Angin pagi mengibarkan jubah hitam Kurogane saat langkah-langkah beratnya meninggalkan gerbang kota Windmere. Di belakangnya, suara logam ringan terdengar—Alya, dengan langkah penuh semangat dan mata yang tetap menatap lurus ke depan.
“Jadi… kita benar-benar mulai ya,” gumam Alya sambil menarik napas dalam-dalam. Udara pagi yang segar, bebas dari hiruk pikuk kota, menyapu pipinya yang sedikit memerah oleh angin.
Kurogane tidak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan, tatapannya tajam menyapu sepanjang jalan tanah berbatu yang mengarah ke utara—menuju wilayah elf yang tersembunyi di balik lautan pepohonan kuno.
“Dengar, aku tahu kau tipe pendiam,” lanjut Alya, dengan nada setengah bercanda, “tapi kalau kita terus jalan kayak gini tanpa ngobrol, aku bisa gila.”
Bayangan helm Kurogane menoleh sedikit ke arahnya. “Kau bisa bicara untuk dua orang. Aku dengarkan saja.”
“Huh!? Itu maksudnya aku cerewet?” Alya memelototinya, tapi nada suaranya malah terdengar geli.
Langkah mereka melambat saat jalan mulai menyempit, berubah menjadi jalur sempit di antara pohon-pohon tua yang menjulang seperti pilar katedral alam. Cahaya matahari menembus sela-sela daun, menciptakan bayangan acak yang bergerak setiap kali angin bertiup.
“Tempat ini… menyeramkan,” bisik Alya, kali ini lebih tenang. Tangannya sedikit merapat ke gagang pedangnya. “Kata orang-orang, hutan elf itu punya penjaga tak terlihat.”
“Penjaga atau bukan, kita hanya tamu. Selama tak bertingkah bodoh, mereka takkan peduli,” jawab Kurogane datar.
Alya meliriknya dengan ekspresi campur aduk. “Kau bicara seolah kau pernah ke sini.”
“Belum. Tapi bayangan di sekelilingku bicara banyak.”
Ia tidak menjelaskan lebih lanjut, dan Alya memutuskan untuk tidak bertanya. Dalam diamnya, Kurogane terasa seperti sosok yang tidak berasal dari dunia ini—dan mungkin memang bukan.
Beberapa jam berjalan, mereka memutuskan berhenti di pinggir sungai kecil. Airnya jernih dan dingin, memantulkan langit biru dan dedaunan di atas.
Alya duduk di atas batu besar, membuka sedikit armor ringannya untuk menyeka keringat. “Kurogane-san… kau nggak lelah apa? Dari tadi jalan kayak bayangan gelap yang disetel ke mode hemat energi.”
Kurogane berdiri tegak di sisi sungai, seperti patung penjaga. “Tubuhku tidak berfungsi seperti milikmu. Aku tak butuh istirahat.”
“Kau ini... apa sih? Monster? Atau vampir yang nyasar?”
“Tidak juga. Aku hanya... berbeda.”
Alya mendesah, lalu terkekeh. “Yah, kau memang berbeda. Tapi kurasa… bukan berarti buruk.”
Seketika, telinganya bergerak sedikit—seperti mendengar sesuatu. Ia berdiri cepat, pedang sihirnya terhunus.
“Kau dengar itu?”
Kurogane menoleh. Bayangan di sekelilingnya tampak bergerak tak wajar. Suara gemerisik daun… terlalu teratur. Seperti sesuatu—atau seseorang—bergerak melingkari mereka.
“Mereka melihat kita,” bisik Kurogane.
“Siapa ‘mereka’!?”
Seketika, suara panah terlepas dari kejauhan. Alya melompat mundur, dan panah itu menancap tepat di samping batu tempat ia duduk.
“Wah! Itu tadi nyaris kena pantatku!”
Kurogane mengangkat tangan kirinya. Bayangan di kakinya menyebar, berubah seperti tentakel hidup yang melingkupi area sekeliling mereka.
Dari balik pepohonan, siluet-siluet muncul. Sosok bertelinga panjang, berbalut jubah hijau dan mata tajam berwarna zamrud. Elf.
“Pendatang. Tanah ini bukan untuk manusia atau bayangan kelam,” ujar salah satu elf dengan bahasa lokal yang samar magisnya.
Kurogane melangkah maju satu langkah. “Kami tidak berniat merusak. Kami datang membawa permintaan, dan tidak ingin pertumpahan darah.”
Para elf saling melirik. Salah satunya, yang tampak lebih tua dan membawa tongkat kristal, mengangkat tangannya, memberi isyarat agar senjata diturunkan.
“Kalau begitu, buktikan kata-katamu dengan tindakan. Kami akan membawamu ke perbatasan istana.”
Alya menatap Kurogane. “Yah, kurasa perjalanannya resmi dimulai sekarang.”
Dan Kurogane, masih tanpa ekspresi, mengangguk pelan.
