Langit berwarna zamrud membentang sejauh mata memandang. Dua matahari menggantung di cakrawala, satu berwarna emas, satunya lagi merah darah. Awan-awan perak mengambang malas di antara menara-menara raksasa yang tumbuh dari tanah seperti tulang belulang naga purba yang tertancap di bumi.
Di kejauhan, terlihat padang rumput luas yang bertransisi ke hutan belantara yang gelap dan berbahaya, di mana suara-suara aneh berkumandang—jeritan makhluk buas yang bahkan belum punya nama dalam bahasa manusia. Dunia ini bukanlah Bumi. Dunia ini… Altaria.
Sebuah dunia yang dibentuk oleh sihir, dililit takdir, dan diselimuti peperangan abadi antara umat manusia, ras iblis, dan makhluk-makhluk purba dari zaman sebelum sejarah. Tempat di mana pedang dan mantra berjalan beriringan, di mana nama besar lebih berarti daripada kebenaran, dan kematian adalah sahabat yang selalu menunggu di tikungan.
Di dunia inilah, legenda baru akan dimulai.
Suara desir angin.
Lalu kesunyian.
Dan kemudian… napas.
Seseorang—atau sesuatu—bernapas perlahan di tengah padang bayangan yang sunyi. Cahaya dari kedua matahari nyaris tak mampu menembus kabut pekat yang menyelimuti tempat ini. Di tengah kehampaan, sebuah tubuh perlahan terangkat dari tanah seperti terlahir dari dalam kegelapan itu sendiri.
Bukan tubuh manusia biasa.
Kulitnya bukan kulit—tubuhnya seperti terbuat dari bayangan cair, mengalir perlahan namun mempertahankan bentuk. Tak ada wajah. Tak ada mata. Tak ada mulut. Namun makhluk itu tetap bernapas, seolah kehidupan itu sendiri telah dipaksa masuk ke dalam tubuh yang tak pernah dimaksudkan untuk hidup.
Ia mengenakan armor hitam kelam yang tampak menyatu dengan tubuhnya, berdesain seperti cangkang binatang buas. Ujung-ujungnya tajam, bersinar samar dengan cahaya merah yang berdenyut… seperti detak jantung.
Dan di sisi tubuhnya, tertancap sebuah pedang.
Jyuken—Pedang Kutukan.
Gagangnya dililit rantai yang berdenyut seperti nadi, dan bilahnya dipenuhi simbol-simbol kuno yang berkedip pelan. Ia seolah... hidup. Bahkan saat itu, bilahnya berbisik—atau mungkin menggeram—seakan tak sabar mencicipi jiwa berikutnya.
Makhluk itu mengangkat kepalanya. Tak ada wajah untuk menunjukkan ekspresi, tapi atmosfer di sekitarnya langsung berubah. Udara menjadi berat. Bayangan di tanah menggeliat seperti makhluk hidup. Burung-burung di kejauhan terbang menjauh dengan jeritan panik.
Makhluk itu berdiri sepenuhnya. Lalu... berbicara.
Namun tidak lewat mulut. Suara itu terdengar langsung di dalam kepala.
“…Di mana ini?”
Diam.
“Apa aku… masih hidup?”
Gema suara itu seperti merambat melalui dimensi lain. Berat. Kosong. Namun penuh… kesedihan.
“…Siapa aku?”
Lalu suara lain menjawab. Bukan dari luar, tapi dari dalam dirinya.
"Kau telah mati. Dunia lama telah menghapus namamu. Tapi dunia baru... telah memberimu wujud. Sebagai yang tidak berwajah. Sebagai… Faceless."
Dalam sekejap, ingatan mengalir masuk. Potongan-potongan memori dari kehidupan sebelumnya. Seorang pemuda—di tengah malam, kecelakaan, suara klakson, lalu gelap. Ia tak bisa mengingat wajahnya, namanya, bahkan hidupnya sendiri. Semuanya telah… menguap.
Namun satu hal tersisa. Sebuah perasaan tajam seperti duri yang tertancap di dada: rasa hampa.
