Semenjak mengetahui ayah kandungku adalah Tom, memikirkannya selalu menghabiskan energiku. Aku membutuhkan keberanian lebih untuk sekedar menyebut namanya di hadapan Ibu.
Sama seperti hari-hari sebelumnya, kali ini juga demikian. Ibu hanya menatapku saat aku menanyakan perihal Tom. Mulutku kembali berucap sebelum melihat wajah murung Ibu. Hatiku selalu bergetar akan kemungkinan itu.
“Bukan aku penasaran akan dirinya. Maksudku … aku terus bertanya-tanya bagaimana Ibu begitu yakin saat berpisah dengannya. Mungkinkah karena Ibu merasa bosan? Mungkinkah Tom yang merasa bosan?”
“Jika benar demikian, maka Ibu tidak akan berada di ruang rawat inap selama hampir dua bulan kala itu.”
“Ah … sudah pasti bukan karena bosan.”
“Tentu saja, Gloria. Orang dewasa memiliki pemikiran yang lebih rumit dalam mengelola hubungan mereka.”
“Hmm,”
“Sekarang tidurlah. Ini sudah terlalu larut.”
“Good night, Ibu. Love you.”
“Love you, darling.”
Sebelum terlelap, benakku masih terngiang akan sosok Tom yang kulihat dalam booklet pameran yang kusimpan rapat-rapat di tasku. Meskipun telah mengetahui parasnya, itu tidak membuatku bersemangat mendatangi pameran. Aku justru ingin menghindarinya. Mulutku meracau akibat kegelisahanku.
“Akankah impianku selama ini menjadi nyata? Maksudku … aku mungkin saja bertemu dengannya, bukan? Oh, tunggu! Dia mungkin tidak berada di pameran. Lihatlah … pameran itu berlangsung hampir dua bulan. Pembukaannya bahkan sudah lebih dari sepekan yang lalu. Pekerjaannya pasti lebih banyak dibandingkan dengan pameran ini, bukan? Dia pasti tidak memiliki waktu untuk datang ke kota kecil seperti ini. Hmm … pasti seperti itu.”
Keesokan harinya, langkahku terasa gontai saat menaiki mobil Tante Elena. Beliau datang tepat waktu sesuai janjiku dengan Jose yang akan mengunjungi pameran setelah makan siang.
“Ibumu ada di butik?”
Suara Tante Elena yang nyaring menyapaku dengan riang saat aku berhasil duduk di kursi belakang mobilnya. Jose tampak terdiam mengamati ponselnya di kursi penumpang tepat di sebelah ibunya.
“Hmm … Ibu sangat sibuk dengan deadline-nya. Aku tidak ingin mengganggunya.”
“Kau putri yang baik. Selama ada Tante, kau tidak perlu khawatir tentang antar jemput. Kau mengerti?”
“Hum … thanks, Tante Elena.”
Butuh hampir 20 menit untuk mencapai gedung exhibition di pusat kota. Tante Elena bergegas meninggalkanku dan Jose di pintu gerbang menuju gedung. Tepat setelah mengucapkan terima kasihku padanya.
Lututku lemas mendapati halaman gedung yang penuh sesak oleh pengunjung. Kita bahkan harus mengantri masuk.
“Kau yakin masih ingin masuk?”
Jose tidak menjawabku. Pandangannya tertuju pada manusia yang berderet membentuk antrian masuk. Langkahku mengikutinya meskipun mulutku mengerucut. Mulutku menggerutu diikuti alisku yang berkerut saat menyadari waktu berlalu tetapi aku masih berdiri di tengah antrian.
“Urgh … seharusnya kita datang lebih pagi.”
“Kau benar. Mengantri setelah jam makan siang justru membuatku mengantuk. Urgh! Anginnya bahkan terlalu kencang hari ini.”
“Kita mungkin akan segera membeku. Urgh … lututku tak kuat lagi menahannya.”
“Bertahanlah sedikit lagi. Kita hampir sampai di pintu masuk.”
Jose tersenyum kecil sembari menarik tas punggungku. Melepasnya dari bahuku. Aku membiarkannya tanpa protes.
“Oh … lihatlah siapa yang mengantri. Pasti melelahkan, bukan?”
Suara melengking yang menghampiriku di sela antrian membuatku memutar bola mataku. Aku sangat mengenal suaranya. Mataku melirik tajam pada Melvina Kato yang tersenyum lebar melewatiku. Langkahnya melenggang menuju pintu masuk tanpa berdiri di antrian.
“Enyahlah dari hadapanku!”
“Hum … sebaiknya kau simpan energimu untuk mengantri, Gloria.”