Saat menginjak usia tujuh, duniaku berubah. Sikap Ayah yang selalu dingin padaku bukanlah segalanya. Aku dapat menahannya selama mendapati senyum Ibu. Namun, malam itu berbeda.
Suara Ayah yang meninggi membangunkan lelapku. Aku tidak mengerti apa yang dia perdebatkan dengan Ibu. Kata-kata yang tertangkap telingaku saat membuka pintu adalah ... let me go! Ucapan itu keluar dari mulut Ibu yang terisak.
Satu atau mungkin dua bulan setelahnya, aku mendapati Ayah dan Ibu kembali adu mulut. Suara mereka kembali membangunkanku di ujung pagi. Lagi-lagi suara Ayah yang meninggi membuatku meringkuk sembari menggenggam selimutku dengan erat di balik pintu kamarku.
“Aku bahkan menikahimu meski sejak awal mengetahui Gloria bukan putriku.”
Seluruh tubuhku gemetar. Kedua tangan kecilku terkatup rapat di telingaku. Mulutku terus meracau lirih. Air mataku yang menetes tak dapat kukendalikan.
“Aku salah mendengarnya. Tidaak … aku tidak mendengarnya. Aku tidak mendengarnya … bukan itu yang aku dengar. Bu … kan,”
Entah sepuluh atau 15 menit setelahnya, mulutku berhenti meracau. Langkah kecilku berlari keluar dari kamarku saat mendengar Ibu berteriak. Tubuhku membeku mendapati tubuhnya berlumuran darah. Mataku terbelalak mendapati Ayah meraung sembari mendekap tubuh kurus Ibu.
Tanpa pikir panjang, langkahku berlari mendekat pada Ibu. Kuabaikan rasa sakit yang menusuk di seluruh telapak kakiku akibat serpihan kaca yang kuinjak. Tangan kecilku menggoncang tubuh Ibu. Dia tidak meresponku. Tidak juga membuka matanya. Tidak ada perubahan yang terjadi meskipun aku berteriak memanggil namanya.
Setelahnya, butuh lebih dari dua minggu bagiku mendapati Ibu mengalungkan lengan kirinya pada lehernya. Pertengkarannya dengan Ayah membuat lengannya patah. Bekas jahitan yang terlihat saat gips-nya dilepas satu minggu setelahnya membuatku terisak.
Bukan karena bekas jahitan yang terlihat berantakan. Bukan itu yang aku tangisi. Namun, ingatanku akan Ibu yang berlumuran darah di pelukan Ayah sebelumnya. Saat itu, aku pikir aku telah kehilangan dirinya untuk selamanya.
Kepedihanku bertambah, menyadari jahitan pada kedua telapak kakiku yang belum sembuh seutuhnya. Terlebih saat mengingat ucapan Ayah bahwa aku bukanlah putrinya.
Hari-hari berikutnya, aku mendapati diriku tinggal bersama Kakek. Itu adalah kali pertamaku masuk sekolah dasar. Alih-alih fokus pada sekolah baru, aku justru tak berhenti menangis menyadari ketidakhadiran Ibu atau Ayah setiap kembali ke rumah.
Beberapa bulan setelahnya, Ibu menjelaskan padaku terkait perceraiannya dengan Ayah. Juga ... kenyataan bahwa aku bukanlah putri kandung Ayah.
“June dan Ibu tidak seharusnya bersama. Pernikahan ini hanya akan terus menyakitinya jika diteruskan. Ibu tidak sanggup memaksakan kehendak itu.”
Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutku. Mata sayu ibuku membuatku ingin memeluknya. Namun, aku tak sanggup melakukannya.
“Kau harus tahu, Gloria. Selama ini Ibu telah membohongimu. Maaf … tidak seharusnya Ibu melakukannya. Kau boleh membenci Ibu. Namun, harus kau tahu ... bahwa Tom adalah ayahmu yang sesungguhnya. Bukan June.”
Sejak saat itu, angan akan munculnya Tom di hadapanku tak dapat kupungkiri. Namun, Ibu tidak memberiku gambaran lain tentang dirinya. Aku tidak memiliki keberanian untuk menanyakannya.
Hari ini, sepuluh tahun setelahnya, sungguh … hari-hari seperti inilah yang selalu aku impikan. Hari di mana seorang Ayah datang menghampiriku.
Tubuhku membeku untuk sesaat mendapati apa yang kulihat di depan mataku. Jauh di dalam hatiku, bukan lelaki ini yang kuharapkan.
Entah satu atau dua hal … terkadang ada juga saat di mana itu tidak berjalan sesuai anganku. Kugenggam erat ujung rokku saat berusaha keras menerima kenyataan di hadapanku. Benar, dialah sosok ayah dalam ingatanku. Bukan orang lain.
Ini pasti mimpi bukan? Terlalu serakah untukku menginginkan orang yang bahkan belum pernah kulihat wajahnya. Kehadiran June yang muncul di halaman sekolahku sudahlah cukup. Setidaknya untuk saat ini.
Kulihat June tidak berubah banyak. Tubuhnya yang tegap tampak lebih kurus dibanding sepuluh tahun yang lalu. Kakinya yang jenjang berdiri tegap hanya sekitar sepuluh langkah dariku. Tangannya melambai perlahan padaku sembari menunggingkan senyum lebar dari bibirnya. Suara ringannya yang khas saat memanggil namaku membawaku larut dalam air mata.
“Gloria!”
Tanpa pikir panjang aku berlari ke arahnya. Melingkarkan lenganku pada tubuhnya dengan erat. Tangisku pecah saat June merengkuh tubuh kecilku tanpa ragu. Tangannya mengusap kepalaku dengan lembut seolah berusaha menenangkanku.
Perubahan besar terjadi setelahnya. Anak-anak di sekolah, terutama Melvina Kato yang selalu mengolokku datang padaku. Mengajakku makan siang di kantin bersama kelompoknya setelah bertahun-tahun tidak melakukannya. Meskipun dia hanya terdiam saat teman-teman satu kelompoknya sibuk menginterogasiku.
“Ayahmu sangat tampan, Gloria. Itukah sebabnya kau menyembunyikannya selama ini?”
“Kau benar. Dia pasti sangat merindukanmu sampai mendatangimu ke sekolah.”
“Kau membuatku iri, Gloria. Tidak hanya selalu juara sekolah, orang tuamu juga sangat cantik dan tampan.”
“Kau benar. Tidak heran wajahmu sangat cantik, Gloria.”
Sungguh … lebih dari apapun, kehadiran June yang sedikit tak kuharapkan justru membawa mimpiku menjadi nyata. Sejujurnya … semuanya terasa menakutkan.