Ia ingin tahu kenapa dirinya masih ada.
Untuk apa ia dibangkitkan?
Dan… siapa yang melakukannya?
Dalam hening itu, tubuhnya merespons. Ia mengulurkan tangan—dari balik armor itu muncul bayangan pekat yang mengalir, membentuk bilah, lalu menghilang lagi ke dalam tubuhnya. Kemampuannya terasa… alami. Seolah ia sudah menggunakannya seumur hidup. Seolah… tubuh ini memang dirinya.
Teleportasi bayangan. Penyerap jiwa. Transformasi emosi.
Nama kemampuan itu muncul begitu saja dalam benaknya. Seperti data yang sudah di-install sebelum ia sadar.
Dan kemudian... suara samar dari kejauhan.
Jeritan?
Tidak. Teriakan seseorang. Seorang gadis.
Tubuhnya bereaksi sendiri. Kakinya melangkah cepat, tanpa suara. Seolah bayangan itu sendiri membawanya pergi. Seolah dunia ini… baru saja memanggilnya ke dalam takdir yang belum ia pahami.
Dan begitulah… makhluk tanpa wajah itu mulai bergerak.
Di dunia yang tak dikenalnya.
Dengan kekuatan yang belum ia mengerti.
Dan nama yang akan segera diberikan oleh mereka yang menyaksikannya—
Kurogane.
Langkah kakinya nyaris tak bersuara saat ia menyusuri hutan mati itu.
Pohon-pohon tinggi menjulang seperti arwah yang membatu, daunnya menghitam, rantingnya bengkok seperti tangan yang memohon belas kasihan. Tak ada nyanyian burung, tak ada desir hembusan angin. Hanya suara samar ranting patah di bawah pijakan bayangan yang menyaru sebagai manusia.
Kurogane berjalan tanpa arah pasti, tapi anehnya… tidak tersesat. Bayangan di bawah kakinya terkadang merambat lebih cepat, membimbingnya, seolah tahu ke mana ia harus melangkah. Atau mungkin, pedang kutuk di pinggangnya diam-diam menunjukkan jalan tanpa suara.
Dan lalu, di balik kabut yang mulai menipis… sebuah pantulan cahaya.
Air.
Laut.
Kurogane berdiri di tepi tebing, memandang ke arah kota kecil yang terhampar di bawah sana, berdiri anggun di tepian pantai. Kota itu dikelilingi tembok batu dan menara penjaga, tapi terlihat cukup terbuka bagi para pendatang. Kapal-kapal dagang kecil bersandar di pelabuhan, dan aroma asin air laut terbawa oleh angin ke hidung...—atau lebih tepatnya, ke sensasi inderanya.
Ia mengamati keramaian di gerbang utama. Orang-orang masuk dan keluar. Beberapa berpakaian lusuh seperti petualang. Beberapa lain membawa kereta, hewan, atau anak-anak. Kota ini… hidup.
“Mungkin di sana... aku bisa mendapatkan jawaban.”
Ia turun perlahan ke jalan utama dan ikut bergabung dengan kerumunan yang mengular ke arah gerbang. Beberapa menoleh karena postur dan aura Kurogane yang aneh—tinggi, berbalut armor hitam seperti kesatria dari zaman perang kuno. Tapi tak ada yang berani bertanya.
Manusia punya insting untuk tidak menggali terlalu dalam apa yang tidak mereka pahami.
Saat akhirnya gilirannya tiba di depan gerbang, dua penjaga bersenjata tombak menahan tangan.
“Berhenti di situ, pendatang,” kata salah satu. “Nama dan tujuanmu?”
Kurogane menunduk sedikit, menjaga nada suaranya tetap dalam dan tenang.
“Namaku Kurogane. Aku… berasal dari wilayah jauh. Tempat yang… tidak terjangkau oleh kerajaan atau jalan utama.”
Penjaga itu menaikkan alis. “Kau tak membawa surat jalan atau tanda identitas?”
“Tidak,” jawab Kurogane jujur. “Tempat asalku tidak memiliki hal seperti itu.”
