Outsider

Susanti
Chapter #24

Bagian 24 - Tom

Kecemasanku luntur. Itu terjadi di luar kendaliku saat putriku, Gloria, menyapaku dengan canggung di ruang tengah milik Tony. Terlepas dari kekhawatiranku akan kemarahannya padaku siang ini, aku positif dapat memperbaikinya.

“Dengarkan Kakek sebentar,”

Belum sempat beranjak, Tony kembali menghentikan Gloria. Kulihat gadisku memutar kedua bola matanya. Dia bahkan menghela napas layaknya orang dewasa. Aku tersenyum geli mendapati tingkahnya. Dia terlihat begitu menggemaskan.

“Umh ... Kakek dengar kalian sudah bertemu. Kakek tidak perlu mengenalkan kalian lagi, bukan?"

Gloria hanya melirik padaku saat Tony berucap sembari menatapku dengan senyumnya. Saat Tony kembali berucap, Gloria hanya menjawabnya dengan suara gontai.

"Mandilah dengan cepat. Kita akan makan malam bersama ayahmu.”

“Aku tidak lapar.”

Mendengar suara Gloria, Tony menaikkan suaranya sekitar setengah oktaf.

“Bagaimana mungkin kau tidak lapar, huh? Apa yang kau makan tadi siang?”

“Entahlah … pizza?”

Kali ini, Gloria menatapku. Entah apa yang ada di dalam benaknya. Mencari sekutu? Aku berucap dengan kikuk mendapati sikapnya.

“Ah! Gloria makan siang bersamaku siang ini.”

Tony tersenyum lebar saat mendengar ucapanku. Kedua alisnya terangkat tinggi saat dia menanggapiku.

“Oh, benarkah?”

“Hum … sayangnya dia tidak menyentuh pizza-nya sedikit pun.”

"Oh, Gloria,"

Ucapanku menuntun Tony menatap Gloria sembari menggelengkan kepalanya. Sementara itu, Gloria kembali memutar kedua bola matanya sembari melangkah menjauhi kami. Mulutnya yang menggerutu tidak diabaikan oleh Tony.

“Urgh! Kau sama menyebalkannya dengan Kakek.”

Dalam sekejap, tubuh Gloria terlihat lenyap di balik tembok di ujung ruang tengah. Mataku masih terpaku menatap kepergiannya untuk beberapa saat hingga Tony menyadarkanku.

“Dia akan kembali.”

Tony berucap tenang bersama senyumnya padaku. Aku tergagap mendapati lamunanku yang disadari olehnya. Meskipun sedikit ragu, mulutku berucap sembari mengunci pandangannya.

“Umh … boleh aku berbicara dengannya?”

Tony hanya menatapku. Mulutnya membisu. Jantungku berdegup kencang karenanya. Perasaan tidak nyaman yang berhasil kutepiskan muncul kembali tanpa aba-aba.

“Kami … mendapati kesalahpahaman siang ini. Aku tidak ingin menjadi berlarut.”

Berharap dapat meyakinkannya, aku menatap Tony sembari mengumpulkan sisa keberanianku. Lelaki itu menghela napas sebelum berucap.

“Hum … aku dan Winter memang walinya. Namun, kau adalah ayahnya. Bukan wewenangku untuk menghalangimu. Jika kau ingin berbicara dengannya, bahkan jika ingin memilikinya … semuanya terserah cucuku. Aku harap kau mengerti. Pendapatnya juga penting.”

“Aku akan mengingatnya, Ayah.”

“Hmm … itu bagus. Pergilah. Kamarnya bersebelahan dengan Winter. Makan malam kita bisa menunggu.”

Thank you,”

“Jangan sungkan, Tom. Kau adalah Ayah dari cucuku.”

Sembari tersenyum padanya, tubuhku beranjak dari sofa. Meninggalkan Tony di ruang tengah bersama TV yang menyala. Langkahku menjauh perlahan melewati lorong setelah ruang tengah. Pandanganku tertuju pada lantai dua di mana kamar Gloria berada.

Hatiku berdesir hanya karena menatap tangga yang familiar di hadapanku. Entah berapa kali aku melewati tangga ini sebelumnya. Saat mendapati pintu kamar Winter, langkahku terhenti. Tubuhku terpaku untuk beberapa alasan yang sulit kujelaskan. Maksudku, itu hanya pintu kayu berwarna putih kecoklatan. Bagaimana aku bisa begitu emosional menatapnya?

Semakin lama tubuhku terpaku pada pintu, perasaan tertusuk di jantungku semakin tak sanggup kutahan. Kini aku menyadarinya. Hanya dengan mendapati pintu kamar Winter, itu lebih dari cukup untuk mengingatkan perpisahanku dengannya. Napasku sedikit tersengal mendapati ingatanku akan ucapannya kala itu.

“Aku akan menikahi June bulan depan.”

Butuh beberapa saat untukku kembali menguasai tubuh dan jiwaku pada kewarasan. Dapat kurasakan jika jemariku bergerak perlahan. Melonggarkan kepalan erat yang turut membelenggu pikiranku.

Tubuhku melangkah menuju pintu kamar Gloria. Tenggorokanku tercekat mendapati pintu dengan warna serupa dengan kamar Winter. Sebelum keraguanku bertumbuh subur, kupaksakan diriku untuk mengetuk pintu.

“Gloria? Kau di dalam?”

Suaraku yang serak sepertinya tidak terdengar oleh Gloria dari dalam kamarnya. Ragu dalam diriku kini berganti dengan gusar. Kuulangi ketukan di pintu meskipun tanganku mulai gemetar. Suaraku sedikit meninggi kali ini.

“Gloria … bolehkah aku masuk?”

Lihat selengkapnya