Outsider

Susanti
Chapter #25

Bagian 25 - Poem

Suara putus asa itu ... tak pernah aku mendengarnya. Bagiku jika membicarakan Gloria, putriku yang kukenal selama ini ... dia selalu bersuara riang dan menggebu. Meskipun kadang terdengar terlampau ketus, tetapi itulah keunikan dirinya. Mendapatinya menangis tersedu menuntun pedih yang tak sanggup kuelakkan. Hatiku semakin tersayat saat menyadari bahwa dia bahkan tak sanggup menguasai napasnya saat berucap.

Mataku tak berhenti berlinang semenjak percakapan terakhirku dengan Gloria sore itu. Aku paham jika dia begitu mengkhawatirkanku. Namun, kata-kata yang keluar dari mulutnya sungguh di luar dugaanku.

“Apakah bermasalah jika aku tidak menyukainya? Maksudku … dia ayahku.”

Oh, Ibu macam apa yang sanggup menghalangi kebahagiaan putrinya? Terlebih, hanya untuk bertemu ayahnya. Bukankah itu terdengar begitu sepele? Benar sekali. Gloria begitu menginginkan Tom sejak pertama kali kusebut namanya di usianya yang ke tujuh. Itu terjadi begitu saja. Itu bahkan hanya beberapa saat setelah tanggal perceraianku dengan June.

Jika berani mengakuinya, aku memang selalu menutup mata. Jauh di dalam hatiku, aku belum siap bertemu Tom kembali. Entah saat itu atau saat ini. Aku benar-benar tidak pernah siap menghadapinya. Bertemu dengannya bersama Gloria? Oh, yang benar saja!

Hal tersulit bagiku bukan sekedar menghadapi kenyataan hidupku. Namun, memahami bahwa Gloria juga menyadari sikap abaiku. Meskipun demikian, aku selalu mengalihkan keinginan putriku untuk bertemu Tom. Oh, aku pasti dinobatkan sebagai Ibu terburuk di dunia.

Hanya sebatas nama “Tom” yang kuberikan pada putriku seumur hidupnya. Tidak ada foto maupun nama lengkapnya. Apalagi tempat dia tinggal. Sungguh tidak adil bagi putriku untuk menerima keegoisanku. Bahkan setelah mendengar Tom berkata atas pertemuannya dengan Gloria, aku tetap menutup mata. Berpura-pura bahwa itu akan berlalu dengan cepat.

Kali ini pun tidak jauh berbeda. Seolah melanjutkan percakapan bersambungku dengan Gloria beberapa jam sebelumnya, kini ucapan putriku kembali membuatku terpaku.

“Tom mendatangiku di rumah Kakek. Dia bahkan meminta maaf untukku dan … juga untukmu. Like … on behalf. Aku tidak menyangka di balik wajah dinginnya, sikapnya begitu hangat. Apakah dia selalu bersikap demikian, Ibu?"

Sembari mendengar celotehan putriku, aku menahan napas. Berusaha tetap tenang ... meskipun hatiku berdesir perih. Meskipun degup jantungku semakin kacau. Meskipun disforia dalam benakku hampir tak sanggup kukendalikan.

“Hmm … seperti itulah Tom."

Mulutku melontarkan apa pun seolah itu mampu menutupi kekalutanku. Terasa sedikit lega saat putriku kembali menanggapiku dengan cepat.

"Itu sungguh di luar dugaan. Maksudku ... dia terlihat sangat dingin dari luar."

"Ibu senang mendengarnya. Jadi … kau sudah memaafkannya?”

Pertanyaanku menyusupkan hening di tengah percakapan kami. Hanya helaan napas kami yang terdengar satu sama lain. Butuh beberapa saat hingga Gloria berucap menanggapiku. Keraguan kini terdengar dalam suaranya yang lirih.

“Umm … apakah itu bermasalah?”

Kuhempaskan napasku yang berat. Berharap itu sanggup melonggarkan dadaku yang semakin sesak.

No, darling. Lakukan apa pun sesuai kata hatimu. Ibu yakin kau dapat mengambil keputusan dengan bijak.”

Entah mendapatkan keyakinan dari mana hingga aku sanggup berkata demikian. Berharap itu sanggup menutupi rasa bersalahku pada Gloria atas sikapku selama ini. Meskipun ... mungkin hanya sedikit.

“Uhm …terima kasih, Ibu. Aku yakin kau tidak sepenuhnya percaya padaku. Namun, aku yakin dengan sikapku.”

"Itu bagus sekali, Gloria. Ibu senang mendengarnya."

Hari-hari berikutnya, Gloria kembali membanggakan Tom melalui percakapan kami di telepon. Itu berlanjut seolah tak ada ujungnya. Bahkan hingga dua hari sebelum kepulanganku dari Paris.

“Aku tidak sanggup membayangkan apa jadinya hidupku tanpa Tom waktu itu, Ibu. Bayangkan! Semua mata tertuju padaku. Sementara aku terduduk di aspal yang panas. Bajuku kusut penuh debu. Legging-ku robek. Namun, Tom mendatangiku tanpa ragu. Dia menggendongku dalam lengannya. Dia bahkan membuat Hesa dan Melvina bungkam. Ibu bisa membayangkannya, bukan?”

“Pasti menyenangkan untukmu. Seseorang menyelamatkanmu.”

“Tentu saja, Ibu. Dan oh, bolehkah aku menginap di rumah Tom?”

Jantungku hampir melompat mendengar ucapan putriku. Tidak pernah tebersit dalam benakku bahwa Tom akan membawa putriku secepat ini. Sembari terbata, aku mengulangi ucapannya.

“Oh, menginap di rumahnya? Tom memintamu?”

“Hum … lebih tepatnya di rumah orang tuanya. Rumah Kakek dan Nenek ... Hideo. Begitulah yang dia katakan di telepon sebelumnya. Itu ... hanya kemungkinan. Belum diputuskan sepenuhnya.”

“Hmm … seperti itu rupanya. Kau … menginginkannya?”

“Sepertinya … begitu. Kakek dan Nenek Hideo terlihat begitu baik padaku. Kali ini ... aku dengar beliau bahkan mempersiapkan kamar khusus penuh Andromeda untukku. Aku tak sabar ingin melihatnya.”

Lihat selengkapnya