Penjaga lain menatapnya beberapa detik, mungkin mencari tanda-tanda kebohongan. Tapi melihat penampilannya yang seakan lebih cocok jadi karakter legenda ketimbang kriminal, mereka akhirnya saling berpandangan dan mengangguk pelan.
“Kalau begitu, ikuti saran kami,” kata salah satu. “Pergilah ke Guild Petualang. Di sana kau bisa mendaftar dan mendapatkan kartu identitas sementara. Tanpa itu, kau takkan bisa menginap di penginapan, berdagang, atau bahkan membeli roti dari pasar.”
Kurogane mengangguk singkat. “Terima kasih atas sarannya.”
Penjaga memberi isyarat dan gerbang dibuka. Roda-roda kereta berderit di tanah berbatu saat ia melangkah melewati batas kota. Rasanya seperti melewati perbatasan tak terlihat—dari dunia buas menuju sisa-sisa peradaban.
Kota ini tidak besar, tapi cukup padat. Jalan utama dihiasi kios-kios sederhana, suara penjual roti, pandai besi yang mengetuk logam, dan anak-anak yang berlarian membawa tongkat kayu seolah mereka adalah pahlawan. Wajah-wajah lelah namun hidup… sesuatu yang terasa asing namun menyenangkan bagi seseorang yang baru kembali dari kematian.
Kurogane menyusuri jalan hingga akhirnya menemukan bangunan batu berlogo dua pedang bersilang. Sebuah papan kayu besar tergantung di atas pintu:
Guild Petualang – Cabang Pelabuhan Windmere.
Ia membuka pintu dan masuk.
Suara percakapan segera menghantam telinganya—tertawa, bersulang, debat keras, dan satu atau dua suara mengumpat. Ruangan itu dipenuhi petualang berbagai bentuk dan ukuran: manusia, beastkin, dwarf. Beberapa duduk sambil berjudi, lainnya berdiri di depan papan misi, memilih kontrak yang tertempel.
Tapi perhatian mereka segera teralihkan.
Saat sesosok makhluk tinggi berarmor hitam masuk ke dalam guild dan berjalan lurus ke meja resepsionis, suara gaduh itu perlahan menurun, hingga yang terdengar hanya suara langkahnya yang berat dan ritmis.
Langkah-langkah berat Kurogane menggema di lantai batu marmer Guild Cabang Windmere. Semua mata yang tadi riuh kini memperhatikannya dengan campuran rasa takut, kagum, dan bingung.
Ia berhenti di depan meja resepsionis.
Sosok di balik meja—seorang wanita muda dengan rambut keriting merah dan mata hijau lembut—berusaha mempertahankan senyumnya meski wajahnya sedikit pucat. Tangannya bergerak gugup merapikan tumpukan kertas, meski tidak ada yang berantakan sejak awal.
Makhluk itu... bukan manusia.
Tapi juga bukan monster.
Sosok berjubah dan berzirah gelap di hadapannya memiliki aura yang terasa seperti kekosongan itu sendiri. Wajahnya tak ada, hanya bayangan pekat dengan dua cahaya putih menyala dari kedalaman kegelapan. Seolah helm dan armor itu tumbuh dari tubuhnya, bukan dikenakan.
Namun ia bicara.
“Aku ingin mendaftar sebagai seorang Adventurer.”
Suara itu dalam, berat, seperti gema dari dasar gua purba.
Resepsionis itu menelan ludahnya pelan sebelum akhirnya menarik napas dan tersenyum profesional. Dia pelanggan. Dia hanya calon adventurer... bukan entitas terkutuk dari neraka. Semua baik-baik saja.
“Baik, Tuan… Kurogane, ya?” tanyanya sambil mengambil beberapa lembar formulir dari laci. “Silakan isi dokumen ini untuk pendaftaran awal. Kami butuh data seperti nama, usia (jika diketahui), asal daerah, dan kemampuan dasar.”