“Semakin dalam kau masuk ke dunia ini… semakin kau sadar bahwa kau bukan lagi bagian dari dunia manusia,” ucapnya dalam hati.
Jejak langkah mereka berderak pelan di atas tanah lembap, diiringi suara dedaunan kering yang terinjak dan desir angin yang menyusup di antara dedaunan tinggi. Hutan Elf bukan sekadar kumpulan pohon raksasa dan semak belukar; ia adalah dunia tersendiri, seakan punya denyut kehidupan yang tersembunyi. Burung-burung kecil berkicau dari dahan, sementara makhluk-makhluk mungil berlari cepat melintasi semak, menghilang sebelum mata bisa benar-benar menangkap mereka.
Elf pria yang menjadi pemandu mereka berjalan tanpa suara, nyaris tak meninggalkan jejak. Ia mengenakan jubah hijau yang menyatu sempurna dengan latar pepohonan. Rambut peraknya diikat longgar ke belakang, memperlihatkan telinga panjang yang sedikit bergerak tiap kali angin berbisik.
“Ras Faceless, huh…”
Suara sang elf terdengar seperti bisikan samar namun tetap tegas, memecah keheningan hutan tanpa membuat burung-burung terbang ketakutan.
Kurogane tidak menoleh. Ia terus melangkah di belakang sang pemandu, tubuhnya tegak seperti bayangan yang tak pernah goyah.
“Aku tumbuh besar dengan cerita-cerita tentang kalian,” lanjut elf itu. “Cerita yang tidak pernah dituturkan dengan nada ramah. Para tetua kami bilang, Faceless bukanlah makhluk… mereka adalah bencana. Mahluk tanpa wajah, tanpa emosi, tanpa ampun.”
Ia menoleh sejenak ke arah Kurogane, mata zamrudnya menajam.
“Mereka berkata, Faceless akan membunuh siapapun yang ada di hadapan mereka. Manusia, beastkin, elf, bahkan bangsawan tinggi dari kerajaan suci. Tak peduli apa jabatannya, siapa namanya… semua diperlakukan sama oleh kematian hidup itu.”
Langkah Alya terhenti. Napasnya tercekat.
Perlahan, ia menoleh ke arah Kurogane yang masih berjalan dalam diam, tak memberi respons.
“…K-Kurogane…?” bisiknya pelan.
Matanya melebar. Wajahnya pucat. Tubuhnya sedikit mundur, seperti secara naluriah mencoba menciptakan jarak. Jemarinya mengencang di gagang pedang.
Kurogane menyadarinya. Ia berhenti berjalan dan memandang Alya dari balik helm hitam pekatnya.
“Alya.”
Suara itu tidak meninggi. Tidak juga membela diri. Hanya tenang… tapi terasa berat.
“Aku tahu. Cerita-cerita itu mungkin benar. Ras-ku… dulu mungkin memang seperti itu.”
Alya menelan ludah. Ia tidak berkata apa-apa, namun tatapannya berubah menjadi campuran antara takut dan bingung.
“Tapi aku bukan mereka,” lanjut Kurogane. “Aku tidak tahu mengapa aku seperti ini sekarang. Mengapa aku tetap bisa berbicara, berpikir, bahkan memilih.”
Ia menatap tangannya sendiri, sarung tangan bayangan yang berdenyut samar.
“Aku bisa memilih untuk membunuhmu waktu pertama kita bertemu. Tapi aku tidak melakukannya. Aku menyelamatkanmu. Dan aku masih memilih untuk tidak menyakitimu sekarang.”
Sang elf memperhatikan dari depan, dengan tatapan tajam yang kini sedikit melembut.
“Kau terdengar... terlalu rasional untuk makhluk tanpa wajah,” ucapnya.
“Karena aku mencari makna. Bahkan bayangan pun ingin tahu kenapa mereka ada.”
Alya masih diam. Namun perlahan, langkahnya mulai bergerak kembali. Ia berjalan tanpa mengatakan sepatah kata pun, tapi kini tidak lagi menjauh. Hanya sedikit lebih waspada, mungkin… atau masih menyerap semuanya.
Hening mengisi perjalanan mereka setelah itu. Tapi bukan hening yang dingin—lebih seperti ruang kosong di mana kepercayaan mulai tumbuh, meski masih rapuh.
Dan dari kejauhan, cahaya kebiruan mulai muncul di antara pepohonan. Pilar-pilar kristal memantulkan sinar matahari, dan udara mulai terasa lebih padat dengan energi sihir. Mereka telah tiba di batasan wilayah Elf yang suci.
Langkah mereka akhirnya berhenti saat sebuah pemandangan tak biasa membentang di depan mata—sebuah dinding kayu raksasa menjulang tinggi di tengah hutan, seolah tumbuh alami dari tanah namun dibentuk dengan keterampilan yang tak tertandingi. Dinding itu tidak hanya berdiri sebagai pelindung, tapi juga sebagai simbol pemisah antara dunia luar dan negeri tersembunyi para Elf.
