Outsider

Susanti
Chapter #19

Bagian 19 - Tom

Pagi hariku terasa lebih datar dibandingkan akhir pekan lainnya. Entah mengapa aku memutuskan untuk menghadiri makan malam di rumah Ayah di Kota Willow. Maksudku, sungguh menjengkelkan mendengar rengekan Hannah agar aku mengikuti kemauannya. Hanya saja, telah habis akalku kali ini untuk mencari alasan seperti akhir pekan sebelum-sebelumnya.

Kembali ke Kota Willow hanya membangkitkan kenanganku akan Poem. Menyadari bahwa aku tidak menemukannya di kota ini menumbuhkan keenggananku untuk berkunjung.

Mengisi kebosananku, kuayunkan kakiku dengan kecepatan sedang dari rumah Ayah ke taman terdekat. Tubuhku mulai berkeringat setelah empat atau lima putaran. Kuputuskan untuk kembali sebelum matahari pagi meninggi. Namun, keriuhan di sekitar lampu merah yang hendak kulewati mengusik benakku.

Pandanganku bergerak pada sebuah ambulans dan mobil polisi yang bergerak melambat ke lokasi. Kesimpulan dalam pengamatanku yang singkat ... sebuah kecelakaan telah terjadi. Kegaduhan dalam kerumunan itu menyalahkan si pengemudi. Saat bersiap meninggalkan lokasi, telingaku menangkap nama Gloria.

“Gloria! Bangunlah. Ambulans telah datang.”

Lututku lemas. Tidak yakin dengan apa yang baru saja kudengar. Tanpa berpikir panjang, langkahku melesat menerobos kerumunan. Menyingkirkan siapapun yang menghalangiku. Mulutku menggumam dalam kepanikan yang mulai menyerangku.

“Oh, tidak. Aku mohon … itu bukan kamu.”

Tubuhku membeku mendapati Gloria bersimpuh di tengah kerumunan. Benar. Dia adalah Gloriaku. Hatiku tersayat mendapati wajahnya yang memutih. Tubuhku gemetar saat pandanganku mengunci darah segar yang menyembur di sekitar lututnya.

Sesaat setelah berhasil menguasai diriku, kudapatkan Gloria dalam pelukanku. Langkahku bersiap meninggalkan lokasi. Namun, suara bocah lelaki yang menghalangiku sebelumnya sungguh menguji kesabaranku.

“Kau yang menabrak putriku, huh? Katakan siapa namamu.”

Bocah lelaki itu tampak tercekat begitu pandangan kami bertemu. Suaranya tergagap saat menjawabku.

“Ah! Hesa … Kato.”

“Hum ... pengacara dari Perusahaan Hideo akan datang ke rumahmu. Sebaiknya kau bersiap.”

Langkahku bergegas meninggalkan kerumunan yang kembali gaduh setelah ucapanku. Aku mengabaikan keriuhan yang terus berlanjut. Aku harap Gloria tidak terganggu atas ucapan mereka.

“Kau dengar? Dia mengatakan Hideo?”

“Aah, jika diperhatikan lagi ... itu memang dia. Putra tunggal Keluarga Hideo.”

"Aku tidak salah dengar, bukan? Maksudku ... dia mengatakan gadis itu adalah putrinya."

"Oh! Aku tidak menyangka keluarga Hideo memiliki cucu perempuan."

Butuh lebih dari lima menit bagiku hingga berhasil menjauhi kerumunan bersama Gloria di lenganku. Langkahku terus bergerak meskipun mulutku membisu. Kuhela napasku saat Gloria berhasil memecah keheningan di antara kami. Suaranya yang terbata justru membuatku sedikit kesal.

“Aku baik-baik saja. Turunkan aku.”

“Diamlah.”

“Kau ... akan membawaku ke ... mana?”

“Rumah Ayah … ehm … maksudku, rumah ayahku hanya tiga blok dari sini. Kau lihat menara itu? Kita hampir sampai.”

Gloria kembali mengunci mulutnya. Tubuhnya yang masih gemetar membuat hatiku geram. Aku paham jika ketakutan dalam dirinya tak mudah disembunyikan. Ketakutan yang dia rasakan itu ... entah karena kecelakaan sebelumnya atau karena diriku. Satu hal yang pasti, dia kesulitan mencari alasan untuk kabur dariku.

Tidak butuh waktu lama untuk sampai di depan rumah ayahku. Dari sela-sela pintu gerbang, kulihat Spencer berada di dekat pintu rumah yang terbuka. Aku bisa saja berteriak memanggilnya. Namun, kuputuskan untuk meminta Gloria menekan bel di hadapan kami.

“Tolong tekan tombol itu untukku,”

Gloria menuruti perkataanku dalam diam. Aku masih tidak ingin menurunkan tubuh kecilnya dari pelukanku.

“Ini aku. Tolong buka pintunya.”

Kuayunkan langkahku melewati taman di halaman menuju pintu rumah segera setelah pintu gerbang terbuka secara otomatis. Kulihat Spencer berlari ke arahku. Wajahnya tampak membeku saat mendapati diriku membawa Gloria di kedua lenganku. Langkahnya terhenti sembari menatapku untuk beberapa saat.

“Pak Direktur, dia …?”

“Bawakan kotak obat ke kamarku. Dan, oh! Kau lihat toko pakaian di ujung jalan? Dapatkan semua ukuran small untuk putriku.”

“Huh?”

Sebelum mengulangi ucapanku, sorot mata tajamku mengunci pandangan Spencer. Lelaki itu bergegas menundukkan kepalanya sembari menjawabku.

“Saya mengerti. Saya akan meminta Liana untuk membawakan kotak obat ke kamar Anda.”

Lihat selengkapnya