Kurogane menerima kertas itu dengan tangannya yang bersarung gelap, duduk di salah satu bangku kosong dekat meja. Petualang lain menjauh diam-diam. Tak satu pun ingin duduk di dekatnya.
Ia menatap lembaran itu.
Tulisan di atasnya tampak seperti simbol asing—lengkungan, guratan tajam, dan karakter-karakter melingkar yang tidak dikenalnya. Dunia ini memakai alfabet berbeda dari Jepang. Ia sempat berpikir untuk menyerah.
Tapi kemudian, huruf-huruf itu bergerak.
Simbol-simbol aneh itu melesat, saling bertukar tempat, lalu berubah perlahan menjadi huruf Jepang… lalu ke bahasa yang benar-benar ia pahami. Seolah ada lensa tak terlihat yang mengurai semua kata di hadapannya. Ia menajamkan pandangannya. Sebuah ikon samar bersinar merah di pojok pandangannya, seperti simbol sistem dari dalam pikirannya.
“Auto-Translate Active – Skill: ‘Universal Comprehension’”
“…Jadi ini salah satu kemampuanku?” gumam Kurogane pelan.
Tak ingin membuang waktu, ia mulai menulis. Tangan besarnya bergerak dengan kecepatan mantap.
Nama: Kurogane
Jenis kelamin: Tidak diketahui
Usia: Tidak diketahui dengan pasti
Ras: Faceless
Asal: Daerah terpencil
Kemampuan: Shadow Manipulation, Curse Blade Control, Enhanced Physical Strength, Unknown Limit
Resepsionis melirik dokumen yang sedang ia isi—dan matanya membelalak pelan saat melihat tulisan yang terbentuk.
Tulisan itu… berubah otomatis menjadi bahasa umum dunia ini.
“E–Etto… terima kasih sudah mengisi datanya,” ucapnya sambil mencoba tersenyum. “Saya akan mulai memprosesnya, tapi izinkan saya menjelaskan sedikit tentang sistem Guild kami.”
Kurogane mengangguk diam. Ia tidak banyak bicara—hanya mendengar dengan tenang, matanya yang menyala di balik bayangan seperti obor kecil yang menyimak dengan intens.
“Jadi begini,” lanjut sang resepsionis, berusaha menjaga intonasinya tetap normal. “Setiap petualang akan diberi peringkat berdasarkan hasil penilaian awal. Biasanya dimulai dari Rank F, dan akan meningkat sesuai kontribusi, penyelesaian misi, dan tentu saja… laporan performa.”
Ia melirik pria berarmor hitam di depannya lagi. “Kami juga memiliki sistem penalti bagi petualang yang menyalahgunakan kekuatannya, jadi tolong… hindari kekacauan, ya?”
Tak ada respons verbal. Tapi Kurogane mengangguk lagi.
“Aku tidak berniat menimbulkan masalah. Selama tidak ada yang mengusikku.”
Suasana mendadak dingin.
Resepsionis itu sedikit kaget, lalu tertawa kecil yang agak kaku. “Ahaha… yah, tentu saja…”
Selesai mengisi dokumen, Kurogane menyerahkannya kembali. Wanita itu memeriksanya cepat dan menyerahkan satu benda logam bundar kecil berbentuk kristal biru ke dalam tangan Kurogane.
“Ini adalah orb evaluasi. Silakan pegang dan lepaskan sebagian kecil kekuatanmu ke dalamnya. Guild akan menilai potensi awalmu.”
Kurogane menatap orb itu. Ia merasakan getaran samar dari dalam bola kristal itu—sebuah mekanisme magis yang tampaknya bisa merespons energi. Ia menyalurkan sedikit dari kekuatan bayangannya ke dalam orb.
Dan… CRACK.
Orb itu tidak hanya menyala. Ia bergetar, lalu retak.
Retakan halus menjalar dari pusat orb seperti es yang diinjak—cahaya hitam dan merah menyala dari dalamnya sebelum kristal itu mati dengan suara "klik" aneh.
Ruangan menjadi hening total.