Di beberapa titik dinding, menara-menara penjaga berdiri kokoh. Di atasnya, para Elf bersenjata busur dan tombak berlapis sihir mengawasi dengan mata elang. Tak satu pun dari mereka mengucap salam. Namun ketegangan di udara sangat jelas terasa, seperti tali panah yang ditarik namun belum dilepas.
Sang elf pemandu mendekati salah satu penjaga yang berdiri di depan gerbang besar, lalu membisikkan sesuatu dalam bahasa kuno elf—melodius, namun penuh wibawa. Beberapa penjaga saling bertukar pandang, alis mereka mengernyit dalam kebingungan atau mungkin ketidakyakinan. Tapi ketika sang pemandu menyebut kata “para tetua,” ekspresi mereka berubah.
Salah satu dari mereka mengangkat tangan dan memberi isyarat kepada penjaga lain di atas menara. Dengan gerakan bersamaan, mekanisme kayu tua mulai bergerak. Roda gigi dari akar-akar pohon yang menyatu dengan struktur dinding memutar perlahan. Bunyi berderit memenuhi udara, bergema seolah hutan ikut menyaksikan.
Gerbang kayu raksasa itu terbuka perlahan, seakan menimbang apakah yang akan masuk pantas atau tidak. Debu halus dan serpihan daun kering terangkat saat tanah bergesekan dengan alas gerbang.
Alya melirik Kurogane sejenak. Ia masih memendam keraguan, tapi rasa penasaran mulai menutupi rasa takutnya.
Begitu gerbang terbuka sepenuhnya, sang pemandu memberi isyarat agar mereka masuk. Kurogane melangkah lebih dulu, bayangannya seperti bergabung dengan naungan pepohonan yang melengkung indah di atas gerbang. Alya mengikutinya dengan langkah ragu namun mantap.
Apa yang mereka lihat di balik gerbang membuat keduanya terdiam.
Kota itu tidak seperti kota manusia. Tidak ada batu bata, tidak ada jalanan dari batu kapur. Semuanya terbuat dari kayu, akar, daun, dan kristal alami yang tampak menyatu sempurna. Rumah-rumah tumbuh dari batang pohon raksasa, menjulang tinggi dengan jendela-jendela yang mengeluarkan cahaya keemasan. Jembatan gantung dari sulur tumbuhan menghubungkan satu bangunan dengan yang lain di atas pohon-pohon.
Air mengalir dalam aliran kecil dari mata air yang tertata alami, dihiasi bunga bercahaya yang mekar di sepanjang pinggirannya. Udara harum dengan aroma rempah dan embun pagi.
Namun keindahan itu bukan yang paling mencolok—melainkan tatapan.
Puluhan, bahkan ratusan pasang mata elf menatap mereka. Beberapa dari balkon tinggi, beberapa dari jalanan, beberapa diam berdiri di tengah alun-alun kecil. Mereka mengenakan pakaian elegan dari bahan alam, dan semuanya memiliki keanggunan alami yang luar biasa.
Namun yang terpancar dari mata mereka bukan kekaguman, melainkan rasa asing. Kecurigaan. Ketidakterimaan.
Alya menunduk pelan, merasa tidak nyaman dengan tatapan yang seolah ingin menembus tulangnya. Bahkan anak-anak kecil elf pun bersembunyi di balik rok ibunya, mengintip dengan mata besar yang takut-takut.
Sementara Kurogane… berdiri tak terusik.
Ia tahu sorotan seperti ini. Sorotan yang sama dengan yang pernah ia dapat dari manusia, dari makhluk sihir, dari semua makhluk yang tahu bahwa ia adalah “Faceless.”
Namun ia juga tahu: tatapan itu takkan membunuhnya. Tidak selama ia tetap berjalan.
Sang pemandu memimpin mereka melewati jalanan utama yang terbuat dari akar yang dikepang rapi. Beberapa elf berbisik pelan, bahkan ada yang menutupi mulutnya dengan tangan, kaget melihat makhluk hitam legam seperti Kurogane melangkah begitu tenang di tengah tempat suci mereka.
“Seseorang seperti kita... diperbolehkan masuk ke sini?” gumam Alya pelan, nyaris tak terdengar.
Kurogane menjawab tanpa menoleh.
“Mungkin mereka sedang bertaruh… atau mungkin mereka ingin membuktikan bahwa kita tidak layak.”
Alya tidak menjawab, tapi tatapannya kini lebih tenang. Ia tahu, apapun yang terjadi di depan, ia tidak berjalan sendirian.
Langkah mereka terus melangkah ke pusat kota. Ke tempat yang bahkan para elf pun jarang diundang—tempat para tetua bermukim. Tempat keputusan besar diambil.
Langkah demi langkah mereka menyusuri koridor kastil yang menjulang megah namun tetap menyatu dengan alam. Tidak ada marmer putih atau emas mencolok layaknya istana manusia, namun aura keagungan terasa kuat dari tiap inci bangunan ini.
