Outsider

Susanti
Chapter #18

Bagian 18 - Gloria

Ah! Aku melakukan kesalahan. Bolehkah aku melakukannya? Jika Ibu mengetahuinya, dia tidak akan memaafkanku. Terlepas dari perasaan Ibu yang tidak menginginkan June, sudah seharusnya aku tidak membiarkan June mengikuti Ibu hingga ke Paris. Oh ... betapa bodohnya.

Sesalku yang semakin meluap kini tak sanggup lagi kubendung. Tidak hanya mengacaukan hati dan pikiranku tetapi juga lelapku.

Setelah panggilan telepon dari Ibu dini hari ini, suaranya terdengar normal. Namun, itu tidak melonggarkan sesak di dadaku. Aku yakin dia berpura-pura. Itu adalah satu-satunya keahlian Ibu. Kemampuannya menyembunyikan perasaannya di depanku tak pernah ada yang mampu mengalahkannya.

Memang benar, harus kuakui jika aku merasa berada di langit ke tujuh saat mendapati June kembali di tengah keberadaanku dan Ibu. Aku bahkan menutup mata atas sikapnya di masa lalu sebelum mereka bercerai.

Tatapan dinginnya saat menatapku. Sikap tak acuhnya setiap kali aku memanggil namanya. Tangan besarnya yang selalu menyingkirkan tubuh kecilku setiap kali aku berusaha memeluknya. Suara kerasnya yang begitu memekik di telingaku setiap kali tidak sependapat dengan Ibu.

Bagaimana mungkin aku melupakan semua itu? Ironi memang. Setidaknya, June membuat hidupku di TK tidak seburuk saat aku memasuki pendidikan di sekolah dasar hingga sekolah lanjutan. Terutama kehidupan sosialku. Maksudku, tak ada yang secara suka rela mengajakku berteman setelah Ibu menyandang gelar single mom.

Berbeda dengan di rumah, ketika berada di TK June selalu bersikap lebih hangat. Tak pernah dia melewatkan waktu pulang sekolahku setiap kali Ibu berada di rumah sakit. Dia bahkan tidak pernah absen di Hari Ayah dan acara sekolah lainnya.

June selalu menunggingkan senyum lebar saat bersamaku di sekolah. Setiap pelukannya menghangatkan hatiku. Setiap kecupan darinya di keningku menuntun senyumku sepanjang hari. Tak pernah kudengar protesnya menghadapi setiap kebodohanku dalam kegiatan di TK. Namun, sepertinya dia melakukan semuanya dengan terpaksa. Sikapnya sungguh berkebalikan saat di rumah.

Kini, keegoisanku sungguh tak dapat dimaafkan. Hanya karena ingin mendapatkan kembali kebahagiaan kecilku saat berada di TK yang begitu ingin kuterapkan di kehidupan SMA, aku mengabaikan perasaan Ibu. Aku hanya ... tak ingin lagi mendapatkan tatapan dan gunjingan buruk dari teman-teman maupun guru di sekolah karena Ayah tak pernah muncul.

“Bukankah Winter sudah meneleponmu? Mengapa wajahmu kusut begitu, hum?”

Suara Kakek membawaku kembali dari lamunanku. Tanganku meraih gelas berisi jus jeruk di meja makan. Setelah meneguknya, aku berucap perlahan dengan memaksakan senyumku.

“Ah … sepertinya aku kelelahan, Kakek.”

“Kelelahan? Memangnya apa yang dilakukan pelajar sepertimu, huh? Lihatlah ... ada apa dengan lingkaran hitam di bawah matamu itu, hum?”

“Urgh … Kakek lupa? Aku sudah bekerja.”

“Hahaa … kau hanya bekerja kurang dari empat jam. Apakah selelah itu, hum?”

“Jangan bandingkan aku dengan Kakek yang gila kerja. Sebaiknya Kakek berhenti mengomel.”

“Hahaa … kau benar. Jangan menjadi seperti Kakek. Uhm … jadi, apa yang akan kau lakukan setelah sarapan?”

“Oh, Tuhan. Kau pasti lupa lagi, Kakek. Bukankah sudah kukatakan tentang Andromeda?”

“Oh! Memangnya itu hari ini?”

“Benar. Aku akan pergi naik kereta bawah tanah pagi ini untuk menukarkan tiket.”

“Sepagi ini? Apakah stadium sudah buka di jam tujuh?”

“Kakek … kau sungguh tidak mengerti. Saat penukaran tiket adalah waktunya perang merchandise. Mereka mengeluarkan edisi terbatas. Bagaimana mungkin aku melewatkannya?”

“Huh? Lakukan sesukamu. Noah akan mengantarmu.”

“Tidak perlu. Bukankah Noah harus mengantar Kakek ke rumah sakit?”

“Kalau begitu naik taksi saja.”

“Oh, aku tidak ingin terjebak macet.”

Lihat selengkapnya