Meskipun baru mengenal Gloria dalam hitungan jam, hatiku bergejolak tak karuan mendapati bekas luka di tubuhnya. Tuhan pasti menginginkanku merasakan sakit serupa untuk hukumanku atas sikap abaiku pada putriku. Aku tak mampu menolak perasaan asing itu.
Gloria tampak terperanjat mendapatiku menanyakan bekas luka yang dimilikinya. Kilau bola matanya yang serupa denganku terlihat bergetar. Kutarik tanganku dari sekitar kakinya dengan tergesa. Sembari terbata, mulutku berucap lirih.
“Oh! I’m ... sorry. Did I scare you?”
Gadisku menggeleng perlahan. Terlihat memaksakan senyum tipisnya sebelum berucap. Matanya berkedip begitu cepat beriringan dengan ucapan dari mulutnya.
“Aku sering terluka saat masih di TK.”
Gloria beranjak bersamaan dengan mulutnya yang kembali berucap dengan canggung saat pandangan kami bertemu.
“Aku … akan mengganti pakaianku.”
Bibirku tersenyum simpul mendengar ucapan putriku. Langkah kecilnya meninggalkanku di sofa tempat dia duduk sebelumnya. Aku berucap perlahan sembari tidak melepaskan pandanganku mengikuti langkahnya yang menjauh.
“Hum … buat dirimu nyaman.”
Tak dapat kutahan senyum di bibirku mendapati Gloria yang mulai menuruti perkataanku. Sembari menunggunya berganti pakaian, aku terlarut dalam benakku. Bayangan akan berbagai kemungkinan buruk atas bekas luka yang kulihat di kedua kakinya sulit untuk kuenyahkan.
Sejauh pengetahuanku yang dangkal, guratan itu terlihat sebagai bekas jahitan yang cukup dalam. Aku yakin itu bukan luka sederhana.
"Brak!"
Suara pintu yang terdengar didorong paksa menyadarkanku dari lamunanku. Hannah muncul bersamaan dengan suara keras itu diikuti Spencer yang muncul dengan langkah kikuknya. Raut wajah kemarahan yang tak kumengerti dari Hannah membuatku bergeming meskipun dia mengungkapkan isi hatinya.
“Kau sungguh akan membawanya?”
Alih-alih menjawab Hannah, pandanganku terpaku pada pintu kamar mandi yang juga berisi wardrobe milikku. Aku lebih memilih untuk berucap pada Spencer yang hanya membisu.
“Bagaimana dengan reservasi MRI di Willow Hospital?”
“Ah, datanglah di waktu yang Anda minta sebelumnya, Pak Direktur.”
“Hum … siapkan mobil untukku.”
“Saya bisa menyetir untuk Anda.”
"Aku ingin melakukannya sendiri."
"Oh, baiklah. Segera saya siapkan."
“Tom, kau tidak menjawabku?”
Suara Hannah meninggi tepat setelah Spencer mengambil langkah mundur menuju pintu kamarku. Dia pasti menyadari bahwa aku mengabaikannya. Bola mataku berputar menghadapi sikapnya.
“Hentikan sikap konyolmu, Hannah. Bukankah jawabanku sudah jelas? Aku tidak akan menjadikanmu sebagai istriku. Kau sudah menyetujuinya tadi malam di hadapan ayahku. Berapa kali harus aku katakan, huh? Tidak ada yang dapat menggantikan Poem di hatiku.”
Bersamaan dengan tatapan dinginnya, Hannah kembali meninggalkan kamarku tanpa berucap. Aku menghela napas karenanya.
Tubuhku beranjak dan mendekat pada pintu di mana Gloria berada di dalamnya. Kuharap dia tidak mendengar ucapanku pada Hannah. Rasa gelisah ini menjadikan perutku mual. Entah karena khawatir Gloria mendengarku atau … karena dia tak kunjung keluar. Tenggorokanku seolah tercekat saat kuberanikan diri mengetuk pintu di hadapanku.
“Gloria, kau butuh bantuan?”
“What? No!”
Suara Gloria yang meninggi dari balik pintu membuatku tersenyum lega. Tidak butuh waktu lama setelahnya, dia muncul dari balik pintu. Mulutku berucap sembari tersenyum kecil.
“See? It looks so good on you, hum?”
Gloria tidak menjawabku. Dia hanya menggerakkan jemarinya pada rambutnya yang terurai. Tanpa kusadari tanganku turut meraih rambutnya. Membelainya perlahan. Menyelipkannya dengan jemariku ke belakang telinganya. Bibirku tersenyum saat dia tidak menolakku. Pandangannya yang terus tertunduk membuatku tertawa geli.
"Tomo!"
Suara Ibu yang melengking menurunkanku dari langit ke tujuh. Sedikit menggerutu, kuturunkan jemariku dari rambut Gloria. Tubuhku menoleh pada sumber suara di dekat pintu kamarku.
“Tomo! Oh, Tuhan, kudengar kau membawa cucuku?”
Ibu tergopoh mendekat padaku dan Gloria begitu berhasil memasuki kamarku. Ayah yang muncul tidak kalah cepat di belakangnya bergerak tanpa suara. Langkah mereka terhenti mendapati Gloria yang justru mendekat di balik punggungku.
Perlahan Ibu terisak sembari menelungkupkan telapak tangannya ke separuh wajahnya. Sementara itu, Ayah masih tak bersuara meskipun matanya terlihat berkaca-kaca. Saat Ibu mulai berucap, Ayah meraih kedua bahunya. Menepuknya perlahan sembari menempelkan kepalanya di ujung kepala Ibu.
“Oh, look at you, cutie pie. She is ... just like you so much, Tomo.”
Gloria membisu di balik punggungku. Hanya kepalanya yang muncul di balik tubuh besarku. Saat Ayah bersuara, kurasakan jemari kecilnya mencengkeram erat punggung bajuku.
“How could you resemble your dad this much, Nona Kecil?”
Mendapati sikap Gloria, kuberanikan diri untuk meraih lengannya. Menggenggam jemarinya dengan lembut. Gadisku menatapku dengan ragu. Saat aku tersenyum padanya sambil berucap, dia mulai menatap orang tuaku bergantian.