Outsider

Susanti
Chapter #15

Bagian 15 - Tom

Hingga saat terakhirku mengenal Poem belasan tahun lalu, sikapnya tidak berubah. Tetap terlihat dingin di mataku. Terlepas dari sikapku padanya yang dianggap telah menipunya, aku tidak keberatan jika dia memberontak padaku.

Kala itu, keegoisanku menumbuhkan bibit manipulatif yang tanpa kusadari telah kuterapkan pada Poem. Aku mendekatinya agar mendapatkan desain metamorf terowongan bawah tanah berisi teknologi terbarukan yang dia ciptakan untuk mencegah banjir. Tanpa ragu, aku mengambil alih maha karya miliknya. Mengubahnya menjadi karya milikku.

Berdalih menyelamatkan perusahaan Ayah, aku mengklaim karya milik Poem yang kuambil diam-diam darinya. Menjualnya atas nama perusahaan Ayah dengan namaku. Benar sekali! Perusahaan keluarga kami bangkit dari keterpurukan dengan sempurna atas karya yang dianggap luar biasa di mata dunia milik Poem.

Saat kudapati Poem menemukan kenyataan pahit itu, kulihat dia hanya mematung. Sikap apatisnya sungguh membuatku lebih kesal. Saat itu, aku bahkan tidak mempermasalahkan jika dia menuntutku secara pidana.

Namun, yang kutemukan sebaliknya. Dia tidak menuntut apapun dariku. Tidak juga memintaku melakukan permintaan maaf. Dan juga, tidak memintaku menjelaskan alasan akan sikapku yang … dianggap semua orang terlampau manipulatif padanya. Alih-alih meronta padaku, dia justru mengatakan hal yang paling tidak ingin kudengar.

“Aku akan menikahi June bulan depan.”

Wajahnya tampak datar saat berucap. Tidak hanya jantungku yang berhenti berdetak. Namun, duniaku terhenti. Aku mengerti jika dia marah padaku. Sangat kupahami jika sikapku padanya tak dapat dia tolerir. Namun, menikahi Keller? Oh, itu sangat konyol.

“Kau sangat pandai membunuh perasaan orang, huh?”

Kata-kata pertama yang kuucapkan padanya setelah pertemuan pertama kami kali ini membuatnya terperanjat. Sesaat setelah rapat kami selesai bersama Spencer yang menuntun jalannya rapat, aku tak sanggup lagi menahan isi kepalaku.

Kemarahanku mungkin terlihat tak berdasar. Maksudku … kami bertemu untuk pertama kalinya setelah lebih dari 6000 hari. Entah karena pemandangan terakhir yang kulihat atas Gloria dengan Keller atau melihat sikap Poem yang terlampau datar saat melihat wajahku untuk pertama kalinya. Bukankah wajar jika emosiku meluap?

“Apa yang ingin kau katakan? Langsung saja.”

Suara Poem membuatku menelan ludah. Tubuhnya masih berdiri di dekat pintu. Dia tidak mendekat padaku meskipun suaranya yang lemah terdengar sedikit meninggi.

Bukan keadaan seperti ini yang aku inginkan. Aku ingin Poem mendekat padaku. Meraih tanganku. Menggenggamnya dengan lembut seperti yang dulu selalu dia lakukan sembari menatapku dengan kilau matanya yang berbinar. Mengatakan bahwa dia merindukanku.

Bodoh sekali berharap demikian. Aku bahkan tidak mampu melakukan itu semua. Keserakahanku padanya harus segera kuhentikan. Alih-alih mengungkapkan keinginanku, aku berucap tegas padanya.

“Bawa Gloria padaku.”

Sungguh, aku tidak ingin menggunakan Gloria untuk menekan wanita yang selalu memenuhi pikiranku. Bola mata Poem yang besar terbelalak dengan cepat. Membulat lebih lebar seolah bersiap melompat ke arahku. Kilau mata hijaunya yang selalu kurindukan meredup perlahan. Suaranya bergetar saat langkahnya mendekat padaku.

“Bagaimana … kau …?”

“Hmm … entahlah. Sepertinya takdir membawa pertemuan kami. Good thing that she resembles me that much.”

Poem tidak menanggapiku. Matanya mulai terlihat berkaca-kaca. Tangannya dia tumpukan pada kursi tempat dia duduk sebelumnya di hadapanku. Jemarinya mencengkeram erat dinding kursi. Kupastikan dia berusaha keras menahan tubuhnya agar tidak terjatuh.

“Dia … mengenalimu?”

“Aku tidak yakin. Dia menolakku sebelumnya.”

“Me … nolakmu?”

Well … kami sempat berbincang. Namun, ... um,”

Kuurungkan ucapanku selanjutnya saat mendapati Poem mencengkeram dada kirinya. Mataku terbelalak saat mendapati dia mulai kesulitan mengatur napasnya. Ketakutanku melihatnya terkena serangan panik yang diidapnya menjadi kenyataan.

Lihat selengkapnya