Pilar-pilar besar terbuat dari batang pohon purba menopang atap tinggi yang diukir dengan pola langit malam dan pohon kehidupan. Cahaya lembut dari kristal-kristal berwarna zamrud menggantung di langit-langit, memancarkan aura sihir yang menenangkan sekaligus misterius.
Lorong tempat mereka berjalan panjangnya seperti tidak ada ujung, dengan deretan artefak sihir berkilau di rak kaca yang dijaga segel ilusi. Armor kuno peninggalan perang besar antar ras dipajang berdiri tegak di sisi kanan dan kiri, seolah menatap mereka yang lewat dengan tatapan menghakimi dari balik helm kosong.
Di bawah kaki mereka, terhampar karpet hijau tebal yang begitu lembut, disulam dengan garis-garis emas membentuk pola akar dan daun. Karpet itu tidak hanya menjadi jalur langkah, tapi juga lambang koneksi suci antara alam dan kekuasaan para tetua.
Alya menatap lurus ke depan, menahan gugupnya dengan wajah setenang mungkin. Sementara Kurogane berjalan tanpa suara, jejak langkahnya menyatu dengan bayangan temaram di sekitar lorong.
Di sisi mereka, para kesatria elf berpakaian zirah ringan dari daun perak dan kulit kayu ilahi berjalan dengan postur tegap. Tak ada senyum. Tak ada sapaan. Hanya keheningan yang bicara lebih lantang dari kata.
Akhirnya mereka tiba di depan sepasang pintu kayu tinggi dengan ukiran daun dan cabang yang saling melilit. Dua pengawal berdiri di sampingnya, lalu menunduk singkat sebelum mendorong pintu itu dengan sihir angin lembut.
Cahaya keemasan dari dalam ruangan menyambut mereka, dan seketika atmosfer berubah.
Ruangan itu luas, kubahnya tinggi dengan cabang-cabang pohon yang membentuk langit-langit alami. Di ujung ruangan, sebuah meja bundar dari kristal hijau berdiri kokoh, di sekelilingnya duduk para tetua elf—rambut mereka panjang dan putih seperti salju abadi, mata mereka tenang namun tajam seperti danau terdalam.
Tepat di tengah, di atas singgasana dari akar dan batu giok, duduk raja dan ratu elf. Sang raja mengenakan jubah putih keperakan dengan mahkota dari cabang emas muda yang tumbuh dari kepalanya. Tatapannya dalam, penuh pertimbangan. Di sisinya, sang ratu memancarkan aura tenang dan mistis, rambut peraknya menjuntai seperti air terjun cahaya.
Begitu memasuki ruangan itu, Alya spontan menghentikan langkahnya. Dengan satu gerakan halus, ia menekuk satu lutut, menundukkan kepala seraya berkata dengan suara penuh hormat,
“Salam hormat dari Party Black Fang. Kami datang atas undangan kehormatan dari utusan kalian.”
Kurogane, yang berdiri diam selama beberapa detik, akhirnya mengikuti gerakan yang sama. Meski tubuhnya bukan daging dan tulang seperti manusia lain, ia tetap mampu memberi bentuk penghormatan yang sopan—kepalanya menunduk dalam diam, sementara bayangannya seperti menyatu dengan lantai.
Para tetua saling menatap singkat, mengukur, menilai. Beberapa dari mereka mengernyit ketika melihat sosok gelap Kurogane, namun tidak ada yang bicara.
Keheningan menegang selama beberapa detik… hingga akhirnya sang raja berbicara dengan suara yang berat namun tenang.
“Kami menerima kalian di negeri ini, manusia... dan entitas bayangan.”
Satu kalimat, tapi seolah membawa berat seribu keputusan.
Alya menahan napas. Sementara Kurogane mengangkat kepalanya perlahan, menatap langsung ke arah raja dan para tetua. Tak ada rasa takut dalam dirinya. Hanya kesiapan.
Sang ratu, dengan suara yang lebih lembut namun menggigit, melanjutkan, “Tapi kedatangan kalian bukan tanpa alasan. Dan alasan itulah… yang akan menentukan apakah kalian pergi dari sini sebagai tamu, atau sebagai ancaman.”
Salah satu tetua mengetuk tongkat kayunya ringan, lalu menambahkan, “Terutama kau, wahai Faceless. Kaummu adalah kisah gelap bagi kaum kami. Keberadaanmu... menimbulkan banyak ketakutan.”
Alya menegang. Kata-kata itu seperti sembilu bagi telinganya. Ia melirik ke arah Kurogane, takut pria itu akan terpancing.
Namun Kurogane hanya menghela napas perlahan.
Dan menjawab.
Kurogane tetap dalam posisi menunduk selama beberapa detik, hingga akhirnya ia berdiri perlahan. Suara gesekan armor hitamnya menggema pelan di ruang megah itu. Semua mata memusat padanya, menunggu jawaban.