“Uh… itu… belum pernah terjadi sebelumnya.” Resepsionis itu mematung. Tangannya gemetar. Petualang lain mulai berbisik. Beberapa mundur pelan.
Kurogane hanya menatap orb yang kini mati di telapak tangannya.
“Apakah aku… terlalu berlebihan?”
Kurogane menatap orb retak itu sejenak, sebelum dengan hati-hati meletakkannya kembali ke atas meja.
“Maaf. Aku tidak berniat merusaknya.”
Suara beratnya terdengar tulus, namun tetap menghantui. Petualang-petualang lain menatapnya seolah ia baru saja memecahkan artefak suci.
Resepsionis itu berusaha tersenyum, meski jelas ragu apakah ia harus menyalahkan, memaafkan, atau kabur saja.
“U-Uhm… i-i-itu tidak apa-apa, tapi… saya rasa kami perlu mengganti orb baru untuk penilaian.”
Kurogane mengangguk pelan.
“Ambil saja dari pembayaran misi pertamaku. Anggap sebagai kompensasi.”
Ia mengatakannya tenang, tanpa ragu sedikit pun. Suatu bentuk tanggung jawab yang jarang terlihat di antara para petualang pemula.
Namun, sebelum sang resepsionis bisa menjawab, terdengar suara berat yang membawa kehangatan aneh—seperti kombinasi seorang paman tukang roti dan veteran medan perang.
“Tidak perlu segitunya, Nak. Orb itu memang udah waktunya pensiun.”
Seketika, Kurogane membalikkan badan. Beberapa petualang lain yang mengenal suara itu langsung menegakkan punggung, sebagian bahkan reflek berdiri.
Sosok pria paruh baya dengan jas panjang cokelat tua dan rambut perak yang sedikit acak masuk dari arah tangga belakang. Senyumnya lebar, matanya menyipit ramah—namun aura yang keluar darinya tidak bisa dibohongi. Ia seperti lautan yang tenang, tapi dalam dan mematikan.
Pria itu berjalan santai menuju meja utama, lalu menepuk bahu sang resepsionis ringan.
“Ambil orb baru dari gudang, ya. Pakai yang model terbaru, bukan yang ‘warisan jaman naga’ itu.”
Resepsionis itu mengangguk cepat dan segera pergi, bersyukur bisa kabur dari suasana tegang.
Kurogane menatap pria itu dengan penuh waspada. Bukan karena takut—tapi karena pria ini... berbeda.
“Kau Guild Master?”
“Benar. Namaku Raven. Tapi semua orang di sini manggil aku ‘Pak Raven’ biar lebih gampang. Dan kamu… pasti Kurogane, ya?” ujarnya sembari tersenyum lebar, lalu menjulurkan tangan.
Kurogane tidak langsung menyambutnya. Tapi akhirnya, setelah dua detik yang terasa sangat lama… ia mengangkat tangannya perlahan dan menjabat. Singkat. Tegas.
Pak Raven tertawa kecil. “Kuat juga cengkeramanmu. Nggak heran orb itu nyerah.”
“Kenapa kau tak memarahiku?” tanya Kurogane datar.
“Karena kamu gak salah. Lagian orb itu udah tua. Mungkin udah bosen hidup. Kamu cuma bantu percepat takdir,” jawabnya santai, lalu duduk di kursi kosong yang ada di dekat meja. Ia mengambil cangkir teh yang entah darimana munculnya, dan menyesapnya pelan.
“Ngomong-ngomong…” Raven mengeluarkan kartu Guild dari dalam sakunya, lalu meletakkannya di atas meja. “Lihat ini.”
Kurogane menunduk. Kartu itu terlihat seperti miliknya—bahan kristal transparan berbingkai perak. Tapi ada satu detail yang membuatnya terdiam.
Pada kolom ‘Race’ tertulis:
【Faceless】
Matanya yang bersinar redup membelalak sedikit.
Raven menyesap tehnya lagi, lalu melirik Kurogane.
“Kau juga, ‘kan?”
Kurogane tak langsung menjawab.
