Outsider

Susanti
Chapter #23

Bagian 23 - Tom

Bukan rahasia lagi jika sikapku terlampau dingin pada orang-orang di sekitarku. Terlebih saat suasana hatiku memburuk. Tidak hanya pegawai di rumahku, bahkan pegawai di perusahaan yang aku kelola selalu mengeluhkan hal serupa.

Meskipun mengetahuinya, aku selalu mengabaikan mereka. Tidak ada gunanya bagiku memperhatikan perasaan mereka, bukan?

Sayang sekali, sikap abaiku yang selama ini terasa benar di mataku kini justru membunuhku. Sikap dinginku bersamaan dengan rasa tak acuhku ternyata dirasakan oleh Gloria. Meskipun, di mataku ... aku berusaha sekuat tenaga tidak bersikap demikian padanya.

Kepergian Gloria dari hadapanku mengosongkan seluruh isi kepalaku. Bukankah kami sudah cukup dekat? Maksudku ... kami menghabiskan waktu bersama. Kecanggungan di antara kami bahkan perlahan menghilang. Kenyataannya semua itu hanya terjadi dalam pandanganku.

Ibu kini terus mengomel padaku menghadapi sikapku yang dianggap tak paham situasi. Maksudku ... semua ini begitu baru untukku, bukan?

“Kau sungguh tidak mengejarnya? Dia telah pergi dengan taksi. Oh, Tuhan … aku tidak percaya kau membiarkannya pergi begitu saja. Haruskah aku menelepon Tony? Dia akan mengomel pada kita jika mengetahui apa yang kau lakukan.”

Aku tidak mengindahkan ocehan ibuku. Mataku terpaku pada piring milik Gloria yang masih utuh berisi slice pizza yang kuambil untuknya.

“Dia putrimu, Tomo. Tak dapat Ibu ungkapkan kebahagiaan Ibu pagi ini saat melihatnya. Tidak cukupkah kesedihanku saat kau merelakan Poem sebelumnya? Oh, aku tidak ingin kehilangan cucuku.”

Tanpa menatap Ibu, mulutku berucap diiringi suara gigiku yang bergemeletuk. Entah menahan kemarahanku pada Gloria atau pada diriku. Ini sungguh sulit kumengerti.

“Dia tidak akan pergi jauh. Aku akan mengunjungi Tony di rumahnya.”

“Huh? Kau yakin?”

“Hum.”

“Ibu akan menemanimu.”

“Urgh! Aku bukan anak kecil. Leave me alone,”

Sembari menggerutu, langkahku melesat meningalkan Ibu di restoran miliknya. Tanpa pikir panjang, aku mengarahkan mobilku menuju rumah Tony Poem. Aku yakin Gloria mengarah ke tempat kakeknya.

Tidak butuh lama untukku sampai di depan rumah Tony. Kurang dari 30 menit kugapai dengan kecepatan penuhku menyetir dalam kekalutanku. Saat mendapati pintu gerbang miliknya, tubuhku mematung. Pandanganku terpaku menatap pintu kokoh berornamen sentuhan gaya klasik yang khas di hadapanku.

Entah berapa kali aku keluar masuk pintu ini dengan mudah sebelumnya. Bahkan setelah tiga tahun pernikahan Poem dengan Keller. Aku tetap mendatangi rumah ini melalui gerbang yang kutatap saat ini. Meskipun perasaanku yang hancur belum kembali utuh sepenuhnya, Tony mengijinkanku melewati gerbang ini setelah ribuan permohonan dan penyesalanku.

Kini, berada di sini kembali ... bahkan setelah lebih dari satu dekade, justru menyusutkan keberanianku. Terlebih, saat ucapan Gloria kembali terngiang dalam benakku.

“Aku muncul di hadapanmu bahkan setelah hampir 17 tahun. Dan … kau mengatakan pertemuan kita dengan mudah di hadapan ibuku, huh? Tidakkah kau memikirkan perasaannya? Perasaanku …”

Kukepalkan jemariku lebih erat hingga menggertakkan gigiku. Kuhela napasku dari dadaku yang semakin sesak sembari menyandarkan kepalaku di kursi mobil.

“Bagaimana mungkin semua itu mudah bagiku, huh?”

Butuh beberapa saat hingga aku berhasil menguasai diriku. Memberanikan diri untuk menekan bel di hadapanku setelah turun dari mobil.

“Oh, Tom? Kaukah di sana?”

Suara Tony yang familiar terasa hangat di telingaku. Suaraku yang terbata menjawabnya dengan canggung. Lelaki itu bergegas membuka pintu untukku. Aku tidak menyangka beliau sendiri yang membukakan pintu untukku. Bukan Noah, sekretaris yang selalu mengikutinya.

“Halo, Tony. Apa kabarmu?”

“Hum … masuklah. Aku akan memanggil Noah untuk membawa mobilmu masuk. Akhir-akhir ini parkir di jalanan tidak cukup aman.”

Thanks, Tony.”

Tidak butuh waktu lama bagiku berhasil memasuki rumah Tony. Rumah yang tak pernah bosan aku kunjungi jauh sebelumnya.

Lihat selengkapnya