Outsider

Susanti
Chapter #16

Bagian 16 - Poem

Kehangatan pelukan Tom yang telah lama aku rindukan membutakanku. Tatapan dinginnya yang selalu berkebalikan dengan sikap hangatnya padaku membawaku ke langit ke-7. Seolah menolak kenyataan bahwa kami telah memiliki kehidupan masing-masing.

Benar saja! Saat kulihat Hannah mengecupkan bibirnya tanpa ragu pada Tom, saat itulah aku ditarik paksa untuk kembali ke dunia nyata. Dunia di mana tidak ada lagi kehadiran Tom dalam hidupku.

Haruskah aku berterima kasih pada Hannah? Jika aku menyampaikan sikapku pada Dokter Gayle hari ini, dia pasti menganggapku delusional. Huh … setidaknya, thanks to Hannah so that I remember about my schedule to visit my therapist this week.

Saat kembali ke rumah, kudapati Gloria dan June berada di ruang tengah dalam cahaya sore yang temaram. Meskipun sang surya hampir membenamkan sinarnya, tidak satupun dari mereka beranjak menyalakan lampu. Kulihat mata mereka terpaku pada layar TV.

Tanpa protes, tanganku menekan tombol on pada dinding di dekat pintu. Kulihat Gloria bergegas menoleh ke arahku saat lampu menyala.

“Oh, Ibu! Kau sudah pulang?”

“Hmm … aku pikir kalian akan makan malam di luar.”

“Tempat yang ingin kudatangi penuh oleh reservasi.”

Gloria memasang muka kusutnya. Namun, pandangannya tidak dia alihkan pada layar TV di hadapannya. Sementara itu, aku menatap June yang hanya tersenyum tipis mendapati tingkah Gloria. Suara nyaringnya yang khas terdengar riang saat dia turut berucap dalam perbincanganku dengan putriku.

“Sepertinya tempat itu di booking penuh oleh pegawai penyelenggara pameran.”

Aku menanggapi ucapan June dengan santai sembari berlalu meninggalkan ruang tengah.

“Oh, benarkah? Mengapa tidak mencari tempat lain?”

Sebelum June sanggup menjawab, kudengar Gloria meninggikan suaranya.

“Huh … Ibu sungguh tidak mengerti. Setelah bekerja seharian, paling nikmat menyantap siput laut yang dipanggang dengan saus istimewa dari restoran itu.”

Sembari berjalan menuju kamarku, kunaikkan suaraku sekitar setengah oktaf untuk menanggapi ocehan Gloria.

“Wow … putri Ibu pasti bekerja begitu keras seharian ini, hum?!”

Kutemukan hening setelahnya. Aku yakin Gloria hanya menghela napasnya saat mendengar ucapanku. Tanpa menunggu jawaban putriku, langkahku bergeser menuju wastafel di kamar mandi. Kubasuh wajahku perlahan sembari menatapnya di cermin.

Sembari menghela napas, kuhempaskan kuat-kuat kejadian yang kulihat di elevator sebelum perpisahanku dengan Tom sore ini. Kilasan akan kedekatan Hannah dan Tom terngiang kembali dalam benakku tanpa permisi. Bergegas kucipratkan air sebanyak mungkin ke wajahku. Menggerutu perlahan di depan cermin tanpa kusadari. Berharap itu mampu menghempaskan perasaan tidak menyenangkan yang tertanam dalam benakku.

“Dia menikahinya, huh?”

Masih ... sembari menahan perasaan tidak nyaman di dadaku, aku melangkah kembali ke ruang tengah. Kuhela napasku saat mendapati putriku dan June masih bersandar di sofa.

“Jadi ... bagaimana, hum? Haruskah makan malam di rumah? Ibu tidak terlalu lapar.”

Gloria bergegas menatapku. Tatapan tajamnya selalu mengingatkanku pada Tom. Begitu pula kilau bola mata birunya yang meredup saat keadaan tidak sesuai harapannya.

“Bagaimana mungkin Ibu tidak lapar setelah bekerja seharian, huh? Itu sungguh tidak masuk akal.”

“Ibu makan banyak di rapat sore ini. Kau lupa? Ibu ada janji temu dengan sponsor Andromeda.”

“Ah … benar juga. Ibu bertemu dengan Andromeda?”

Mendapati kilau bola mata biru putriku yang berbinar dalam sekejap, menungggingkan senyum tipis di bibirku.

“Tentu saja tidak. Kita akan bertemu Senin depan.”

“Oh, menyenangkan sekali. Jangan lupa minta mereka untuk melakukan selfie di ponsel Ibu.”

“Aku mengerti. Sekarang bangunlah. Cari tempat makan yang lain. Kau akan membiarkan June tetap di rumah setelah jauh-jauh kemari? Dia pasti kelaparan, Gloria.”

Lihat selengkapnya