“Tenang aja. Aku nggak minta bukti atau pengakuan. Dunia ini udah cukup ribet tanpa harus ngejar-nguber asal-usul setiap ras misterius. Tapi jujur aja… aku udah lama gak lihat Faceless lain. Ras kalian itu udah kayak dongeng. Dianggap mitos. Hilang sejak zaman perang kuno,” jelas Raven dengan nada datar, tapi terasa dalam.
Kurogane hanya menatap kartu itu lama.
Ia bukan Faceless… bukan sepenuhnya. Ia hanya memakai tubuh ini. Sebuah bentuk “lahir ulang” yang dipaksakan oleh dunia ini—entah oleh takdir, entitas tak dikenal, atau bahkan kutukan yang belum sepenuhnya ia pahami.
“Tubuh ini… bukan milikku yang asli,” gumamnya dalam hati.
Namun ia tidak mengatakan apapun. Hanya berdiri diam, seperti bayangan yang menyesuaikan bentuk dengan cahaya ruangan.
Raven sepertinya mengerti. Ia tidak mendesak.
Sebaliknya, ia hanya berdiri, menepuk punggung Kurogane dengan tangan yang hangat namun kuat. “Terlepas dari apapun asalmu… kau sekarang bagian dari Guild ini. Dan sebagai Guild Master, aku ucapkan: selamat datang di Windmere, Kurogane.”
Kurogane menatap pria itu. Untuk sesaat, dunia terasa sedikit… lebih tidak asing.
Tak lama setelah percakapan singkat itu, sang resepsionis kembali dengan tergesa. Di tangannya, sebuah orb baru yang lebih ramping dan modern—bagian tengahnya bersinar biru muda dengan pola sihir yang tampak aktif.
“M-maaf telah membuat kalian menunggu. Ini orb barunya.”
Raven mengangguk santai. “Sip. Yuk, kita ulangi proses penilaiannya.”
Kurogane kembali meletakkan telapak tangannya ke atas orb. Kali ini, orb itu bergetar pelan—tapi tidak pecah. Cahaya biru menyebar, lalu perlahan membentuk visual holografik kecil di udara.
Nama: Kurogane
Ras: Faceless
Kelas: Tidak Dikenal
Afiliasi Sihir: Gelap / Bayangan
Level Awal: -
Catatan: Kekuatan tidak dapat diklasifikasikan. Status manual approval.
Resepsionis itu menelan ludah. Raven hanya menyipitkan mata, lalu tertawa pelan.
“Heh. Bahkan orb barunya pun masih bingung mau masukin kamu ke kategori mana.”
Kurogane hanya berdiri diam, tubuh gelapnya nyaris tak bergerak. Orb itu padam, dan informasi langsung dikunci ke dalam sistem Guild. Tak lama, resepsionis menyerahkan sebuah kartu transparan berbingkai obsidian.
“Dengan ini… pendaftaranmu sebagai petualang resmi selesai. Selamat datang, Kurogane-san.”
Kurogane menerima kartu itu, menggenggamnya erat. Suatu simbol resmi… untuk eksistensi yang tak resmi. Ironis, tapi setidaknya itu awal.
Raven menyandarkan tubuhnya ke meja, ekspresinya berubah sedikit serius.
“Ngomong-ngomong, kau mau langsung kerja?”
Kurogane mengangguk.
“Semakin cepat, semakin baik.”
“Bagus. Kebetulan banget…” Raven berjalan ke rak misi dan mengambil satu lembar kertas bergambar peta. “Ada satu misi eksplorasi dungeon. Sederhana… kalau segalanya berjalan normal. Tapi sayangnya—enggak.”
Ia meletakkan peta itu di meja, menunjukkan sebuah lokasi bertanda merah di tengah hutan utara—sekitar dua jam dari kota.
“Kami mengirim satu party ke sana dua hari lalu. Seharusnya mereka sudah kembali semalam… tapi sampai sekarang gak ada kabar. Tidak ada sinyal sihir, tidak ada komunikasi. Entah mereka tersesat, terperangkap, atau lebih buruk…”
Kurogane menatap peta itu sejenak. Titik merah di peta seperti luka yang menganga—menunggu seseorang untuk menyelamatkan, atau terkubur di dalamnya.