Suasana di ruangan itu terasa lebih berat dari udara sebelum hujan turun. Bahkan detak jantung Alya pun terdengar oleh telinganya sendiri.
Lalu, Kurogane mulai berbicara.
“Sebelum kalian menghakimi apa aku ini… izinkan aku menyampaikan kebenaran yang bahkan bagiku sendiri masih terasa asing.”
Suaranya dalam, tenang, namun mengandung kesedihan yang samar.
“Aku… bukan berasal dari dunia ini.”
Para tetua saling berpandangan. Sang ratu sedikit menyipitkan mata, sementara sang raja hanya menundukkan kepala tipis, memberi isyarat agar Kurogane melanjutkan.
“Namaku sebelumnya adalah Souta Yukimura. Aku berasal dari dunia lain... tempat tanpa sihir, tanpa ras elf, tanpa kerajaan, tanpa monster. Sebuah dunia yang kalian mungkin anggap tak lebih dari dongeng aneh.”
Alya memalingkan wajahnya perlahan, matanya membelalak. Ia belum pernah mendengar cerita ini. Bahkan setelah beberapa waktu bersama Kurogane, ini adalah pertama kalinya pria itu membuka dirinya sejauh ini.
“Entah bagaimana, aku mati di sana. Dan saat aku membuka mata… aku terlahir kembali di dunia ini. Tapi bukan sebagai manusia. Aku... dibangkitkan dalam tubuh makhluk yang hanya dikenal dalam cerita horor.”
Kurogane merentangkan satu tangan, menunjukkan tubuhnya yang gelap dan tak berbentuk, bayangan pekat yang menyatu dengan armor hitamnya.
“Tubuh ini adalah tubuh ras Faceless.”
Seketika terdengar bisik-bisik dari para tetua. Beberapa berseru pelan dalam bahasa elf yang tidak dimengerti Alya. Bahkan para pengawal sedikit mengangkat senjata mereka, waspada.
Kurogane tidak bergeming.
“Aku tahu... ras ini adalah mimpi buruk bagi banyak orang. Para tetua mungkin mendengar cerita bahwa kaum Faceless adalah pembunuh tak berperasaan, makhluk dari kegelapan yang tak mengenal empati atau moralitas. Tapi—aku bukan mereka. Aku tidak pernah memilih tubuh ini. Tubuh ini adalah nasib... dan mungkin kutukan. Tapi aku tetaplah aku. Aku... manusia, yang kini mencoba bertahan hidup di dunia yang asing dan kejam.”
Ia menoleh ke arah Alya.
“Dan dia… satu-satunya yang percaya padaku, bahkan setelah tahu bentuk asliku. Aku tidak akan menyakitinya. Tidak akan pernah.”
Alya menahan napas. Matanya berkaca, bukan karena takut… tapi karena terkejut. Ia tidak pernah tahu bahwa pria yang menyelamatkannya di dungeon dulu menyimpan beban sebesar ini. Selama ini, dia berpikir Kurogane adalah sosok dingin yang misterius—tapi ternyata, dia adalah seseorang yang kehilangan segalanya… bahkan dirinya sendiri.
Kurogane kemudian kembali menghadap ke para tetua.
“Alasan kami datang ke sini bukan untuk mencari perlindungan. Kami mencari… kebenaran.”
Ia melangkah maju satu langkah.
“Aku ingin tahu… apa sebenarnya ras Faceless itu. Dari mana asalnya. Mengapa keberadaannya dibenci, ditakuti, bahkan dianggap mitos. Jika memang kaum kalian memiliki ingatan, catatan, atau sisa-sisa sejarah tentang mereka… aku mohon, tunjukkan padaku. Aku tidak ingin menjadi monster tanpa arah. Aku ingin tahu siapa aku sebenarnya di dunia ini.”
Keheningan menyelimuti ruangan itu. Tak satu pun bicara. Bahkan napas pun seperti enggan terdengar.
Raja elf memejamkan mata sejenak, lalu membukanya perlahan. Suaranya terdengar dalam, bagai akar tua yang menggeliat di dasar tanah.
“Apa yang kau sampaikan… adalah sesuatu yang tidak pernah kami bayangkan akan kami dengar dari mulut makhluk sepertimu.”
Sang ratu menyusul, dengan nada lebih lembut namun waspada.
“Dan kejujuran itu… bisa jadi bukti bahwa kau berbeda dari mereka yang disebut dalam legenda.”
Salah satu tetua, yang terlihat paling tua di antara mereka, menyandarkan tongkatnya dan akhirnya angkat suara.
“Ras Faceless… memang pernah ada dalam sejarah kami. Tapi kisah mereka diselimuti kabut darah, pengkhianatan, dan kehancuran. Jika kau sungguh ingin tahu… maka jalan yang akan kau tempuh tidak akan mudah. Tidak ada jawaban tanpa harga yang harus dibayar.”
Kurogane mengangguk pelan.
