Sejak awal, hubunganku dengan Tom terbilang aneh. Butuh lebih dari satu tahun bagiku untuk dapat membuka diri padanya. Maksudku, menerima kehadirannya. Memiliki June sebagai orang yang setiap hari terlihat di sampingku saja sudah cukup membuatku kelelahan.
Jika diingat kembali, pertemuan pertamaku dengan Tom juga tidak begitu istimewa. Schizoid yang kuidap membuatku enggan berkenalan dengan orang baru. Apalagi berusaha lebih dekat dengan mereka.
Kala itu, aku menghadiri acara pertandingan basket di final Winter Cup. Tim yang disponsori Ayah merupakan jagoan Kota Willow yang selalu meraih kemenangan berturut-turut selama lebih dari satu dekade sebelumnya.
Meskipun terpaksa, aku datang karena Ayah menyeretku untuk menonton pertandingan kala itu. Kudengar dia menuruti terapisku agar mampu membuatku terbiasa dengan keramaian. Terbiasa dengan kehadiran orang lain di sekitarku.
Pertandingan itu tidak menarik perhatianku. Aku memaksa diriku untuk menyaksikannya selama paruh kuarter pertama. Lima atau sepuluh menit setelahnya aku lebih memilih mengeluarkan buku sketch yang kumiliki dari tas punggungku daripada menonton pertandingan.
Sesaat setelah memegang pensil dan mencoretkan sesuatu di atas buku sketch-ku, duniaku berubah. Keriuhan dari ribuan penonton yang memenuhi gedung tidak lagi kudengar. Cahaya lampu yang menyorot pada lapangan tidak terlihat lagi olehku. Hanya satu lampu pijar yang menyinari buku sketch-ku.
“Argh!”
Tubuhku terperanjat saat mendapati cola dingin menempel di wajahku. Mataku terbelalak saat mendapati tetesan air cola perlahan membanjiri sketch yang kubuat. Begitu banyak hingga membasahi rok seragam sekolah yang kukenakan.
Sembari menggerutu, sontak kutolehkan kepalaku pada sumber aliran cola yang mengalir tanpa henti. Seorang lelaki berjaket warna navy berdiri tepat di sampingku. Aku yakin dia tidak seumuran denganku. Lebih tepatnya, tampak seusia June.
Mulutnya terus terkekeh lebar padaku. Bola mata birunya tampak berkilau meskipun matanya menyipit saat kulihat dia menahan tawanya. Tangannya berhenti mengalirkan air cola dari tangannya setelah pandangan kami bertemu.
“Fokusmu ... sungguh luar biasa. Apa yang kau gambar, huh?”
Tanpa merespon lelaki itu, aku beranjak dari tempatku. Mengibaskan buku sketch dan rokku secara bersamaan.
“Ehm … aku menanyakannya padamu berkali-kali. Sejak paruh kuarter pertama berakhir. Aku pikir kau tidak mendengarku karena keriuhan sebelumnya. Dan ... meski pertandingan berakhir, kemudian semua orang juga sudah pergi … kau tidak juga menoleh padaku.”
Alih-alih menanggapi ucapan lelaki itu, kugerakkan mataku untuk melihat sekeliling. Benar juga. Pertandingan sudah berakhir. Lapangan telah kosong. Kursi penonton yang tadinya berdesakan juga kosong.
“Ikutlah denganku. Aku akan mengganti bukumu yang basah. Juga … kau sepertinya butuh baju baru, bukan? Kau bisa masuk angin dengan pakaian dingin itu.”
Lagi-lagi aku tidak menjawab lelaki itu. Bergegas kumasukkan buku sketch yang basah kuyup ke dalam tasku. Langkahku bersiap meninggalkan kursi penonton milikku. Kudengar suara lelaki itu sedikit melambat disertai tubuhnya yang perlahan mendekat padaku.
“Hey … maaf. Apakah kau tidak bisa berbicara? Kau bahkan … tidak terlihat marah. Kalau ingin marah padaku luapkan saja. Aku akan menerimanya.”
Masih tidak menanggapi lelaki itu, langkahku bergegas meninggalkannya. Ekspresiku yang datar mungkin membuatnya kesal. Tangannya yang panjang meraih lenganku dengan mudah. Dalam hitungan detik, lengan besar miliknya menyeretku ke dalam dadanya yang bidang. Wajahnya mendekat padaku dan mengecup bibirku dalam sekejap.