“Apa kau ingin aku menyusul mereka?”
“Bukan cuma menyusul,” jawab Raven. “Aku ingin kau masuk dan cari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kalau masih bisa diselamatkan, selamatkan. Kalau tidak… beri kami kepastian. Dungeon itu belum masuk daftar yang berbahaya. Tapi mungkin… kami salah menilainya.”
Kurogane tidak bertanya lebih lanjut. Ia tahu tipe pekerjaan ini—misi yang ‘terlihat sederhana’ tapi punya risiko nyata. Sangat cocok untuk seorang yang tidak punya banyak yang bisa hilang.
“Aku akan berangkat sekarang.”
Raven tampak agak terkejut. “Tak butuh persiapan?”
“Tubuh ini… selalu siap.”
Raven hanya tertawa pelan. “Kau memang aneh. Tapi entah kenapa, aku merasa kau akan membawa perubahan.”
Kurogane tidak membalas. Ia hanya menyimpan kartu petualangnya, mengambil jubah hitam panjang yang tergantung di rak pinggir, lalu melangkah keluar dari guild tanpa suara.
Langit di atas Windmere perlahan menggelap, awan-awan mulai menggumpal di kejauhan. Seolah langit pun tahu bahwa sesuatu yang asing sedang bergerak.
Jalanan berbatu di depan Guild terasa sepi. Kurogane berjalan perlahan melewatinya, menyatu dengan bayangannya sendiri. Langkahnya pasti, seperti bayangan yang tahu persis ke mana arah kegelapan selanjutnya.
“Dungeon… tempat berkumpulnya jiwa-jiwa terperangkap dan makhluk yang dikubur sejarah. Menarik.”
Langkah-langkah sepi terdengar di antara semak basah dan dedaunan yang gugur. Kurogane berjalan sendirian, menyusuri jalur samar di tengah hutan utara Windmere. Pepohonan menjulang tinggi seperti penjaga kuno, diam tapi mengawasi. Kabut tipis mulai turun, menyelimuti batang-batang pohon dengan nuansa kelam.
Di tangannya yang hitam dan tampak seperti terbuat dari bayangan padat, selembar kertas misi tergenggam kuat. Peta kasar dan sedikit coretan arah yang ditulis tergesa menjadi satu-satunya penunjuk jalannya.
“Dungeon, ya…?” gumamnya pelan, nada suaranya berat namun datar. “Baru juga masuk dunia ini, udah dikasih misi yang biasanya dikasih buat party level menengah. Hebat juga nasib gue.”
Ia tertawa tipis, lebih mirip desahan sinis yang hanya terdengar oleh angin dan pepohonan. Ini bisa dibilang keberuntungan—kalau berhasil, ia bisa menguji batas tubuh barunya dan kemampuan yang masih asing ini. Tapi kalau gagal… yah, tubuh ini mungkin memang diciptakan untuk jatuh di tempat gelap seperti itu.
“Beruntung atau sial, sama aja. Pengecut gak bakal dapat jawaban.”
Dengan langkah mantap, ia menembus semak belukar yang mulai rapat. Setiap jejaknya meninggalkan bekas hitam samar di tanah basah, seolah bayangan itu ikut meresap ke alam.
Setelah hampir dua jam berjalan kaki, akhirnya Kurogane menghentikan langkahnya. Di depannya, celah besar di antara dua batu raksasa menganga seperti mulut monster. Kabut mengalir keluar dari celah itu—dingin, lembab, dan membawa aroma logam dan tanah tua yang membusuk.
Dungeon itu seperti rahang dunia lain, mengundang dan mengancam dalam waktu yang sama.
Kurogane berdiri diam di depannya beberapa saat. Ia menarik napas—atau sesuatu yang menyerupai napas—lalu melangkah pelan, masuk ke dalam gelap.
Suaranya menggema lembut saat ia berbicara pada dirinya sendiri.