“Aku tidak takut. Aku sudah kehilangan diriku sekali. Aku tidak keberatan berjalan dalam kegelapan lagi… jika pada akhirnya aku bisa melihat cahaya kebenaran.”
Raja elf menatap Kurogane dalam diam. Lalu, dengan suara mantap, ia berkata,
“Kalau begitu, Outsider... besok, saat fajar, kau akan dikirim menemui Penjaga Pohon Pengetahuan. Ia satu-satunya yang mungkin tahu tentang asal-usul ras Faceless. Tapi ingat… dia bukan makhluk yang mudah ditemui, apalagi dipercaya.”
Alya menatap Kurogane, khawatir namun juga yakin.
Dan Kurogane… hanya mengangguk sekali. Diam, namun mantap.
Karena untuk pertama kalinya sejak ia hidup kembali… ia merasa semakin dekat dengan jawaban.
Malam perlahan menyelimuti Kerajaan Elf dengan sunyi yang terasa suci. Cahaya bulan menetes di antara celah-celah dedaunan besar, menyapu tanah dengan warna perak yang lembut. Angin hutan berembus tenang, membawa aroma dedaunan dan tanah basah yang damai. Di sisi luar kamar tamu yang diberikan untuk para tamu asing, sebuah balkon kecil terbuka menghadap ke rimba yang tampak seperti lautan hitam-hijau.
Kurogane berdiri di sana, menyandarkan punggungnya pada pagar kayu, dengan tangan terlipat dan tatapan kosong menatap bulan. Armor hitamnya tampak lebih membaur malam ini—seolah bayangan itu bukan lagi sesuatu yang asing di antara alam.
Langkah pelan terdengar dari belakang.
“Kau belum tidur juga, ya…”
Alya muncul dengan jubah tidur tipis berwarna pucat. Rambutnya dilepas dari ikatan kuncir khasnya, membiarkan helaian panjang itu menari lembut terkena angin malam.
Kurogane tak langsung menjawab. Ia hanya menoleh sedikit dan kembali menatap langit. “Kau juga belum, Alya-san.”
Alya melangkah mendekat dan menyenderkan dirinya di pagar balkon, berdiri beberapa jengkal dari Kurogane. Mereka berdua memandangi hutan yang membentang luas, ditemani suara serangga dan gemerisik dedaunan.
“Jujur aja… aku masih agak syok,” gumam Alya lirih. “Tentang kau… tentang Faceless… tentang kau yang ternyata berasal dari dunia lain.”
Kurogane mengangguk pelan. “Aku mengerti.”
“Aku sempat takut,” lanjut Alya. “Tapi… waktu kau bilang kau tetap manusia meski tubuhmu berubah, entah kenapa… aku ingin percaya.”
Kurogane menatap Alya. “Kenapa?”
Alya terdiam sejenak. Lalu bahunya bergerak naik-turun kecil saat ia menarik napas dalam.
“Karena aku tahu gimana rasanya dilihat sebagai sesuatu yang rusak. Gimana rasanya dianggap berbahaya, tidak bisa dipercaya… hanya karena satu insiden.”
Kurogane menatap lebih dalam. “Tim lamamu, ya?”
Alya mengangguk. “Sejak saat itu… aku sering menyalahkan diriku sendiri. Kalau saja aku lebih cepat. Kalau saja aku lebih kuat. Mereka mungkin masih hidup. Orang-orang bilang aku bukan penyebabnya, tapi… kamu tahu kan, kata-kata itu gak selalu bisa mengusir rasa bersalah.”
Ia menunduk. Suaranya mulai bergetar. “Kadang… aku juga bertanya ke diri sendiri, apa aku layak untuk diselamatkan saat itu?”
Kurogane menatap Alya lama. Suasana hening, tapi bukan canggung—melainkan dalam, seperti dua orang yang berdiri di ujung jurang emosional dan saling memandang, menimbang apakah mereka bisa melompat bersama.
“Alya-san…” Kurogane berkata pelan. “Kau tidak sendirian dalam pertanyaan itu. Aku juga sering bertanya… kenapa aku terlahir kembali? Kenapa di tubuh ini? Apa aku dimaksudkan untuk jadi monster, atau... sesuatu yang lain?”
Alya mengangkat wajahnya, menatapnya.
“Kau bilang tadi bahwa aku tetap manusia meski tubuhku seperti ini. Tapi kenyataannya… aku gak yakin apa aku pantas disebut manusia lagi.”
Alya mendekat, dan untuk pertama kalinya, ia berdiri tepat di sebelah Kurogane. “Menurutku… yang bikin seseorang manusia bukan tubuhnya. Tapi pilihan yang dia buat. Kau bisa aja punya tubuh monster, tapi kalau kau milih untuk melindungi, membantu, dan berjalan bersama orang lain… bukankah itu lebih manusiawi daripada kebanyakan manusia lain?”
