Outsider

Susanti
Chapter #17

Bagian 17 - Poem

Perasaan di dalam hati manusia, apa pun bentuknya … tidak mudah dipaksakan. Aku menyadari hal itu bahkan sejak usiaku menginjak tujuh. Saat mendapati ayahku lebih memilih untuk terus meratapi kesedihannya atas kepergian Ibu dibanding memperhatikanku. Seberapa keras aku menginginkan perhatian beliau, tak pernah sekalipun dia menoleh ke arahku.

Kini ... saat June kembali menginginkanku, tidak ada sejengkal pun dari perasaanku bergerak mendekat padanya. Bukan karena penyakitku yang memburuk. Aku yakin Dokter Gayle mengatakan padaku bahwa jiwa antisosialku telah jauh berkurang. Hanya saja, bukan June yang aku inginkan.

Pembicaraanku dan June pada malam sebelumnya juga tidak menyelesaikan apapun. Ucapan terakhirnya bahkan memperburuk perasaanku. Sikap pantang menyerahnya selalu menyebalkan di mataku.

“Ayolah, Poemy. Hanya aku yang mampu menghadapi sikap dinginmu. Tom tidak akan mampu bertahan sepertiku.”

“Kau tidak jauh berbeda dengannya, June.”

“Aku berbeda dengannya.”

Kudapati suara June tertahan oleh giginya yang turut berdecak saat berucap. Matanya yang tajam mengunci pandanganku. Kuhela napasku yang mulai sesak karena tatapannya.

“Kau sudah menahannya cukup lama, June. Tujuh tahun pernikahan kita ... bukankah sudah cukup?”

“Kau salah. Aku menahannya lebih dari itu. Ingatlah, Poemy ... siapa yang selalu di sisimu sebelum si brengsek itu muncul di antara kita, huh? Hanya aku. Bukan Tom. Bukan juga ayahmu.”

Ucapan June malam itu sebelum meninggalkanku menusuk telak di jantungku. Tak sanggup aku menyanggahnya. Tidak ada pembelaan lain yang sanggup kuungkapkan terkait ucapannya.

Sungguh aneh bagi orang yang paling antisosial di dunia mengharapkan cinta orang lain. Bahkan terapisku, Dokter Gayle tersenyum lebar padaku saat aku menceritakan perasaanku pada Tom. Tak pernah aku melihat senyum itu dari Dokter Gayle sebelumnya. Aku bahkan tak terkejut mendapati mulutku berucap tentang Tom di sesi konsultasiku kali ini.

“Kau ingat, Dokter? Kau yang pertama kali mengetahui perasaanku pada Tom.”

Dokter Gayle tersenyum kecil mendengar ucapanku.

“Tentu saja. Hmm ... butuh lebih dari tiga tahun untukmu menyadarinya, huh?”

Suara Dokter Gayle yang selalu terdengar penuh semangat membuatku turut tersenyum kecil. Berkebalikan dengan semangatnya, bagiku sesi terapi kali ini justru terasa lebih lambat dari biasanya.

“Aku menemuinya kembali.”

“Benarkah?"

Dokter Gayle mengangkat kedua alisnya untuk sesaat sebelum kembali berucap padaku.

"Bagaimana perasaanmu setelah bertemu kembali dengannya?”

“Hmm … entahlah. Sepertinya dia sudah menikahi Hannah Bale. Kami berpisah terlalu lama.”

“Oh, benar sekali. Itu memang sudah sangat lama. Bahkan Gloria hampir genap berusia 17 dalam beberapa bulan lagi.”

Suara Dokter Gayle mulai melembut seolah beradaptasi dengan sempurna mengikuti irama suasana hatiku.

“Dan … mereka sudah bertemu. Gloria dan Tom.”

“Oh! Jadi … menurutmu itu hal yang bagus atau …?”

“Entahlah … June yang juga muncul bersamaan sepertinya telah mendapatkan hati Gloria terlebih dahulu. Entah bagaimana aku harus menjelaskannya. Gadisku … bahkan tidak mengatakan apa pun padaku meskipun telah bertemu Tom tanpa sepengetahuanku.”

“Hmm … sepertinya Gloria butuh sedikit waktu.”

“Aku juga berpikir demikian. Hanya saja, aku merasa bahwa Gloria terlalu mengenalku, Dokter. Dia sangat memahami bahwa aku tak mampu membenci Tom terlepas semua yang dilakukannya padaku.”

Ucapan terakhirku menandai berakhirnya sesi terapiku bersama Dokter Gayle untuk bulan ini. Tanpa pikir panjang, aku bergegas kembali ke rumah. Berbeda dengan akhir pekan biasanya, kali ini aku harus menghadiri undangan pameran fashion di Paris. Kulihat putriku telah berdiri di samping koperku saat langkahku memasuki halaman rumah kami.

“Kau sudah siap?”

Matanya berbinar diikuti senyum dan anggukan kecil di kepalanya saat menanggapiku.

Lihat selengkapnya