“Dungeon… makhluk hidup buatan yang bisa melahirkan monster dan menelan kematian.”
Ia mengingat kembali kata-kata Raven saat memberikan misi itu.
“Dungeon itu kayak organ tubuh. Dia punya sistem kekebalan sendiri. Monster-monsternya bakal menyerang siapa pun yang masuk, gak peduli seberapa kuat mereka. Tapi kalau ada yang mati di dalam… tubuh dungeon akan menyerap mereka. Daging, tulang, bahkan jiwa.”
Langkah Kurogane menyentuh lantai batu keras di dalam dungeon. Dindingnya basah dan kasar, diterangi jamur bercahaya biru yang tumbuh di sela-sela retakan. Suasana di dalam benar-benar sunyi… terlalu sunyi. Tidak ada gemerisik, tidak ada raungan. Hanya suara langkahnya sendiri yang memantul di dinding.
“Tempat ini… seperti perut naga tidur. Gelap, hangat, dan lapar.”
Ia mencabut Jyuken dari punggungnya—pedang kutukan itu tampak berdenyut pelan, seolah ikut merasakan atmosfer berbahaya yang menyelimuti tempat ini.
Kurogane mulai berjalan lebih dalam, setiap indera sihirnya aktif, bayangan-bayangan di sekitar mulai bergerak mengikuti kemauannya. Ia tahu, apapun yang membuat party sebelumnya menghilang... masih ada di dalam sini. Dan sekarang, dungeon ini akan menguji apakah dirinya pantas menyandang nama—Kurogane.
Dalam diam yang membekukan, langkah kaki Kurogane terus bergema di lorong batu yang makin gelap dan sempit. Suara air menetes dari langit-langit, jatuh ke genangan kecil di tanah. Udara di dalam dungeon mulai berubah—lebih berat, lebih basah, dan mulai terasa... menjijikkan.
Lalu—glrshh... glrshhhk...
Sesuatu terdengar menggeliat dari arah lorong sebelah kanan. Kurogane berhenti sejenak, tubuhnya menegang. Dari kegelapan, sesosok makhluk muncul. Menggelinding seperti cairan hitam pekat bercampur daging busuk—sebuah slime, tapi tidak biasa. Tubuhnya tidak transparan, melainkan gelap dan berdenyut merah seperti jantung berdarah.
“Corrupted Slime...” gumam Kurogane pelan. “Makhluk buangan dari lapisan bawah dungeon, seharusnya nggak muncul di level awal.”
Makhluk itu mengeluarkan suara menjijikkan saat mulai bergerak cepat ke arahnya. Dengan sigap, Kurogane mencengkeram gagang Jyuken, dan dalam sekejap, pedang itu memanjang dari punggungnya, mengeluarkan aura putih dan hitam yang membara seperti luka bernanah.
Makhluk itu melompat.
Kurogane langsung menghilang—teleportasi bayangan—muncul tepat di belakang slime, lalu menebasnya dalam sekali gerakan horizontal.
SLASH!
Cairan hitam dan darah busuk muncrat ke dinding, tapi slime itu belum mati. Ia memecah tubuhnya menjadi dua, lalu tiga, dan masing-masing mulai menyusun ulang tubuhnya.
“Tebasan biasa gak cukup... Baiklah.”
Kurogane menancapkan Jyuken ke tanah, dan seketika bayangannya menyebar cepat seperti tinta di atas kertas basah. Tangannya bergerak pelan ke depan.
“Shadow Bind.”
Bayangan dari dinding dan lantai membentuk tangan-tangan hitam yang muncul dan menjerat setiap bagian tubuh slime itu, membuatnya tak bisa bergerak. Kurogane melompat ke depan, dan Jyuken mulai bersinar merah darah.
“Soul Breaker.”
Tebasan berikutnya seperti ledakan. Sihir kutukan di dalam Jyuken meledak dalam bentuk ledakan berbentuk mata raksasa, dan slime itu langsung meleleh menjadi bubur hitam, jiwanya terserap ke dalam pedang yang berdenyut puas.
Selesai.