Kurogane menoleh pelan. “Aku gak nyangka kau bisa bilang hal seperti itu.”
Alya mengangkat alis. “Hey, aku gak cuma bisa nyetrum dan ngambek, tahu.”
Kurogane menghela napas kecil… lalu tertawa. Untuk pertama kalinya, tawa pelan itu terdengar dari balik helmnya—suara seperti batu yang retak sedikit, tapi terasa hangat.
“Kau benar-benar aneh, Alya-san.”
“Dan kau benar-benar keras kepala, Kurogane.”
Mereka tertawa kecil, dan untuk sesaat, dunia terasa ringan.
Lalu, setelah tawa reda, Alya memandang ke arah hutan lagi.
“Besok… kita bakal ke tempat yang katanya bisa ngasih jawaban. Tapi entah kenapa, aku merasa petualangan ini baru aja mulai.”
Kurogane mengangguk. “Dan tidak akan ada jalan kembali.”
Alya tersenyum tipis. “Bagus. Karena aku gak berniat kembali juga.”
Kurogane menatapnya, lama. “Kalau begitu… ayo tuntaskan ini bersama.”
Alya mengulurkan tangan, seperti isyarat perjanjian sederhana namun penuh makna. “Dari sekarang… kita adalah Party Black Fang. Satu langkah pun, gak boleh ada yang tertinggal.”
Kurogane menatap tangan itu beberapa detik, lalu akhirnya menggapainya dan menggenggamnya erat. “Setuju.”
Dan di malam sunyi itu, di bawah cahaya bulan yang membasuh dunia, dua jiwa yang terluka saling menemukan semangat baru untuk melangkah. Tanpa kepastian di depan. Tanpa jaminan kemenangan. Tapi dengan tekad yang sudah tidak bisa ditarik kembali.
Cahaya matahari pagi menembus lembut tirai tipis jendela kamar tamu, membentuk bayangan dedaunan yang menari di dinding kayu. Burung-burung dari spesies yang belum pernah dilihat Kurogane sebelumnya berkicau dari kejauhan, suara alam itu seolah jadi penanda bahwa hari ini adalah awal dari sesuatu yang besar.
Di dalam kamar, suara gesekan logam dan bunyi botol kaca terdengar bersahutan. Alya duduk di kursi kecil, membersihkan bagian pedang sihirnya, Arclight Fang, dengan kain khusus berlapis cairan pelindung. Di sisi lain ruangan, Kurogane dalam diamnya tengah memeriksa pedang Jyuken yang diselimuti aura hitam tipis seperti asap.
“Kalau kau terus poles pedang itu, nanti jadi kinclong dan kelihatan lebih mengintimidasi,” kata Alya setengah bercanda, memecah keheningan.
Kurogane tak menoleh, tapi nada suaranya terdengar lebih ringan. “Itu justru tujuannya.”
Sementara itu, meja kayu kecil di tengah ruangan sudah dipenuhi potion hasil racikan Alya—beberapa untuk penyembuhan, sebagian lagi efek stamina dan sihir. Alya bergerak gesit, mengisi kantong kulit kecil dan menatanya ke dalam tas punggung mereka berdua.
“Sudah siap?” tanya Alya sambil merentangkan lengannya, melemaskan otot.
Kurogane berdiri, helmnya sudah terpasang. “Lebih dari siap.”
Keduanya lalu berjalan keluar kamar, lorong istana kembali menyambut mereka dengan kesan agungnya. Deretan armor elf yang berdiri tegak di sisi kiri dan kanan tampak seperti penjaga abadi yang siap bangkit kapan pun dibutuhkan. Karpet hijau yang membentang lurus ke arah pintu utama tampak lebih bersih dari hari sebelumnya—entah memang selalu dijaga begitu, atau karena tamu spesial seperti mereka.
Namun langkah mereka tertahan sesaat sebelum mencapai pintu utama ketika seorang elf muda berbalut jubah biru menghampiri dengan cepat.
“Petualang Alya dan... Kurogane-dono,” katanya dengan nada formal. Ia mengulurkan sebuah gulungan kertas yang terikat pita hijau. “Ini informasi dari para tetua tentang sosok yang kalian akan temui. Penjaga Pohon Pengetahuan tidak seperti makhluk biasa. Ia… hidup, tapi juga bukan makhluk yang bisa dijelaskan dengan logika biasa.”
Kurogane mengambil gulungan itu. “Kami mengerti. Terima kasih.”
Alya sempat mengangguk sopan sebelum keduanya melanjutkan langkah keluar dari istana.
Begitu menapaki jalanan kota elf, mereka kembali disambut suasana yang sama seperti kemarin—tatapan-tatapan waspada, suara bisik-bisik samar yang tak cukup keras untuk dipahami, tapi jelas terasa tidak ramah. Anak-anak elf yang awalnya ingin mendekat, cepat ditarik orang tuanya seolah Kurogane adalah monster.
