Outsider

Susanti
Chapter #10

Bagian 10 - Tom

Meski terdengar menyebalkan, harus kuakui bahwa kesempurnaan adalah segalanya bagiku. Terlepas dari kepribadianku yang cenderung sensitif pada keadaan di sekitarku, aku selalu mengedepankan kesempurnaan. Tidak hanya berlaku pada keseharianku. Namun, juga perempuan yang kupilih.

Sebelumnya, urusan mencintai seseorang selalu kuanggap terlalu merepotkan. Tidak hanya membuang waktu tetapi juga menyita energiku. Namun, semua kepercayaan itu runtuh saat bertemu Winter Poem.

Poem sebelumnya mewarnai hari-hariku selama lebih dari lima tahun. Hingga kini, keberadaannya tetap tak sanggup kuenyahkan dari kepalaku. Meskipun hampir 6000 hari telah berlalu. Begitu bodohnya diriku yang terus meratapi hari-hari yang tak kulalui dengannya.

Tidak banyak yang kulakukan setelah mengetahui pernikahan Poem. Perusahaan Ayah yang hancur membuatku lebih fokus untuk membantu memulihkannya saat itu. Beruntung, takdir masih berpihak padaku dan keluargaku. Teknologi yang kuambil paksa dari Poem sebelum pernikahannya menjadi titik balik ketenaran perusahaan Ayah di tengah hatiku yang hancur.

Tiga tahun setelahnya, aku memberanikan diri untuk mendirikan perusahaanku sendiri. Berbekal keahlianku pada teknologi berbasis engineering terbarukan, kudirikan EsconderW Company. Tidak butuh waktu lama untukku dan perusahaanku menguasai pasar. Terlebih, berbekal pada teknologi canggih milik Poem yang berhasil kukembangkan.

Saat ini ... bertahun-tahun setelahnya. Aku memutuskan untuk mengadakan pameran atas produk terbaru EsconderW. Sama seperti pameran sebelumnya, aku mengajak beberapa perusahaan lain untuk memudahkanku mendapatkan investor.

Tahun ini, salah seorang sekretarisku, Nick Spencer, menyarankan untuk mengadakan pameranku di Kota Snow. Kota kecil yang merupakan kampung halamannya terletak di kaki pegunungan nikel. Perusahaan tambang raksasa bertengger kokoh memenuhi setiap sudut kaki pegunungan. Sekitar lebih dari 100 kilometer dari daerah pertambangan merupakan pusat kota kecil yang … sangat sederhana.

Mengapa? Sungguh … aku tidak menemukan hal yang menarik minatku selama seminggu pertamaku berada di Kota Snow. Meski memakan waktu hampir dua jam menggunakan pesawat dari kota tempatku tinggal, aku lebih memilih melakukan perjalanan pulang pergi selama satu minggu ini. Jika bukan karena menghindari tekanan ayahku di Kota Georgia, aku tidak akan memilih tempat ini.

“Oh, ini baru satu minggu. Aku harus bertahan selama dua bulan ke depan.”

Meskipun terus menggerutu di dalam hati, tidak ada yang berubah dari keseharianku yang monoton. Senyum palsu yang kutebarkan setiap harinya tak juga memberikan perbedaan pada kekosongan yang kurasakan. Sampai hari di mana aku melihatnya.

Di sela tawa yang kupaksakan di tengah obrolanku dengan calon investorku, kepalaku yang tidak sengaja menoleh ke sisi kananku membuatku terpaku. Gadis mungil yang berdiri di hadapanku dengan pandangan gemetar membuat hatiku berdesir.

Tubuhnya gemetar bukan karena menyembunyikan senyumnya yang biasa diperlihatkan oleh para wanita maupun gadis seusianya yang selalu meminta berfoto denganku. Dia tidak tersenyum. Tatapannya … bisa dikatakan ingin membunuhku kapan pun.

Suaranya yang terlontar dari mulutnya dengan suara bergetar membuatku terperangah. 

“Apakah menyenangkan tertawa bersamanya? Wanita itu bahkan tidak sepadan denganmu.”

Kedua alisku terangkat dengan cepat. Mencoba memahami setiap kata yang dia ucapkan. Mungkinkah, Hannah yang dia maksud? Sebelumnya hanya ada Hannah satu-satunya wanita yang menempel di dekatku. Sementara sisanya berjarak lebih dari tiga langkah dariku. Mereka mundur perlahan setelah kami selesai melakukan foto bersama.

Dari semua keraguanku ... bukan itu yang menganggu pikiranku. Paras gadis itu membuat tubuhku membeku. Benar. Parasnya mengingatkanku pada versi diriku saat berusia belasan. Bedanya, dia berjenis kelamin perempuan. Sorot matanya yang tajam di bola mata birunya yang serupa denganku membuat napasku sesak. She is totally likeme in a wig!

Tidak hanya gadis mungil itu yang wajahnya berubah pucat saat melihatku. Ekspresi wajahku pastilah tidak jauh berbeda dengannya. Jemariku perlahan kukepalkan dengan kuat tanpa kusadari. Kusembunyikan rapat-rapat gemetar di seluruh tubuhku dalam lenganku yang menyilang.

Lihat selengkapnya