perutnya sembari menyeka air mata yang menitik di ujung matanya sesekali. Tak dapat kupungkiri jika tawanya tak berhenti membuat jantungku berdesir.

Bukannya turut bahagia mendapati Poem tertawa lepas, perasaan kosong justru menyelimutiku. Butuh beberapa saat bagiku hingga menyadari bahwa bukan aku yang duduk di hadapannya. Bukan aku pula yang membuatnya tergelak sekeras itu.

Saat ini berbeda. Aku yakin itu. Melihat Poem tersenyum ... bahkan setelah sepuluh tahun tak melihatnya. Itu memang tidak mengubah perasaanku. Jantungku masih berdesir setiap kali mendapati sikap ketusnya padaku. Jantungku hampir melompat keluar setiap kali dia menunggingkan senyum tipis di bibirnya. Semuanya dia tunjukkan padaku. Hanya untukku.

Jauh di dalam lubuk hatiku, aku sangat percaya diri bahwa Poem tidak akan menolak kehadiranku. Hubungan kami tidak sedangkal itu. Meskipun setelah perceraian kami … atau bahkan setelah sepuluh tahun aku mengabaikannya.

Pagi ini, meskipun menggerutu, Poem tetap menuruti permintaan konyol yang kuciptakan. Meskipun jam sarapan sudah lewat, aku tetap memaksanya menemani sarapanku. Aku bahkan membuat alasan paling tidak masuk akal agar dapat menghabiskan waktu bersamanya lebih lama.

Saat sibuk mencari restoran dari ponselku, Poem tidak terlalu mengindahkan kehadiranku. Tanpa menjawabnya, tangan kurusnya terus fokus pada finishing pekerjaannya. Setelah selesai menjahitnya, tangannya bergegas memasang pakaian yang didesainnya pada manekin. Tangan kecilnya terlihat menjahit manual dengan cekatan. Sungguh ... dia tampak seperti orang yang berbeda. Terlebih saat jemarinya menyisipkan satu per satu ornament yang tampak telah dia pola sebelumnya.

Pemandangan akan fokus Poem saat mengerjakan sesuatu bukanlah hal baru bagiku. Sejak kecil aku terbiasa melihatnya. Poem sangat fokus hanya pada satu atau dua hal yang disukainya. Tidak hanya tugas sekolah, persahabatannya denganku, maupun cintanya pada seseorang.

“Ping … ping!”

Suara alarm yang keluar dari jam tangan Poem mengagetkanku. Kulihat dia menghentikan kegiatannya. Matanya tampak menyipit saat menatap jam di tangannya. Perlahan dia beranjak menuju tas kecil yang tidak jauh dari kursinya. Tangannya mengeluarkan beberapa botol kecil dan bergegas mengeluarkan isinya. Mulutnya bergumam sebelum menenggak satu per satu butiran obat miliknya.

“Oh, sudah lewat makan siang.”

Mulutku tersenyum saat mendapati ekspresi terkejutnya. Dia bahkan terperanjat saat mendapati mataku yang terus menatapnya.

“Kau masih di sini?”

Sedikit terkekeh, aku menjawab pertanyaan polosnya.

“Tentu saja. Oh, demi apapun. Ini sudah lewat jam makan siang, Poemy. Dan juga … memangnya benar jam minum obatmu adalah jam satu siang? Bukankah seharusnya sekitar jam 12? Mengikuti jam makan siang?”

Tanpa mengindahkan ucapanku, dia kembali menenggak air putih dari gelas di mejanya.

“Berteriak bukanlah gayamu. Berhenti melakukannya.”

Lihat selengkapnya