Kurogane diam saja, hanya menatap lurus ke depan. Tapi dari caranya mengepalkan tangan, Alya tahu kalau itu bukan sesuatu yang mudah diterima begitu saja.
“Kau pasti bertanya-tanya, kan…” gumam Alya pelan, masih berjalan di sampingnya. “Tentang kenapa mereka melihatmu seperti itu.”
Kurogane tak menoleh, hanya memberi anggukan kecil.
Alya menarik napas pelan. “Beberapa dekade lalu, manusia—tepatnya dari salah satu kerajaan besar di barat—melancarkan serangan diam-diam ke wilayah elf. Mereka menculik puluhan, bahkan mungkin ratusan, elf muda dan menjual mereka ke pasar bawah tanah.”
“Pasar bawah tanah…?” ulang Kurogane, kini menoleh sedikit.
“Tempat terkutuk di mana apapun bisa dibeli... termasuk nyawa,” gumam Alya. “Budak elf laku tinggi. Kecantikan, umur panjang, sihir alami—semua itu dianggap aset oleh para bajingan itu. Bahkan anak-anak elf pun dijual seperti barang.”
Kurogane terdiam, bahkan langkah kakinya sedikit melambat.
“Sejak saat itu, kaum elf gak pernah benar-benar percaya pada ras manusia,” lanjut Alya, nadanya sendu. “Dan meskipun aku juga manusia, aku bisa memahami kenapa mereka begitu... dingin.”
Tatapan Kurogane kembali lurus. “Dan karena aku... bukan manusia, tapi juga bukan elf... mereka melihatku sebagai ancaman baru.”
Alya mengangguk pelan. “Mereka melihat sesuatu yang tidak bisa mereka pahami. Dan rasa takut itu... membuat mereka menghakimi.”
Sesaat, hanya suara langkah mereka yang terdengar di antara keramaian yang sunyi. Namun meski jalanan penuh tatapan tak bersahabat, dua siluet itu terus berjalan maju, melewati rasa ragu dan dendam masa lalu.
Matahari pagi memantulkan sinar dari pedang Alya dan armor hitam Kurogane. Seolah dunia ini sendiri tahu: petualangan mereka baru saja dimulai, dan masa lalu yang kelam bukanlah halangan... melainkan pengingat bahwa yang mereka lakukan hari ini adalah demi membuka jalan bagi masa depan yang berbeda.
Langkah kaki mereka berdua menjejak pelan di tanah berlumut yang nyaris tak mengeluarkan suara. Cahaya matahari nyaris tak bisa menembus rindangnya kanopi pepohonan di atas mereka, namun yang membuat atmosfer ini terasa menyesakkan bukan hanya gelapnya hutan, melainkan aura... sesuatu yang tak kasat mata.
Kabut tipis mengambang di antara pepohonan, menggantung seperti benang tipis kematian. Udara di sekeliling mereka tak hanya dingin, tapi juga lembab dengan aroma tanah basah bercampur... dupa tua?
Alya menggigit bibir bawahnya. Ia sudah terbiasa masuk dungeon, bahkan labirin bawah tanah, tapi tempat ini... berbeda.
"Siapa... kau...?"
Sebuah bisikan pelan, seperti suara napas terputus, melintas di samping telinganya.
"Kenapa kalian... ada di sini...?"
Alya berhenti sejenak, menoleh cepat ke kanan, tapi tak ada apa-apa kecuali pohon bengkok dan akar liar.
"Alya," suara Kurogane terdengar dari depan, tenang seperti biasa. "Jangan terpisah."
“B-Bukan niatku juga buat terpisah…” jawab Alya lirih, langkahnya segera dipercepat hingga akhirnya ia berjalan tepat di samping Kurogane.
Ia menggenggam lengan kiri Kurogane yang dingin seperti logam. Meskipun tubuhnya terbuat dari bayangan dan armor, keberadaan Kurogane selalu membuatnya merasa sedikit lebih aman—walau sekarang jantungnya masih berdetak terlalu cepat untuk dianggap wajar.
“Apa… kau dengar juga?” tanya Alya pelan, matanya terus mengawasi sekitar.
“Dengar,” jawab Kurogane tanpa ragu. “Sejak pertama kita melangkah ke area ini, suara-suara itu tak pernah berhenti. Mereka mengintai.”
Alya memutar bola mata. “Dan kenapa kau keliatan... tenang banget?”
Kurogane menoleh sedikit, mata putihnya yang berpendar halus menatap langsung ke dalam kabut.
“Karena aku bukan cuma mendengar. Aku melihat mereka.”
Alya menegang. “M-Melihat?”
Kurogane mengangguk pelan. “Roh-roh. Arwah. Entah bagaimana caranya mereka tetap eksis di antara realitas dan kematian. Beberapa terlihat seperti elf. Mereka berkeliaran di sini, menatap kita, menilai... atau hanya penasaran.”
Alya menelan ludah. Suara bisikan kembali terdengar, kali ini lebih dekat. “Siapa... dirimu...?”