Outsider

Susanti
Chapter #22

Bagian 22 - Gloria

Kemarahanku mungkin dapat membunuhku. Aku tak sanggup jika harus bertahan lebih lama lagi menghadapi Tom. Sebelum kemarahanku meledak tak terkendali, langkahku menjauhi Tom dan Jenny di restoran miliknya.

Tanpa menoleh kembali, tidak lagi aku pedulikan suara Jenny yang berteriak memanggil namaku. Pikiranku kini terpaku untuk bergegas mendapatkan taksi.

Le Costa Stadium, please,”

Hanya stadium tempat konser Andromeda yang terlintas di benakku. Itu terucap begitu saja pada sopir taksi saat aku berhasil duduk di dalamnya.

Sungguh bodoh aku mempercayai sikap Tom seharian ini. Hanya karena dia merawat luka yang berdarah di lututku, bukan berarti semua itu adalah ketulusannya. Aku meragukan keinginannya mendapatkan ibuku kembali. Apalagi menginginkanku. Sungguh tidak mungkin.

Entah apa yang memicu kemarahanku hingga memuncak tak terkendali pada Tom. Aku merasa bersalah pada Jenny yang seharusnya tidak berada di tengah kami. Mendengar mulut Tom yang mengatakannya dengan mudah tentang pertemuan kami pada ibuku adalah pengkhianatan. Meyakinkanku bahwa aku sungguh tak berarti di matanya.

Ibuku … pasti satu-satunya manusia bodoh yang jatuh cinta pada Tom bersama tatapan dinginnya. Bagaimana mungkin? Bahkan, kakekku, Tony Poem, selalu menatap Ibu jauh lebih dingin dari pria itu.

Tidak ingin aku menambahkan luka di hati ibuku. Kebodohanku membiarkan June mengikutinya hingga ke Paris sudahlah cukup menambah luka untuknya. Kini, mengetahui kebodohan lainku untuk menghabiskan waktu bersama Tom dan keluarganya tanpa sepengetahuan Ibu pastilah menambah luka lainnya.

Ponselku yang kembali berdering membuatku terperanjat. Sebelumnya panggilan Ibu telah aku abaikan. Kini aku tak bisa menghindarinya. Meskipun perasaan bersalahku semakin menumpuk padanya. Tanganku bergerak menyeka air mataku. Berusaha menguasai diriku.

“Gloria? Mengapa begitu lama mengangkat telepon Ibu, hum?”

“Ah, aku tidak mendengarnya.”

“Apa maksudmu? Kau pikir Ibu tidak tahu? Kau bahkan tidak mampu melepaskan ponselmu sedetik pun.”

“Hum … begitulah,”

“Apakah … terjadi sesuatu? Suaramu terdengar serak. Kau sakit?”

No,”

“Kau yakin?”

“Ehm … aku baik-baik saja, Ibu.”

“Tidak ada gunanya menyembunyikan sesuatu dari Ibu.”

Sorry … I am ... sorry,”

Tangisku pecah tanpa kusadari. Air mataku yang kutahan semampuku mengalir tanpa dapat kuhentikan.

“Oh, my glory. Gadisku … what happened?”

Mulutku mulai meracau begitu mendengar Ibu menyebut namaku dengan suara lembutnya yang menenangkan. Dalam isak tangisku yang tak kunjung berhenti, mulutku juga tak berhenti bicara.

I am sorry. Tidak seharusnya aku membiarkan June mengikuti Ibu ke Paris. Aku yang mengatakan padanya. Meskipun aku tahu Ibu tidak ingin bersamanya. Aku tetap mengatakan padanya. Maafkan aku,”

Isak tangisku kini terdengar lebih keras. Kurasakan hening menyelimuti ibuku di ujung telepon. Hanya tangisanku yang memenuhi percakapan kami. Butuh beberapa saat hingga suara Ibu yang tenang meredakan isak tangisku.

“Kau mengatakan padanya terkait pesawat yang Ibu tumpangi ke Paris?”

“Hum,”

“Juga waktu keberangkatan Ibu?”

“Hum,”

“Dan ... tempat Ibu tinggal selama di Paris?”

“Hum … dan tempat pameran.”

Ibu menghela napas di ujung telepon begitu aku menutup mulut.

“Ibu mengerti. Kami sudah membicarakannya. June setuju untuk tidak mengikuti Ibu seperti yang kau pikirkan.”

Aku terdiam untuk sesaat sebelum menanggapi Ibu kembali.

“Kau … tidak berbohong padaku?”

“Kau pernah mendapati Ibu berbohong padamu?”

Nope. Never,”

“Good. Are we good now?

Lihat selengkapnya