Outsider

Susanti
Chapter #21

Bagian 21 - Gloria

Terlepas kehadiran June yang lebih intens akhir-akhir ini, aku tetap tak mampu menyingkirkan keegoisanku. Begitulah adanya. Aku lebih menginginkan kehadiran Tom. Terlebih, setelah pertemuan kami di kantor polisi beberapa waktu lalu. Sungguh memalukan harus bertemu dengannya dalam keadaanku yang … jauh dari kata sempurna.

Semenjak hari itu, aku berusaha menjalani hariku dengan penuh kehati-hatian. Terutama saat menyelesaikan tugasku di pameran yang diadakan EsconderW. Alasannya? Oh, jelas sekali. Tom adalah pemilik perusahaan itu. Aku tidak ingin kami bertemu kembali bersamaan dengan kekonyolanku.

Hari demi hari yang kulalui di pameran meninggikan asaku. Keegoisanku. Maksudku, bertemu kembali dengan Tom seharusnya membuatku lebih bahagia, bukan? Saat itulah keegoisanku bangkit.

Meskipun di tengah pameran yang sibuk, aku ingin Tom mendatangiku. Jika tidak demikian, mungkin dengan kemungkinan lain. Seperti ... dia datang saat para guru memuji kinerjaku. Saat mereka memuji nilai-nilai tertinggiku di sekolah. Atau saat mereka mengucapkan selamat atas kemenanganku di olimpiade terakhirku.

Urgh! Asa hanyalah asa. Hingga tugasku di pameran selama lima hari berakhir, tidak satupun dari asaku terwujud. Tidak ada pertemuan tak terduga yang kuimpikan. Tom tidak pernah menghampiriku. Aku juga tak pernah mendapati siluetnya berada di sekitarku.

Melupakan kekecewaanku akan Tom, di tengah pagiku yang sedikit tergesa kali ini justru membawa takdir yang sepertinya masih berpihak padaku. Mendengar suara lelaki itu mendekat menghampiriku, ingin rasanya aku berteriak. Memanggil namanya dengan linangan air mataku.

Saat kudapati Tom berhasil berdiri tegap di hadapanku, ingin sekali aku berucap padanya. Mengeluhkan tindakan konyol Melvina yang tak berhenti menyalahkanku. Mengadu atas sikap Hesa yang diliputi ketakutan setelah menabrakku meskipun lukaku tidak seberapa. Menangis sekencang-kencangnya saat dia meraih tubuhku dalam pelukannnya.

Kenyataannya, mulutku membisu. Jangankan mengadu, menatap Tom langsung melalui matanya saja aku tak sanggup. Oh, betapa ingin aku menenggelamkan diriku. Mengapa kami selalu bertemu dalam keadaanku yang begitu kacau?

Bagaimana pun juga ini adalah pertemuan dengan ayahku. Setelah kantor polisi, kini kami dipertemukan kembali karena kecelakaan konyol atas tindakan Hesa kuanggap tak mampu menyetir dengan benar.

Ah, benar sekali. Lebih mudah menyalahkan Hesa dibandingkan kebodohanku. Meskipun tanda lampu berjalan sudah hijau, tidak seharusnya aku berlari tanpa melihat kanan dan kiri.  

Pertemuan mendebarkan di rumah Tom membuatku tak mampu bernapas secara leluasa. Terlebih saat dia mendapati bekas luka lain yang kumiliki. Luka lama yang memenuhi telapak kakiku. Luka yang paling ingin aku kubur selamanya.

Benar sekali, luka fisik memang sembuh dengan mudah. Namun, luka batin yang mengikutinya tak akan mudah hilang. Seperti yang terjadi pada bekas luka di sekitar kakiku. Tak terhitung serpihan kaca yang menancap di sana sebelumnya. Aku menginjaknya saat mendapati June memeluk tubuh Ibu dengan mata terpejam. Kala itu, Ibu yang pucat dengan tubuh bersimbah darah berada dalam pelukan June.

Bekas jahitan di kakiku tidak hilang meskipun sepuluh tahun telah berlalu. Itu pula yang menjadikanku enggan mengenakan kaus kaki. Apapun alasannya. Aku lebih suka merasakan guratan keloid bekas jahitan aneh itu dalam kakiku. Berharap itu selalu mengingatkanku akan sikap June pada Ibu.

Di luar semua itu, pertemuanku dengan orang tua Tom, Tanaka dan Jenny, ternyata tidak begitu menakutkan. Meskipun wajah mereka tampak dingin di mataku, sikap mereka sungguh berkebalikan. Hatiku berdesir saat mereka menyebutku dengan kata “cucuku”.

Lebih dari apapun, yang paling membuat hatiku penuh adalah ketika Tom menyebutku sebagai “gadisku”. Hanya Ibu yang menyebutku demikian seumur hidupku. Mendengar Tom mengucapkannya tanpa ragu meninggikan asaku padanya.

Setelah urusan perkenalan keluarga selesai, urusan pemeriksaan tubuhku di Willow Hospital yang dijadwalkan Tom ternyata menghabiskan setengah hariku. Perutku keroncongan akibat melewatkan makan siang.

Kulihat waktu menunjuk hampir tepat di angka tiga. Kuhela napasku ketika mendengar ucapan dokter terkait pemeriksaanku. Berharap segera mendapatkan apapun untuk membuat perutku berhenti bernyanyi.

“Semuanya sudah selesai, Nona Kecil. Senang sekali melihat hasilnya baik-baik saja. Ayahmu pasti sangat mengkhawatirkanmu.”

Kulihat Tom tersenyum kecil padanya. Kerutan di sekitar dahinya perlahan memudar. Setelah mengucapkan terima kasih, kami undur diri tanpa basa basi. Masih menyembunyikan kelaparanku, aku megikuti langkah Tom dalam diam. Saat dia berucap, mataku berbinar. Namun, bergegas kusembunyikan emosiku itu rapat-rapat.

“Kau pasti lapar, bukan? Apa yang seharusnya kita makan, hum?”

Alih-alih menjawab Tom dengan benar, mulutku berpura-pura menggerutu. Aku berucap sembari menyandarkan kepalaku pada kaca jendela.

“Urgh! Aku tidak menyangka kau begitu pandai membuat orang kelaparan.”

“Umh … sorry. Pemeriksaan itu memakan waktu lebih lama dari dugaanku.”

“Ini sudah hampir jam tiga.”

“Aku tahu. Ayo putuskan apa yang ingin kau makan.”

“Aku terbiasa makan di rumah dengan Ibu.”

“Huh? Ibumu menunggu di rumah Tony? Ah maksudku kakekmu. Atau … dia menunggu di Kota Snow?”

“Paris.”

“Pa … ris?”

Tom terlihat mengangkat kedua alisnya sembari memiringkan kepalanya. Memelankan laju mobilnya. Aku mengiyakannya dengan cepat.

“Hum! Paris.”

Tampak kesal, Tom menatapku dingin. Tubuhku merinding karenanya. Bahkan suara beratnya yang khas kini terdengar menakutkan.

Lihat selengkapnya